25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pengamat: Musibah Sudah Diduga

Foto: Kharisma Tarigan/AFP Hercules nahas di Jalan Jamin Ginting, Medan.
Foto: Kharisma Tarigan/AFP
Hercules nahas di Jalan Jamin Ginting, Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Pusat Studi Keamanan dan Politik Universitas padjajaran (Unpad) Muradi mengaku, sejak beberapa waktu lalu telah sangat khawatir pesawat Hercules bakal mengalami gangguan penerbangan. Pasalnya pesawat angkut militer milik TNI Angkatan Udara tersebut, rata-rata telah berusia tua.

“Bahasa paling gampang, ini sudah diduga, karena secara kalkulatif pesawat yang telah berusia 40 tahun, itu tidak mungkin lagi memiliki performa yang sama saat pesawat yang masih baru,” ujar Muradi kepada Sumut Pos saat dihubungi dari Jakarta.

Muradi mengungkapkan pandangannya, karena secara umum, performa pesawat cukup baik hingga usia 20-30 tahun. Setelah itu akan jauh menurun dan bahkan dari segi kelayakan terbang, sudah tidak dianggap layak terbang. Apalagi jika pesawat tidak dirawat dengan baik.

“Saya sangsi, jangan-jangan onderdilnya masih diproduksi, mungkin dalam perawatannya menggunakan pola kanibalisme,” katanya.

Karena itu dari awal Muradi mengaku telah berkali-kali mengingatkan pemerintah untuk berhenti menerima hibah dan membeli pesawat bekas. Apalagi untuk keperluan militer. Sebab langkah tersebut hanya memindahkan pesawat bekas dari negara lain ke Indonesia.

“Misalnya F-16, itu kan umurnya sudah di atas 25 tahun. Itu kemarin kalau tidak salah jumlahnya yang dihibahkan ke Indonesia itu 26 unit. Fix session atau masa kemasannya sudah turun. Kalau kemarin ada pesawat TNI terbakar, itu tidak heran. Saya setuju komitmen Kasau (Kepala Staf TNI AU,red), tidak mau lagi hibah dan beli bekas. Kalau baru mungkin kesalahan hanya human error, daripada tehnical,” ujarnya.

Agar peristiwa yang sama tidak kembali terulang, Muradi berharap pemerintah dapat segera mengganti seluruh pesawat militer bekas yang ada. Karena selain performa yang tidak bagus, perlu diketahui kekuatan TNI AU berada di alutsista.

“Kalau pesawat (alutsista,red) sekarang sudah tua, mau perang seperti apa. Kalau di TNI AD kan punya skill yang luar biasa. Kalau tidak punya pesawat, ya tidak punya kaki. Jadi ini pekerjaan rumah bagi panglima baru. Ini yang paling mendesak. Tidak boleh lagi bekas, hibah,” ujarnya.

Sementara itu terkait dugaan pesawat Hercules yang jatuh membawa penumpang umum, Muradi menilai secara aturan sebenarnya tidak dibolehkan pesawat militer digunakan untuk komersial.

“Dalam tataran tertentu mungkin sah-sah saja. Karena Pesawat Hercules itu kan tiap minggu keliling. Misalnya, difungsikan sementara waktu sebagai pesawat sipil. Itu pernah terjadi di tahun 1940-1950-an. Atau bisa juga dimanfaatkan dalam kedaruratan. Misal membawa korban bencana dan lain sebagainya,” kata Muradi.

Namun begitu dalam hal ini, perlu diselidiki terlebih dahulu, apakah benar pesawat Hercules mengangkut penumpang sipil. “Problemnya, kalau dikomersilkan, ini harus dikejar. Berarti ada kesalahan prosedur. Tapi memang saya pribadi memahami benar, karena pesawat itu tiap minggu keliling. Sampai ke Makassar bahkan hingga ke Papua,” ujarnya.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI) Wawan Purwanto mengatakan, kecelakaan akibat usia tua kendaraan militer sudah sering terjadi di Indonesia.

“Akibatnya, banyak putra terbaik kita yang jadi korban,” ujarnya saat dihubungi tadi malam.

Menurut Wawan, alutsista tua, apalagi jenis pesawat memang seharusnya dikandangkan karena berisiko tinggi. Sebab, jika terjadi kerusakan mesin, pilihannya adalah jatuh, lebih parah jika jatuhnya di pemukiman penduduk sehingga memakan korban lebih banyak. “Kalau truk mogok bisa diderek, kalau pesawat kan hanya bisa pasrah, ini mestinya jadi perhatian,” katanya.

 

Wawan menyebut, penggunaan pesawat-pesawat tua sebenarnya juga masih dilakukan militer di beberapa negara berkembang. Namun, karena ketiadaan suku cadang atau spare part, maka tidak jarang perbaikan mesin dilakukan secara kanibal atau menggantinya dengan suku cadang mesin lain yang belum tentu sesuai. “Ini sangat membahayakan,” ucapnya.

Wawan menyadari, pemerintah memiliki keterbatasan anggaran pemerintah untuk melakukan peremajaan alutsista. Namun, dia menyatakan jika pesawat angkut harus menjadi prioritas karena dinaiki puluhan bahkan ratusan orang. Sehingga, jika terjadi kecelakaan akan mengakibatkan jatuhnya banyak korban. “Jadi, prioritaskan anggaran untuk peremajaan pesawat angkut dulu,” ujarnya.

Mantan tes pilot PT Dirgantara Indonesia Sumarwoto menilai, secara profil, Pesawat Hercules C 130 tipe B yang jatuh di Medan, merupakan pesawat yang bagus. Menurut dia, pesawat bermesin empat turboprop itu tergolong pesawat yang aman. “Pesawat ini sudah disertifikasi lewat proses cukup ketat,” ungkap Sumarwoto, saat dihubungi.

Saat disinggung dengan kualitas sistem perawatan yang dimiliki TNI AU, Sumarwoto enggan menjelaskan lebih lanjut. “Saya sudah lama tidak di sana, setahu saya ketika masih aktif dulu sih terhitung baik,” elaknya.

Begitupun dengan komponen suku cadang. Menurut dia, TNI AU sepatutnya masih memiliki stok yang cukup terkait proses maintenance. Dia menyatakan, seharusnya ada prosedur yang mesti dilewati ketika sebuah pesawat mendapat izin terbang. “Tapi ya bagaimanapun juga dalam banyak insiden itu ada faktor human-nya, ada faktor manusianya,” imbuh pilot yang masih aktif terbang tersebut. (jpnn/gir/rbb)

Foto: Kharisma Tarigan/AFP Hercules nahas di Jalan Jamin Ginting, Medan.
Foto: Kharisma Tarigan/AFP
Hercules nahas di Jalan Jamin Ginting, Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Pusat Studi Keamanan dan Politik Universitas padjajaran (Unpad) Muradi mengaku, sejak beberapa waktu lalu telah sangat khawatir pesawat Hercules bakal mengalami gangguan penerbangan. Pasalnya pesawat angkut militer milik TNI Angkatan Udara tersebut, rata-rata telah berusia tua.

“Bahasa paling gampang, ini sudah diduga, karena secara kalkulatif pesawat yang telah berusia 40 tahun, itu tidak mungkin lagi memiliki performa yang sama saat pesawat yang masih baru,” ujar Muradi kepada Sumut Pos saat dihubungi dari Jakarta.

Muradi mengungkapkan pandangannya, karena secara umum, performa pesawat cukup baik hingga usia 20-30 tahun. Setelah itu akan jauh menurun dan bahkan dari segi kelayakan terbang, sudah tidak dianggap layak terbang. Apalagi jika pesawat tidak dirawat dengan baik.

“Saya sangsi, jangan-jangan onderdilnya masih diproduksi, mungkin dalam perawatannya menggunakan pola kanibalisme,” katanya.

Karena itu dari awal Muradi mengaku telah berkali-kali mengingatkan pemerintah untuk berhenti menerima hibah dan membeli pesawat bekas. Apalagi untuk keperluan militer. Sebab langkah tersebut hanya memindahkan pesawat bekas dari negara lain ke Indonesia.

“Misalnya F-16, itu kan umurnya sudah di atas 25 tahun. Itu kemarin kalau tidak salah jumlahnya yang dihibahkan ke Indonesia itu 26 unit. Fix session atau masa kemasannya sudah turun. Kalau kemarin ada pesawat TNI terbakar, itu tidak heran. Saya setuju komitmen Kasau (Kepala Staf TNI AU,red), tidak mau lagi hibah dan beli bekas. Kalau baru mungkin kesalahan hanya human error, daripada tehnical,” ujarnya.

Agar peristiwa yang sama tidak kembali terulang, Muradi berharap pemerintah dapat segera mengganti seluruh pesawat militer bekas yang ada. Karena selain performa yang tidak bagus, perlu diketahui kekuatan TNI AU berada di alutsista.

“Kalau pesawat (alutsista,red) sekarang sudah tua, mau perang seperti apa. Kalau di TNI AD kan punya skill yang luar biasa. Kalau tidak punya pesawat, ya tidak punya kaki. Jadi ini pekerjaan rumah bagi panglima baru. Ini yang paling mendesak. Tidak boleh lagi bekas, hibah,” ujarnya.

Sementara itu terkait dugaan pesawat Hercules yang jatuh membawa penumpang umum, Muradi menilai secara aturan sebenarnya tidak dibolehkan pesawat militer digunakan untuk komersial.

“Dalam tataran tertentu mungkin sah-sah saja. Karena Pesawat Hercules itu kan tiap minggu keliling. Misalnya, difungsikan sementara waktu sebagai pesawat sipil. Itu pernah terjadi di tahun 1940-1950-an. Atau bisa juga dimanfaatkan dalam kedaruratan. Misal membawa korban bencana dan lain sebagainya,” kata Muradi.

Namun begitu dalam hal ini, perlu diselidiki terlebih dahulu, apakah benar pesawat Hercules mengangkut penumpang sipil. “Problemnya, kalau dikomersilkan, ini harus dikejar. Berarti ada kesalahan prosedur. Tapi memang saya pribadi memahami benar, karena pesawat itu tiap minggu keliling. Sampai ke Makassar bahkan hingga ke Papua,” ujarnya.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI) Wawan Purwanto mengatakan, kecelakaan akibat usia tua kendaraan militer sudah sering terjadi di Indonesia.

“Akibatnya, banyak putra terbaik kita yang jadi korban,” ujarnya saat dihubungi tadi malam.

Menurut Wawan, alutsista tua, apalagi jenis pesawat memang seharusnya dikandangkan karena berisiko tinggi. Sebab, jika terjadi kerusakan mesin, pilihannya adalah jatuh, lebih parah jika jatuhnya di pemukiman penduduk sehingga memakan korban lebih banyak. “Kalau truk mogok bisa diderek, kalau pesawat kan hanya bisa pasrah, ini mestinya jadi perhatian,” katanya.

 

Wawan menyebut, penggunaan pesawat-pesawat tua sebenarnya juga masih dilakukan militer di beberapa negara berkembang. Namun, karena ketiadaan suku cadang atau spare part, maka tidak jarang perbaikan mesin dilakukan secara kanibal atau menggantinya dengan suku cadang mesin lain yang belum tentu sesuai. “Ini sangat membahayakan,” ucapnya.

Wawan menyadari, pemerintah memiliki keterbatasan anggaran pemerintah untuk melakukan peremajaan alutsista. Namun, dia menyatakan jika pesawat angkut harus menjadi prioritas karena dinaiki puluhan bahkan ratusan orang. Sehingga, jika terjadi kecelakaan akan mengakibatkan jatuhnya banyak korban. “Jadi, prioritaskan anggaran untuk peremajaan pesawat angkut dulu,” ujarnya.

Mantan tes pilot PT Dirgantara Indonesia Sumarwoto menilai, secara profil, Pesawat Hercules C 130 tipe B yang jatuh di Medan, merupakan pesawat yang bagus. Menurut dia, pesawat bermesin empat turboprop itu tergolong pesawat yang aman. “Pesawat ini sudah disertifikasi lewat proses cukup ketat,” ungkap Sumarwoto, saat dihubungi.

Saat disinggung dengan kualitas sistem perawatan yang dimiliki TNI AU, Sumarwoto enggan menjelaskan lebih lanjut. “Saya sudah lama tidak di sana, setahu saya ketika masih aktif dulu sih terhitung baik,” elaknya.

Begitupun dengan komponen suku cadang. Menurut dia, TNI AU sepatutnya masih memiliki stok yang cukup terkait proses maintenance. Dia menyatakan, seharusnya ada prosedur yang mesti dilewati ketika sebuah pesawat mendapat izin terbang. “Tapi ya bagaimanapun juga dalam banyak insiden itu ada faktor human-nya, ada faktor manusianya,” imbuh pilot yang masih aktif terbang tersebut. (jpnn/gir/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/