JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Beberapa substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) disebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Konsistensi pemerintah terkait hasil uji materi pun dipertanyakan.
Diketahui, draf RUU tersebut telah masuk dalam Prolegnas prioritas 2020. Presiden Jokowi berharap itu bisa tuntas dalam 100 hari pembahasan di DPR.
Penyusunan RUU ini menggunakan konsep Omnibus Law alias memuat revisi beberapa ketentuan hukum (pasal) yang terdapat dalam sejumlah undang-undang.
Merujuk bahan persentasi resmi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sudah masuk proses akhir setelah dibahas dalam Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, 15 Januari. RUU Cilaka akan menyasar 1.239 pasal yang terdapat di 79 undang-undang berbeda. Pemerintah pun membagi 11 klaster pembahasan dalam aturan sapu jagat itu.
Klaster-klaster itu, antara lain Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM; Kemudahan Berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi.
Kemudian Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan; Investasi dan ProyekPemerintah; serta Kawasan Ekonomi.
Penyederhanaan perizinan menjadi klaster yang paling banyak merombak aturan, yakni 50 undang-undang dengan 782 pasal terkait.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menyebut sejumlah aturan dalam RUU itu menabrak putusan MK. Merujuk dokumen Kemenko Perekonomian, pada klaster Pengadaan Lahan tertulis bahwa HGB di atas tanah HPL dan di KEK diberikan untuk sekaligus dalam jangka waktu 90 tahun. Kemudian HGU atau Hak Pakai diatas tanah HPL dapat diberikan perpanjangan sekaligus.
Kemudian di klaster Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa Presiden berwenang membatalkan peraturan daerah (perda) melalui peraturan presiden (perpres).
Padahal, kata Bivitri, dua ketentuan itu sudah dibatalkan oleh MK beberapa waktu lalu.
Diketahui, MK pada 2008 membatalkan ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal soal HGU, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang bisa diperpanjang sekaligus di muka. Sebab, hal ini bisa mengurangi prinsip penguasaan oleh negara.
Selain itu, MK pernah membatalkan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan executive review terhadap Perda Kabupaten/Kota, pada 2017.
Bivitri menyebut pembatalan ketentuan-ketentuan itu oleh MK seharusnya membuat itu tak bisa diterapkan kembali dalam perundangan lain karena dianggap inkonstitusional.
“Secara hukum ada putusan MK-nya. Jadi seharusnya ini enggak boleh. Kalau mereka mau putuskan ini cari cara lain, jangan langgar putusan MK,” kata Bivitri di Jakarta, Kamis (30/1).
Meski begitu, ia tak memungkiri masih ada celah bagi pembuat UU untuk menerakan kembali norma yang sudah dibatalkan MK ke dalam UU baru. Itu pun bisa berlaku selama belum dinyatakan batal lagi oleh MK. Namun, itu rentan diuji materi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berdalih bahwa ketentuan yang sudah dibatalkan MK secara hukum masih sah dicantumkan ke dalam UU baru.
Mahfud menjelaskan bahwa saat itu MK menyatakan inkonstisional karena terkait dengan rezim UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (fra/arh)