27 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Tempat Berkumpul, Mencari Solusi

Sopo Marpingkir, Tempat Berkumpulnya Para Cendikiawan HKBP

Lembaga keagamaan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungannya. Itulah yang dilakukan Muhammadiyah. Lahir di Yogyakarta  tetapi kantor pusatnya di Jakarta. Demikian juga Nahdatul Ulama (NU) lahir di Jawa Timur juga berkantor pusat di Jakarta.

Melihat kondisi ini Panitia Nasional Jubileum 150 tahun HKBP dengan pemikiran jernih merencanakan pembangunan gedung Sopo Marpingkir di Jakarta. Pembangunan Sopo Marpingkir juga selaras dengan visi HKBP menjadi gereja  yang inklusif, dialogis dan terbuka.

Sopo Marpingkir merupakan tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan-kegiatan HKBP berupa perkantoran, pembinaan dan pelatihan SDM, tempat aspirasi masyarakat khsuusnya warga HKBP dan lain-lain. Dasar pemikiran pembangunan Sopo ini karena mengingat letak Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung yang jauh dari Ibukota sebagai Pusat Pemerintahan Republik Indonesia.

Sopo ini direncanakan akan dibangun di Jakarta Timur dengan lokasi seluas 9.000 meter persegi. Sopo setinggi 8 lantai ini direncanakan juga akan diresmikan pada saat perayaan puncak Pesta Jubileum 150 tahun HKBP tepatnya pada tanggal 7 Oktober 2011.

Sesuai Rencana Anggaran Biaya yang disusun oleh panitia tingkat nasional Jubileum 150 Tahun HKBP, bangunan ini membutuhkan biaya Rp35 miliar atau sekitar 59 persen dari Anggaran Biaya keseluruhan kegiatan Jubileum 150 Tahun HKBP.

Tokoh Katolik, Dr Cosmas Batubara, yang dikenal dekat dengan HKBP memberikan sumbangsih pemikiran seputar rencana pembangunan Sopo Marpikir.

Tokoh kelahiran Purbasaribu, Simalungun, Sumatera Utara, 19 September 1938 itu mengharapkan Sopo Marpingkir ini menjadi pusat kegiatan para pemikir HKBP. Sebagai lembaga gereja terbesar di Asia Tenggara, HKBP harus memberikan kontribusi dalam hasil pemikiran Kristen. Sopo Marpingkir juga bisa dijadikan menjadi tempat kajian aspek  ekonomi, budaya, politik dan agama. Tentu juga memikirkan isu-isu nasional.

Ketika ditanya sebaiknya seperti apa Sopo Marpingkir? “Saran saya lembaga kajian saja. Sudah waktunya HKBP memiliki lembaga penelitian. Kita tidak boleh lagi bertitik tolak pada pola berpikir zaman dahulu,’’ tegas mantan aktivis mahasiswa dan Ketua Umum Presidium KAMI ini seperi dikutip hkbp150tahun.
Cosmas mencontohkan, Nahdatul  Ulama (NU) memiliki lembaga kebudayaan Les Bumi. Katolik juga melihat budaya perlu dimasuki. Kini Katolik disebut banyak berubah. Dulu, sebelum Konsili Vatikan kedua Katolik selalu mengunakan bahasa Latin. Sekarang, Katolik bisa mengunakan bahasa dari mana pun misa. Itu lahir dari pemikiran “hasil berpikir” inskulturasi budaya, menyatu gereja dengan budaya.

Di Tanah Batak ada dua uskup Batak, AB Sinaga dan Pius Datubara. Mereka inilah yang mendorong inskulturasi pada budaya Batak. Sekarang Katolik memberikan tempat pada budaya Batak. Di Samosir misalnya, ada gereja yang persis menyerupai ruma adat Batak Toba, di Karo ada gereja mirip rumah Karo. Demikian juga di Simalungun ada gereja menyerupai arsitektur  rumah Simalungun.

Cosmas optimis, HKBP  bisa lebih maju ke depan. “Kita berharap sebagai komunitas terbesar orang Batak. HKBP terus berkarya memberikan yang terbaik bagi bangsa ini,” pintanya. Kelak Sopo Marpingkir sebagai lembaga kajian juga diharapkan  menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bisa dibaca banyak orang. Hasil pemikiran itu alangkah baiknya jika diterjemahkan juga ke  bahasa Inggris. HKBP sebagai gereja terbesar  terpanggil ikut  memikirkan kehidupan masyarakat Asia Tenggara.(bbs)

Sopo Marpingkir, Tempat Berkumpulnya Para Cendikiawan HKBP

Lembaga keagamaan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungannya. Itulah yang dilakukan Muhammadiyah. Lahir di Yogyakarta  tetapi kantor pusatnya di Jakarta. Demikian juga Nahdatul Ulama (NU) lahir di Jawa Timur juga berkantor pusat di Jakarta.

Melihat kondisi ini Panitia Nasional Jubileum 150 tahun HKBP dengan pemikiran jernih merencanakan pembangunan gedung Sopo Marpingkir di Jakarta. Pembangunan Sopo Marpingkir juga selaras dengan visi HKBP menjadi gereja  yang inklusif, dialogis dan terbuka.

Sopo Marpingkir merupakan tempat dilaksanakannya berbagai kegiatan-kegiatan HKBP berupa perkantoran, pembinaan dan pelatihan SDM, tempat aspirasi masyarakat khsuusnya warga HKBP dan lain-lain. Dasar pemikiran pembangunan Sopo ini karena mengingat letak Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung yang jauh dari Ibukota sebagai Pusat Pemerintahan Republik Indonesia.

Sopo ini direncanakan akan dibangun di Jakarta Timur dengan lokasi seluas 9.000 meter persegi. Sopo setinggi 8 lantai ini direncanakan juga akan diresmikan pada saat perayaan puncak Pesta Jubileum 150 tahun HKBP tepatnya pada tanggal 7 Oktober 2011.

Sesuai Rencana Anggaran Biaya yang disusun oleh panitia tingkat nasional Jubileum 150 Tahun HKBP, bangunan ini membutuhkan biaya Rp35 miliar atau sekitar 59 persen dari Anggaran Biaya keseluruhan kegiatan Jubileum 150 Tahun HKBP.

Tokoh Katolik, Dr Cosmas Batubara, yang dikenal dekat dengan HKBP memberikan sumbangsih pemikiran seputar rencana pembangunan Sopo Marpikir.

Tokoh kelahiran Purbasaribu, Simalungun, Sumatera Utara, 19 September 1938 itu mengharapkan Sopo Marpingkir ini menjadi pusat kegiatan para pemikir HKBP. Sebagai lembaga gereja terbesar di Asia Tenggara, HKBP harus memberikan kontribusi dalam hasil pemikiran Kristen. Sopo Marpingkir juga bisa dijadikan menjadi tempat kajian aspek  ekonomi, budaya, politik dan agama. Tentu juga memikirkan isu-isu nasional.

Ketika ditanya sebaiknya seperti apa Sopo Marpingkir? “Saran saya lembaga kajian saja. Sudah waktunya HKBP memiliki lembaga penelitian. Kita tidak boleh lagi bertitik tolak pada pola berpikir zaman dahulu,’’ tegas mantan aktivis mahasiswa dan Ketua Umum Presidium KAMI ini seperi dikutip hkbp150tahun.
Cosmas mencontohkan, Nahdatul  Ulama (NU) memiliki lembaga kebudayaan Les Bumi. Katolik juga melihat budaya perlu dimasuki. Kini Katolik disebut banyak berubah. Dulu, sebelum Konsili Vatikan kedua Katolik selalu mengunakan bahasa Latin. Sekarang, Katolik bisa mengunakan bahasa dari mana pun misa. Itu lahir dari pemikiran “hasil berpikir” inskulturasi budaya, menyatu gereja dengan budaya.

Di Tanah Batak ada dua uskup Batak, AB Sinaga dan Pius Datubara. Mereka inilah yang mendorong inskulturasi pada budaya Batak. Sekarang Katolik memberikan tempat pada budaya Batak. Di Samosir misalnya, ada gereja yang persis menyerupai ruma adat Batak Toba, di Karo ada gereja mirip rumah Karo. Demikian juga di Simalungun ada gereja menyerupai arsitektur  rumah Simalungun.

Cosmas optimis, HKBP  bisa lebih maju ke depan. “Kita berharap sebagai komunitas terbesar orang Batak. HKBP terus berkarya memberikan yang terbaik bagi bangsa ini,” pintanya. Kelak Sopo Marpingkir sebagai lembaga kajian juga diharapkan  menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bisa dibaca banyak orang. Hasil pemikiran itu alangkah baiknya jika diterjemahkan juga ke  bahasa Inggris. HKBP sebagai gereja terbesar  terpanggil ikut  memikirkan kehidupan masyarakat Asia Tenggara.(bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/