27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Potret Haji Antara Cita-cita dan Fakta

Marilah kita tingkatkan Iman dan taqwa kepada Allah karena hanya dengan taqwa kita akan mendapatkan ampunan, pertolongan dan surga Nya yang agung.

Kita sekarang berada pada bulan Zul Qaidah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah, satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan Dzul Qa’dah.

Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan pemberangkatan para jamaah calon haji. Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam di dalam lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak ada ibadah seagung ibadah haji, tidak ada sesuatu agama yang memiliki konsep ibadah seperti konsep haji Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama dalam Islam.

Dilihat dari sebutannya saja ibadah ini sudah unik. Betapa tidak Al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rohman Al-Bukhari Alhanafi Azzahid (546 H) menjelaskan. “Haji adalah bermaksud (berkeinginan dan bersengaja), sementara maksud dan niat, keduanya menghantarkan seseorang menuju cita-cita, niat adalah amal yang paling mulia karena ia adalah pekerjaan anggota yang paling utama yaitu hati, manakala ibadah ini adalah ibadah yang paling besar dan ketaatan yang paling berat maka disebut ibadah yang paling utama yaitu Al-Haj yang berarti al-qashdu.

Tatkala seorang haji tiba di Ka’bah, dan sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa pemilik rumah (ka’bah) tidak berada di sana, maka dia berputar mengelilingi rumah : Thawaf mengisyaratkkan bahwa Ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya adalah pemilik rumah.

Begitu pula mencium Hajar Aswad, bukan berarti dan bukan kerena menyembah batu, melainkan karena mengikuti sunah rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk melakukan yang demikian. Inilah pembeda antara musyrik dan muslim.

Dulu orang musyrik mencium batu karena untuk menyembah batu. Tetapi sekarang Muslim mencium batu untuk mengikuti sunnah rasul yang diantara hikmahnya adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiallaahuanhu, “Hajar Aswad adalah bagaikan tangan kanan Allah di muka bumi ini. Maka barangsiapa yang menjabatnya (menyentuhnya) atau menciumnya maka seolah-olah ia menjabat (tangan) Allah dan mencium tangan kananNya.”

Karena itu ketika menyentuhnya seorang haji harus mengingat bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah (pencipta dan pemilik batu yang telah memerintah untuk menyentuhnya). Berbai’at untuk selalu taat dan tunduk kepada Nya, dan harus ingat barang siapa yang menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka dan azab Allah.

Karena itu pulalah para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat, baik calon haji itu seorang petani, pegawai, polisi, artis, dokter, mentri maupun seorang kiyai, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa”(al-Baqarah; 197).

Tentu saja kita sudah maklum bahwa taqwa itu tidak bisa dicapai kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan maksiat.

Kalau calon haji sudah bertaubat maka ia akan mampu memahami dan menjiwai siar haji yang teramat indah itu yaitu.
Ia akan menghayati seolah-olah berucap: Ya Allah aku datang, aku datang, memenuhi panggilan Mu, lalu aku berdiri di depan pintu Mu. Aku singgah di sisi Mu. Aku pegang erat kitab Mu, aku junjung tinggi aturan Mu, maka selamatkan aku dari adzab Mu, kini aku siap menghamba kepada Mu, merendahkan diri dan berkiblat kepada Mu. Bagi Mu segala ciptaan, bagi Mu segala aturan dan perundang-undangan, bagi Mu segala hukum dan hukuman tidak ada sekutu bagi Mu. Aku tidak peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku hanyalah wajah-Mu dan keridhaan Mu bukan dunia yang fana dan bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Jika calon haji sudah bertaubat maka ia pasti akan mampu mencapai hakekat haji yang telah digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya, artinya, “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al-Baqarah: 197)

Seorang yang beribadah haji tidak boleh melakukan rofats yaitu jima’ (bersenggama) dan segala ucapan dan perbuatan yang berhubungan dengan seksual.

Tidak boleh melakukan Fusuq yaitu segala bentuk maksiat dan tidak boleh melakukan jidal yaitu perdebatan yang mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.

Maka barang siapa yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut ia akan mendapatkan haji yang mabrur, yang diantara tandanya adalah sepulang haji ia tidak akan mengulang maksiat, dosa-dosa yang lalu, ia akan tampil sebagai muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah. Maka sebuah negara semakin banyak muslim dan muslimah yang taat, negara itu akan semakin aman makmur dan sentosa. Maksiat dan kemungkaran akan menepi, perjudian dan pencurian akan sepi, perzinaan dan pembunuhan akan mudah diatasi. Apalagi jika yang pergi haji adalah Bapak Bupati, para Mentri dan Pak Polisi. Sepulang haji yang kikir akan menjadi dermawan, yang kasar akan menjadi peramah dan yang biasanya menyebar kejahatan berubah menebar salam.

Itu semua manakala hajinya mabrur. Namun kenyataannya adalah bagaikan siang yang dihadapkan dengan malam, semuanya bertolak belakang, mereka tidak mengambil manfaat dari ibadah haji selain menambah gelar Pak Haji atau Bu Hajjah. Hasilnya, yang korup tetap korup, yang artis tetap artis, yang lintah darat tetap lintah darat, yang jahat tetap jahat.

Maka tidak heran jika rofats, fusuq dan jidal marak dimana-mana sampai terjadi krisis moral, krisis nilai, krisis kemanusiaan, krisis politik, lingkungan, ekonomi dan sosial.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Demikianlah sekelumit tentang makna haji, haji mabrur dan potret haji kita, semoga Allah menjadikan haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang mabrur, dan semoga dijauhkan dari haji yang maghrur (tertipu) dan mabur.
Oleh: Agus Hasan Bashori, Lc

Marilah kita tingkatkan Iman dan taqwa kepada Allah karena hanya dengan taqwa kita akan mendapatkan ampunan, pertolongan dan surga Nya yang agung.

Kita sekarang berada pada bulan Zul Qaidah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah, satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan Dzul Qa’dah.

Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan pemberangkatan para jamaah calon haji. Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam di dalam lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak ada ibadah seagung ibadah haji, tidak ada sesuatu agama yang memiliki konsep ibadah seperti konsep haji Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama dalam Islam.

Dilihat dari sebutannya saja ibadah ini sudah unik. Betapa tidak Al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rohman Al-Bukhari Alhanafi Azzahid (546 H) menjelaskan. “Haji adalah bermaksud (berkeinginan dan bersengaja), sementara maksud dan niat, keduanya menghantarkan seseorang menuju cita-cita, niat adalah amal yang paling mulia karena ia adalah pekerjaan anggota yang paling utama yaitu hati, manakala ibadah ini adalah ibadah yang paling besar dan ketaatan yang paling berat maka disebut ibadah yang paling utama yaitu Al-Haj yang berarti al-qashdu.

Tatkala seorang haji tiba di Ka’bah, dan sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa pemilik rumah (ka’bah) tidak berada di sana, maka dia berputar mengelilingi rumah : Thawaf mengisyaratkkan bahwa Ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya adalah pemilik rumah.

Begitu pula mencium Hajar Aswad, bukan berarti dan bukan kerena menyembah batu, melainkan karena mengikuti sunah rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk melakukan yang demikian. Inilah pembeda antara musyrik dan muslim.

Dulu orang musyrik mencium batu karena untuk menyembah batu. Tetapi sekarang Muslim mencium batu untuk mengikuti sunnah rasul yang diantara hikmahnya adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiallaahuanhu, “Hajar Aswad adalah bagaikan tangan kanan Allah di muka bumi ini. Maka barangsiapa yang menjabatnya (menyentuhnya) atau menciumnya maka seolah-olah ia menjabat (tangan) Allah dan mencium tangan kananNya.”

Karena itu ketika menyentuhnya seorang haji harus mengingat bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah (pencipta dan pemilik batu yang telah memerintah untuk menyentuhnya). Berbai’at untuk selalu taat dan tunduk kepada Nya, dan harus ingat barang siapa yang menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka dan azab Allah.

Karena itu pulalah para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat, baik calon haji itu seorang petani, pegawai, polisi, artis, dokter, mentri maupun seorang kiyai, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa”(al-Baqarah; 197).

Tentu saja kita sudah maklum bahwa taqwa itu tidak bisa dicapai kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan maksiat.

Kalau calon haji sudah bertaubat maka ia akan mampu memahami dan menjiwai siar haji yang teramat indah itu yaitu.
Ia akan menghayati seolah-olah berucap: Ya Allah aku datang, aku datang, memenuhi panggilan Mu, lalu aku berdiri di depan pintu Mu. Aku singgah di sisi Mu. Aku pegang erat kitab Mu, aku junjung tinggi aturan Mu, maka selamatkan aku dari adzab Mu, kini aku siap menghamba kepada Mu, merendahkan diri dan berkiblat kepada Mu. Bagi Mu segala ciptaan, bagi Mu segala aturan dan perundang-undangan, bagi Mu segala hukum dan hukuman tidak ada sekutu bagi Mu. Aku tidak peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku hanyalah wajah-Mu dan keridhaan Mu bukan dunia yang fana dan bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Jika calon haji sudah bertaubat maka ia pasti akan mampu mencapai hakekat haji yang telah digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya, artinya, “Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. (Al-Baqarah: 197)

Seorang yang beribadah haji tidak boleh melakukan rofats yaitu jima’ (bersenggama) dan segala ucapan dan perbuatan yang berhubungan dengan seksual.

Tidak boleh melakukan Fusuq yaitu segala bentuk maksiat dan tidak boleh melakukan jidal yaitu perdebatan yang mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.

Maka barang siapa yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut ia akan mendapatkan haji yang mabrur, yang diantara tandanya adalah sepulang haji ia tidak akan mengulang maksiat, dosa-dosa yang lalu, ia akan tampil sebagai muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah. Maka sebuah negara semakin banyak muslim dan muslimah yang taat, negara itu akan semakin aman makmur dan sentosa. Maksiat dan kemungkaran akan menepi, perjudian dan pencurian akan sepi, perzinaan dan pembunuhan akan mudah diatasi. Apalagi jika yang pergi haji adalah Bapak Bupati, para Mentri dan Pak Polisi. Sepulang haji yang kikir akan menjadi dermawan, yang kasar akan menjadi peramah dan yang biasanya menyebar kejahatan berubah menebar salam.

Itu semua manakala hajinya mabrur. Namun kenyataannya adalah bagaikan siang yang dihadapkan dengan malam, semuanya bertolak belakang, mereka tidak mengambil manfaat dari ibadah haji selain menambah gelar Pak Haji atau Bu Hajjah. Hasilnya, yang korup tetap korup, yang artis tetap artis, yang lintah darat tetap lintah darat, yang jahat tetap jahat.

Maka tidak heran jika rofats, fusuq dan jidal marak dimana-mana sampai terjadi krisis moral, krisis nilai, krisis kemanusiaan, krisis politik, lingkungan, ekonomi dan sosial.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Demikianlah sekelumit tentang makna haji, haji mabrur dan potret haji kita, semoga Allah menjadikan haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang mabrur, dan semoga dijauhkan dari haji yang maghrur (tertipu) dan mabur.
Oleh: Agus Hasan Bashori, Lc

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/