Terpisah, Anggota Komisi VIII DRP Dwi Astuti Wulandari menyayangkan sikap Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai lembaga yang berwenang, hingga kini belum memberi penjelasan atas isu sensitif ini. “Tidak ada yang menjelaskan kepada masyarakat secara baik dan komprehensif. Sehingga, tidak dapat disalahkan jika masyarakat memiliki pendapat masing-masing terkait wacana dana haji yang akan digunakan pemerintah tersebut,” ucap politisi Partai Demokrat ini, Senin (31/7).
Dwi menjelaskan, ada beberapa pandangan yang bisa ditindaklanjuti guna menyelesaikan polemik tersebut. Pertama, sebaiknya Pemerintah secepatnya menerbitkan turunan UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Baik itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun regulasi lainnya terkait teknis sebagai panduan pelaksanaan tata kelola dana haji. “Ini untuk memberikan kepastian hukum dan pijakan kebijakan lainnya,” terang Dwi.
Kedua, mendesak secepatnya kepada Pemerintah, BPKH, MUI, untuk duduk bersama guna merumuskan regulasi pengelolaan dana haji sesuai asas yang diatur dalam undang-undang, yakni asas prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, asas manfaat, nirlaba, transparan, akuntabel, dan asas kemaslahatan umat Islam.
Ketiga, lanjut Dwi, polemik dana haji ini tidak terlepas dari hambatan psikologis akibat sikap, perlakuan, kebijakan politik Pemerintah yang dirasa sebagian pihak tidak ramah dengan Islam. Hal tersebut telah membuat hilangnya kepercayaan publik (public untrust) terhadap Pemerintah. Ketersinggungan ini yang kemudian menjadi ‘bumbu’ pro dan kontra terhadap rencana Presiden Jokowi menggunakan dana haji untuk pembiyaan infrastruktur.
“Karenanya, tugas Pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan publik, memperbaiki gaya politik dan sikapnya terhadap kepentingan umat Islam. Agar hambatan psikologis dan benturan-benturan aksi dan reaksi tidak terus terjadi menjadi polemik dan perdebatan yang sia-sia,” tandasnya. (rmol/jpg/adz)