27.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Perlu Sinkronisasi Tata Ruang Antardaerah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang yang merupakan aturan teknis dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), memberikan batasan waktu yang ketat terhadap proses Peraturan Daerah tentang Tata Ruang. Hal ini dinilai Anggota DPD RI asal Sumatera Utara, Muhammad Nuh dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi daerah.

H Muhammad Nuh (kanan) bersama KH Ir Abdul Hakim MM, wakil ketua BULD, senator asal Lampung.

Dampak positifnya, kata Muhammad Nuh, Panitia Khusus (Pansus) Perda Tata Ruang di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan Kota, dapat bekerja secara efektif dan efisien. “Tapi dampak negatifnya, bisa jadi kerja Pansus terburu-buru. Sehingga tidak sistematis, asal-asalan dan memungkinkan tidak matang,” kata Muhammad Nuh dalam rapat kerja Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI yang dihadiri DR IR Abdul Kamarzuki, MPM selaku Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Rabu (31/3).

Padahal, kata Nuh, dibutuhkan sinkronisasi antara tata ruang satu daerah dengan daerah lain, sehingga pembahasannya tidak bisa dilakukan secara terburu-buru.Dia mencontohkan tata ruang Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang. “Medan Johor dalam tata ruang Kota Medan merupakan kawasan pemukiman. Sementara di Namorambe, Deliserdang banyak pabrik. Akibatnya Jalan Karya Jaya selalu rusak karena banyak kendaraan berat melintasi pemukiman padat penduduk tersebut,” ungkap Nuh.

Dalam pembahasan tata ruang dan kajian perencanaan, kata Nuh, sering mengemuka tentang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi daratan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Di daerah hulu, tidak jarang didapati pembangunan villa atau perumahan, sehingga menyebabkan terjadinya pengrusakan hutan. Di daerah tengah, banyak pabrik didirikan. Akibatnya, terjadilah perusakan dan pencemaran lingkungan yang dampaknya dirasakan masyarakat yang tinggal di hilir, seperti banjir bandang dan lainnya.

“Kita menginginkan adanya upaya saling menguatkan antara pusat dan daerah. Aspirasi masyarakat dan Pemerintah Daerah dijadikan masukan yang penting dan berarti bagi kebijakan yang digulirkan Pemerintah Pusat.
Semoga harapan kita semua, Indonesia yang lebih baik dapar terwujud,” harapnya.

Selain itu, Nuh juga menyebutkan, ada kesan, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang disebut dengan Omnibus Law  mengarah pada resentralisasi. Padahal semangat reformasi mendorong terwujudnya desentralisasi dengan otonomi daerah. (adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang yang merupakan aturan teknis dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), memberikan batasan waktu yang ketat terhadap proses Peraturan Daerah tentang Tata Ruang. Hal ini dinilai Anggota DPD RI asal Sumatera Utara, Muhammad Nuh dapat menimbulkan dampak positif dan negatif bagi daerah.

H Muhammad Nuh (kanan) bersama KH Ir Abdul Hakim MM, wakil ketua BULD, senator asal Lampung.

Dampak positifnya, kata Muhammad Nuh, Panitia Khusus (Pansus) Perda Tata Ruang di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan Kota, dapat bekerja secara efektif dan efisien. “Tapi dampak negatifnya, bisa jadi kerja Pansus terburu-buru. Sehingga tidak sistematis, asal-asalan dan memungkinkan tidak matang,” kata Muhammad Nuh dalam rapat kerja Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI yang dihadiri DR IR Abdul Kamarzuki, MPM selaku Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Rabu (31/3).

Padahal, kata Nuh, dibutuhkan sinkronisasi antara tata ruang satu daerah dengan daerah lain, sehingga pembahasannya tidak bisa dilakukan secara terburu-buru.Dia mencontohkan tata ruang Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang. “Medan Johor dalam tata ruang Kota Medan merupakan kawasan pemukiman. Sementara di Namorambe, Deliserdang banyak pabrik. Akibatnya Jalan Karya Jaya selalu rusak karena banyak kendaraan berat melintasi pemukiman padat penduduk tersebut,” ungkap Nuh.

Dalam pembahasan tata ruang dan kajian perencanaan, kata Nuh, sering mengemuka tentang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi daratan menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Di daerah hulu, tidak jarang didapati pembangunan villa atau perumahan, sehingga menyebabkan terjadinya pengrusakan hutan. Di daerah tengah, banyak pabrik didirikan. Akibatnya, terjadilah perusakan dan pencemaran lingkungan yang dampaknya dirasakan masyarakat yang tinggal di hilir, seperti banjir bandang dan lainnya.

“Kita menginginkan adanya upaya saling menguatkan antara pusat dan daerah. Aspirasi masyarakat dan Pemerintah Daerah dijadikan masukan yang penting dan berarti bagi kebijakan yang digulirkan Pemerintah Pusat.
Semoga harapan kita semua, Indonesia yang lebih baik dapar terwujud,” harapnya.

Selain itu, Nuh juga menyebutkan, ada kesan, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang disebut dengan Omnibus Law  mengarah pada resentralisasi. Padahal semangat reformasi mendorong terwujudnya desentralisasi dengan otonomi daerah. (adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/