25 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Tiga Poin Sikap Istimewa Sayyidah Khadijah

Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin yang telah menceritakan, bahwa mula-mula wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. adalah mimpin baik yang dilihat dalam mimpi (tidurnya) dan tidaklah sama sekali beliau melihat mimpi yang baik itu, melainkan datangnya seperti fajar.

Oleh: Drs H Hasan Maksum Nasution, SH, S.PdI, MA

Beliau mulai suka menyendiri yang hal ini dilakukannya di gua Hira, sembari melakukan tahannus (ibadah) di dalamnya. Sebelum pergi dari rumah, beliau terlebih dahulu membawa bekal untuk tujuannya, bila telah habis, beliau kembali ke rumah dan membawa bekal serupa secukupnya, keadaan ini terus berlangsung sampai kebenaran wahyu datang kepadanya saat beliau berada di gua Hira, lalu datang malaikat kepadanya dan berkata: “Bacalah” beliau menjawab “Aku tidak pandai membaca”.

Malaikat itu mendekapku, hingga aku benar-benar merasa kepayahan, lalu ia melepaskanku dan kembali berkata “Bacalah” beliau menjawab “Aku tidak pandai membaca”. Dan kembali mendekapku untuk ketiga kalinya, sesudah itu dia melepaskanku, kemudian berkata “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari ‘alaq (segumpal darah). Bacalah dan Tuhanmulah yang paling mulia ….”

Beliau pulang dengan membawa wahyu pertama yang diterimanya, sedang hatinya bergetar ketakutan, lalu beliau menemui istrinya Khadijah binti Khuwailid dan berkata “Selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku”, Khadijah segera menyelimutinya, hingga tidak lama kemudian, rasa takut lenyap darinya. Sesudah itu beliau menceritakan kepada Khadijah, apa yang baru dialaminya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya aku merasa khawatir dengan keselamatan diriku”. Khadijah menjawab dengan nada yang menghibur “Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya.
Sesungguhnya engkau adalah seorang yang bersilaturrahmi, meringankan beban orang yang kepayahan, membantu orang yang tidak punya, menghormati tamu dan suka menolong orang lain, manakala petaka masa datang menimpa semuanya”.

Waraqah bin Naufal

Khadijah pun membawa beliau menemui seorang lelaki bernama Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza anak paman Khadijah, seorang pemeluk agama nasrani sejak zaman jahiliyyah, dia pandai menulis Alkitab dengan bahasa Ibrani, saat itu usianya telah lanjut dan matanya telah buta. Khadijah berkata kepadanya “Wahai anak paman, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini”. Setelah mendengar apa yang disampaikan Khadijah ini, Waraqah berkata kepadanya “Ini adalah Namus (Jibril) yang pernah diturunkan oleh Allah kepada Musa. Aduhai, sekiranya aku masih muda saat ini, Aduhai sekiranya aku hidup saat kaummu mengusirmu”.

Beliau bertanya “Apakah mereka benar-benar akan mengusirku?” Waraqah menjawab “Benar, karena tidaklah sekali-kali seorang lelaki datang membawa ajaran seperti yang engkau sampaikan, melainkan dia pasti dimusuhi (menurut riwayat lain pasti disakiti) dan seandainya aku menjumpai masa itu, tentulah aku akan menolongmu dengan pertolongan yang benar-benar mendukungmu”” Tidak lama kemudian Waraqah bin Naufal pun meninggal dunia.
Gambaran Pekerti Khadijah Ra.

Hadis yang mulia itu menceritakan, tentang permulaan wahyu, dinukilkan kepada kita sebagai bagian dari gambaran tentang pekerti Khadijah RA. dan sikapnya dalam membela suaminya Nabi SAW. dan mendukung perjuangannya. Dalam hadis tergambar tiga buah sikap yang patut diteladani setiap istri yang ingin meniru jejak penghulu wanita penghuni syurga ini.

Sikap pertama, dilakukan oleh Khadijah saat ia menyambut kedatangan Nabi SAW. denga sambutan yang baik, bahkan saat Nabi meminta untuk diselimuti, Khadijah langsung menyelimutinya, hingga reda rasa takutnya, perasaan menjadi tenang.

Sikap kedua, saat Nabi SAW. bersabda “Sesungguhnya ku merasa khawatir dengan keselamatan diriku”. Bagaimana Khadijah menghapuskan rasa takut dari dalam diri suaminya dan bagaimana dia memasukkan ketenangan ke dalam dirinya sebagai ganti dari rasa takutnya? Apakah Khadijah cukup hanya dengan menghiburnya melenyapkan rasa takut ini melalui ucapan “Jangan takut, tidak ada sesuatu pun yang bakal mencelakakanmu”?. Apakah ucapan ini dapat melenyapkan ketakutan yang dirasakan dalam diri Nabi SAW. lalu menggantikannya dengan rasa ketenangan?

Sesungguhnya Khadijah menghapuskan kecemasan ini dengan berpegang pada akhlak Nabi saw. yang bisa dilihatnya “Sesungguhnya engkau benar-benar suka bersilaturrahmi, membantu orang yang kepayahan, menyantuni yang tidak punya, menghormati tamu, dan membantu orang lain saat petaka masa datangan menimpa semuanya”. Sudah barang tentu orang yang berakhlak seperti ini, selamanya tidak bakal dihinakan oleh Allah SWT.

Sikap ketiga, yang dilakukan Khadijah, ialah saat ia pergi membawa Nabi SAW. untuk menemui anak pamannya yang pandai menulis Alkitab dengan bahasa Ibrani. Sesungguhnya Waraqah mampu menafsirkan yang dialami oleh Nabi saat di gua Hira. Etika Khadijah di rumah anak pamannya Waraqah, mengungkapkan kata-kata yang menggambarkan etika sopan santunnya “Wahai anak paman, dengarkanlah apa yang akan dikatakan oleh anak saudaramu ini, terlihat jelas etika, santun Khadijah langsung membicarakan kepada anak pamannya, apa yang telah dialami suaminya Nabi saw. yang dalam hal ini, Nabi menceritakan sendiri apa yang dialaminya di gua Hira.

Juga Khadijah tidak mengarahkan pembicaraannya secara langsung kepada Nabi saw. dengan nada memerintah “ceritakanlah kepada pamanmu ini apa yang telah engkau alami”. Akan tetapi, Khadijah mengarahkan pembicaraannya kepada Waraqah bin Naufal dengan mengatakan “Dengarkanlah apa yang akan dikatakan oleh anak saudaramu ini. Sikap jelas memuliakan diri Nabi SAW. mengingat permintaan yang ditujukan kepada salah satu pihak dari kedua belah pihak yang bersangkutan untuk mendengarkan pihak lainnya, tidak diragukan lagi mengandung pengertian, menghormati pihak yang akan berbicara, menambah ketenangan diri Nabi SAW., karena ia merasakan ada orang yang mau mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Demikian tiga point sikap yang berturut-turut dari Khadijah untuk meringankan beban suaminya Nabi SAW. saat pulang ke rumahnya. Wahai para istri-istri yang tercinta, marilah kita contoh dan tauladani sikap sayyidah Khadijah ra., dan selanjutnya pasti suaminya akan merasakan, bahwa di rumahnya terdapat permata yang sangat berharga, bahkan jauh lebih berharga daripada permata manapun yang ada di dunia ini, semoga.
Penulis Dosen STAI Sumatera, PTI Al Hikmah, PGMI Hikmatul Fadhillah, STAI RA Batangkuis

Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin yang telah menceritakan, bahwa mula-mula wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. adalah mimpin baik yang dilihat dalam mimpi (tidurnya) dan tidaklah sama sekali beliau melihat mimpi yang baik itu, melainkan datangnya seperti fajar.

Oleh: Drs H Hasan Maksum Nasution, SH, S.PdI, MA

Beliau mulai suka menyendiri yang hal ini dilakukannya di gua Hira, sembari melakukan tahannus (ibadah) di dalamnya. Sebelum pergi dari rumah, beliau terlebih dahulu membawa bekal untuk tujuannya, bila telah habis, beliau kembali ke rumah dan membawa bekal serupa secukupnya, keadaan ini terus berlangsung sampai kebenaran wahyu datang kepadanya saat beliau berada di gua Hira, lalu datang malaikat kepadanya dan berkata: “Bacalah” beliau menjawab “Aku tidak pandai membaca”.

Malaikat itu mendekapku, hingga aku benar-benar merasa kepayahan, lalu ia melepaskanku dan kembali berkata “Bacalah” beliau menjawab “Aku tidak pandai membaca”. Dan kembali mendekapku untuk ketiga kalinya, sesudah itu dia melepaskanku, kemudian berkata “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari ‘alaq (segumpal darah). Bacalah dan Tuhanmulah yang paling mulia ….”

Beliau pulang dengan membawa wahyu pertama yang diterimanya, sedang hatinya bergetar ketakutan, lalu beliau menemui istrinya Khadijah binti Khuwailid dan berkata “Selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku”, Khadijah segera menyelimutinya, hingga tidak lama kemudian, rasa takut lenyap darinya. Sesudah itu beliau menceritakan kepada Khadijah, apa yang baru dialaminya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya aku merasa khawatir dengan keselamatan diriku”. Khadijah menjawab dengan nada yang menghibur “Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya.
Sesungguhnya engkau adalah seorang yang bersilaturrahmi, meringankan beban orang yang kepayahan, membantu orang yang tidak punya, menghormati tamu dan suka menolong orang lain, manakala petaka masa datang menimpa semuanya”.

Waraqah bin Naufal

Khadijah pun membawa beliau menemui seorang lelaki bernama Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza anak paman Khadijah, seorang pemeluk agama nasrani sejak zaman jahiliyyah, dia pandai menulis Alkitab dengan bahasa Ibrani, saat itu usianya telah lanjut dan matanya telah buta. Khadijah berkata kepadanya “Wahai anak paman, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini”. Setelah mendengar apa yang disampaikan Khadijah ini, Waraqah berkata kepadanya “Ini adalah Namus (Jibril) yang pernah diturunkan oleh Allah kepada Musa. Aduhai, sekiranya aku masih muda saat ini, Aduhai sekiranya aku hidup saat kaummu mengusirmu”.

Beliau bertanya “Apakah mereka benar-benar akan mengusirku?” Waraqah menjawab “Benar, karena tidaklah sekali-kali seorang lelaki datang membawa ajaran seperti yang engkau sampaikan, melainkan dia pasti dimusuhi (menurut riwayat lain pasti disakiti) dan seandainya aku menjumpai masa itu, tentulah aku akan menolongmu dengan pertolongan yang benar-benar mendukungmu”” Tidak lama kemudian Waraqah bin Naufal pun meninggal dunia.
Gambaran Pekerti Khadijah Ra.

Hadis yang mulia itu menceritakan, tentang permulaan wahyu, dinukilkan kepada kita sebagai bagian dari gambaran tentang pekerti Khadijah RA. dan sikapnya dalam membela suaminya Nabi SAW. dan mendukung perjuangannya. Dalam hadis tergambar tiga buah sikap yang patut diteladani setiap istri yang ingin meniru jejak penghulu wanita penghuni syurga ini.

Sikap pertama, dilakukan oleh Khadijah saat ia menyambut kedatangan Nabi SAW. denga sambutan yang baik, bahkan saat Nabi meminta untuk diselimuti, Khadijah langsung menyelimutinya, hingga reda rasa takutnya, perasaan menjadi tenang.

Sikap kedua, saat Nabi SAW. bersabda “Sesungguhnya ku merasa khawatir dengan keselamatan diriku”. Bagaimana Khadijah menghapuskan rasa takut dari dalam diri suaminya dan bagaimana dia memasukkan ketenangan ke dalam dirinya sebagai ganti dari rasa takutnya? Apakah Khadijah cukup hanya dengan menghiburnya melenyapkan rasa takut ini melalui ucapan “Jangan takut, tidak ada sesuatu pun yang bakal mencelakakanmu”?. Apakah ucapan ini dapat melenyapkan ketakutan yang dirasakan dalam diri Nabi SAW. lalu menggantikannya dengan rasa ketenangan?

Sesungguhnya Khadijah menghapuskan kecemasan ini dengan berpegang pada akhlak Nabi saw. yang bisa dilihatnya “Sesungguhnya engkau benar-benar suka bersilaturrahmi, membantu orang yang kepayahan, menyantuni yang tidak punya, menghormati tamu, dan membantu orang lain saat petaka masa datangan menimpa semuanya”. Sudah barang tentu orang yang berakhlak seperti ini, selamanya tidak bakal dihinakan oleh Allah SWT.

Sikap ketiga, yang dilakukan Khadijah, ialah saat ia pergi membawa Nabi SAW. untuk menemui anak pamannya yang pandai menulis Alkitab dengan bahasa Ibrani. Sesungguhnya Waraqah mampu menafsirkan yang dialami oleh Nabi saat di gua Hira. Etika Khadijah di rumah anak pamannya Waraqah, mengungkapkan kata-kata yang menggambarkan etika sopan santunnya “Wahai anak paman, dengarkanlah apa yang akan dikatakan oleh anak saudaramu ini, terlihat jelas etika, santun Khadijah langsung membicarakan kepada anak pamannya, apa yang telah dialami suaminya Nabi saw. yang dalam hal ini, Nabi menceritakan sendiri apa yang dialaminya di gua Hira.

Juga Khadijah tidak mengarahkan pembicaraannya secara langsung kepada Nabi saw. dengan nada memerintah “ceritakanlah kepada pamanmu ini apa yang telah engkau alami”. Akan tetapi, Khadijah mengarahkan pembicaraannya kepada Waraqah bin Naufal dengan mengatakan “Dengarkanlah apa yang akan dikatakan oleh anak saudaramu ini. Sikap jelas memuliakan diri Nabi SAW. mengingat permintaan yang ditujukan kepada salah satu pihak dari kedua belah pihak yang bersangkutan untuk mendengarkan pihak lainnya, tidak diragukan lagi mengandung pengertian, menghormati pihak yang akan berbicara, menambah ketenangan diri Nabi SAW., karena ia merasakan ada orang yang mau mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Demikian tiga point sikap yang berturut-turut dari Khadijah untuk meringankan beban suaminya Nabi SAW. saat pulang ke rumahnya. Wahai para istri-istri yang tercinta, marilah kita contoh dan tauladani sikap sayyidah Khadijah ra., dan selanjutnya pasti suaminya akan merasakan, bahwa di rumahnya terdapat permata yang sangat berharga, bahkan jauh lebih berharga daripada permata manapun yang ada di dunia ini, semoga.
Penulis Dosen STAI Sumatera, PTI Al Hikmah, PGMI Hikmatul Fadhillah, STAI RA Batangkuis

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/