Drs H Hasan Maksum Nasution SH, SPdI, MA
Bersabda Rasulullah SAW yang bersumber dari Abi Hurairah “Paling sempurna keimanan orang- orang mukmin (kalau) akhlaknya lebih baik” (HR At-Tirmidzi).
Umat Islam yang dipersiapkan untuk benar-benar menjadi “ummatan washatan”, harus dilengkapi dengan tuntutan yang dapat dijadikan alat komunikasi dengan sesama manusia, tuntunan itu berupa ajaran akhlak mulia, yang diharapkan untuk mewarnai segala aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sesungguhnya ilmu komunikasi yang paling hebat, adadalah ilmu yang didasarkan atas “Al Akhlaqul Karimah” yang menjadi pegangan bagi umat Islam, dengan anjuran melakukan sifat-sifat yang terpuji.
Fitrah dikatakan juga dengan “tabi’at” dan dalam garis besarnya pada diri manusia terdapat empat macam tabi’at yaitu: Bahimiyah, Sabu’iyah, Syaithoniyah dan Rububiyah. Prioritas dari seluruh risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Mengapa masalah akhlak menjadi prioritas utama dari dakwah Rasulullah? Dan kenapa akhlak manusia perlu diperbaiki dan disempurnakan? Karena tinggi dan rendahnya akhlak manusia tidak sama, ada yang baik dan ada yang jelek, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang mulia dan ada yang hina.
Sifat dan watak kepribadiannya pun berbeda-beda antara satu dengan lainnya, ada yang bersifat penyayang dan ada yang kejam, ada yang kasar dan ada yang lemah lembut. Namun dari sekian banyak sifat dan watak manusia dapatlah dikumpulkan menjadi empat macam sebagaimana yang tersebut di atas.
Tabi’at Bahimiyah: yakni tabi’at binatang ternak yang hanya mementingkan nafsu makan, minum, tidur dan sebagainya. Manusia yang bersifat bahimiyah ini tidak lagi menghiraukan urusan agama dan ibadah ataupun ilmu pengetahuan, seluruh waktunya hanyalah dihabiskan untuk mencari harta kekayaan demi kepuasan nafsunya, bahkan hartalah yang menjadi ukuran segala-galanya. Juga pandai mendekati manusia untuk keperluan pribadi guna memenui nafsu sendiri dan bilamana ini telah tercapai, sampailah ia ke batas tujuannya. Tabi’at Subu’iyyah: tabi’at binatang buas yang mempunyai kecenderungan ke arah perbuatan-perbuatan melanggar dan merampas hak orang lain, ingin memangsa, menzhalimi dan sebagainya. Tabi’at binatang buas yang berpola menang sendiri, mulia sendiri, terpuji sendiri, orang lain tidak diperkenankannya senang (SMS). Tabi’at ini menimbulkan hasad, dengki, iri dan cemburu.
Tabi’at Syaithoniyah: tabi’at syetan yang selalu ingin menggoda dan menjerumuskan orang lain maupun diri sendiri kepada kesesatan dan kemungkaran, ia mempengaruhi, senantiasa berusaha memperdayakan orang lain, ia pengaruhi orang agar terjerumus ke lembah kehinaan, semata-mata kerjanya membawa orang sebanyak mungkin ke jalan kutuk dan laknat.
Tabi’at Rububiyah: tabi’at ketuhanan, suatu tabi’at yang cenderung ke arah perbuatan yang sesuai dengan kehendak dan kerelaan Tuhan, sehingga selalu ingin berbuat baik, serta mendapatkan ridho dari Allah swt., melahirkan sifat belas kasihan, ikhlas, membela, menolong, sayang, santun dan sopanserta segala akhlak terpuji (tahalli).
Akhlakul Karimah Pembimbing
Tabi’at-tabi’at yang bermacam-macam tadi, manusia harus mengaturnya, agama Islam-lah yang akan berperan membimbing manusia agar dapat menyalurkan tabi’atnya menurut tuntunan hidup yang baik, sehingga tidak terjerumus ke arah kejahatan dan kemungkaran. Untuk itu, maka ajaran akhlakul karimah akan membimbing manusia sebaik-baiknya, supaya memiliki jiwa yang bersih dan mental yang kuat, sehingga dapat menempatkan diri sebagai makhluk yang mulia, karena dapat mengendalikan dirinya dari tabi’at yang kurang baik ke arah tingkah laku yang baik.
Oleh sebab itu, dapatlah tujuan utama dari penyempurnaan akhlak adalah agar tercipta insan kamil atau manusia sejati yang dalam istilah falsafah Jawa memiliki “Aji Roso Sejati” artinya manusia yang memiliki rasa dan rumongso, memiliki rasa artinya mempunyai perasaan dan tatakrama dalam bergaul dengan sesama manusia di segala lapisan masyarakat, Rumongso artinya mempunyai dan menyadari tanggung jawabnya, baik terhadap sesama manusia maupun dihadapan Allah swt.
Mempunyai rasa yang dimaksud adalah mempunyai sifat kemanusiaan, mempunyai rasa belas kasihan dan tidak berbuat semena-mena maupun sewenang-wenang. Hal ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. yang tersirat dalam salah satu doa beliau: “Dengan nama Allah aku berserah diri kepada Allah. Wahai Tuhanku aku mohon dipeliharakan olehMu akan tersesat atau menyesatkan atau tergelincir atau menggelincirkan atau dianaya atau menganiaya atau berlaku sembrono atau diperlakukan dengan sembrono”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari ummu Salamah).
Inti dari doa Rasulullah saw. adalah menganjurkan agar manusia selalu bersikap hati-hati dan mawas diri serta tidak menyakiti, bahwa apa yang kita perbuat, akibat dan resikonya akan kembali kepada diri sendiri. Bila kebaikan yang kita kerjakan, maka kebaikan pula yang akan kita terima, sebaliknya jika kejahatan yang kita lakukan, kejahatan pula yang menimpa diri kita, firman Allah dalam Al-Isra’ ayat 7: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) bagi dirimu sendiri”.
Agama Berintikan Akhlak Mulia
Apa sebenarnya agama itu ya Rasulullah? Jawab Nabi “Intinya adalah akhlak baik”. Kemudian berturut-turut datang dua orang dari sisi kanan dan dari belakang beliau, dengan masing-masing menanyakan hal seperti itu, maka Nabi menjawab satu-persatu dengan mengatakan: inti agama itu adalah akhlak mulia.
Karenanya kedudukan akhlak dalam Islam merupakan salah satu sendi agama dengan fungsi yang selalu menguatkan pengalaman aqidah dan syariah, maka agama Islam memberikan tuntunan kepada manusia, agar akhlak mulia menjadi bagian dari kehidupannya.
Dan untuk menanamkan akhlak baik dalam kepribadian manusia, maka ajaran Islam menempuh beberapa langkah yang disebut dengan istilah “Al-Marhalah” antara lain memberitahukan hal-hal yang baik dan buruk, meskipun dengan pengetahuan yang sangat sederhana, memberitahukan akibat perbuatan baik atau buruk yang dilakukannya, dan memberitahukan cara-cara melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk.
Di samping pengetahuan tentang akhlak yang terkandung dalam Alquran, petunjuk dan perbuatan Nabi juga selalu mencerminkannya yang kadang-kadang dperintahkannya dengan menggunakan kata pesan “ushiikum”, maka dari sinilah terlihat kedudukan akhlak dalam Islam yang menempati posisi dari salah satu sendi Islam yang terkandung dalam ihsan, semoga. (*)
(Penulis Dosen STAI Sumatera, PTI AL-Hikmah dan STAI RA Batang Kuis)