30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pemimpin dalam Perspektif Islam

Melihat Sosok Calon Gubernur Sumatera Utara 2013

“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya.” (HR Bukhari)

Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan umatnya. Apabila sebuah jamaah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan umatnya akan mencapai titik keberhasilan.

Dan sebaliknya, manakala suatu jamaah dipimpin orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jamaâh akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran.
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Qs. 17 : 16)

Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan umat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah Saw wafat, maka para sahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para sahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan umat Muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah Saw wafat.

Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan umat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen umat.

Definisi Pemimpin

Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya; Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah), Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) umat, Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok, Al-Mas’uliyah yang bermakna penanggung jawab, dan Khadimul ummah yang bermakna pelayan umat.

Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan, pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan umat, baik dalam lingkup jamaah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan umatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, hanya untuk kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria dalam Menentukan Pemimpin

Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh Nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Quran (Qs. 39 : 23) dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.

Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain:

a. Faktor Keulamaan

Allah menerangkan, diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-ulama (Qs. 35 : 28). Hal ini menunjukkan, apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Quran). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah. Ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qurân dan Al-Hadits.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (QS.Al-Hujarot:1).

b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)

Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ). Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :

“Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan”. (HR Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy).

Hadits ini mengandung isyarat, seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Quran dan Al-Hadits, daripada hanya sekadar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.

c. Faktor Kepeloporan

Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam (Qs. Az-Zumar:12). Demikian juga seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah) (Qs. Faathir: 32). Seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator) (Qs.Al-An’Am: 135). Orangnya tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah.

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (Qs. Al-Baqoroh: 207)

d. Faktor Keteladanan

Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb. Seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya (Qs. 33 : 21). Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

e. Faktor Manajerial (Management)

Seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya. Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya.
Wallahu a’lam bish-showwab. (*)

Penulis adalah Ketua PERSIS (Persatuan Islam) Kecamatan  Medan Johor,
staf pengajar di SD
Islam An-Nizam Medan dan pemerhati persoalan Pemuda dan Remaja Kota Medan.

Melihat Sosok Calon Gubernur Sumatera Utara 2013

“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya.” (HR Bukhari)

Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan umatnya. Apabila sebuah jamaah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan umatnya akan mencapai titik keberhasilan.

Dan sebaliknya, manakala suatu jamaah dipimpin orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jamaâh akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran.
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Qs. 17 : 16)

Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan umat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah Saw wafat, maka para sahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para sahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan umat Muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah Saw wafat.

Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan umat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen umat.

Definisi Pemimpin

Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya; Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah), Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) umat, Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok, Al-Mas’uliyah yang bermakna penanggung jawab, dan Khadimul ummah yang bermakna pelayan umat.

Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan, pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan umat, baik dalam lingkup jamaah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan umatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, hanya untuk kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria dalam Menentukan Pemimpin

Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh Nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Quran (Qs. 39 : 23) dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.

Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain:

a. Faktor Keulamaan

Allah menerangkan, diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-ulama (Qs. 35 : 28). Hal ini menunjukkan, apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Quran). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah. Ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qurân dan Al-Hadits.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (QS.Al-Hujarot:1).

b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)

Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ). Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :

“Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan”. (HR Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy).

Hadits ini mengandung isyarat, seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Quran dan Al-Hadits, daripada hanya sekadar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.

c. Faktor Kepeloporan

Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam (Qs. Az-Zumar:12). Demikian juga seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah) (Qs. Faathir: 32). Seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator) (Qs.Al-An’Am: 135). Orangnya tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah.

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (Qs. Al-Baqoroh: 207)

d. Faktor Keteladanan

Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb. Seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya (Qs. 33 : 21). Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab:21)

e. Faktor Manajerial (Management)

Seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya. Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya.
Wallahu a’lam bish-showwab. (*)

Penulis adalah Ketua PERSIS (Persatuan Islam) Kecamatan  Medan Johor,
staf pengajar di SD
Islam An-Nizam Medan dan pemerhati persoalan Pemuda dan Remaja Kota Medan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/