JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menjelang Idul Adha 2022, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum dan panduan pelaksanaan kurban saat kondisi wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Intinya, sapi, kambing, maupun domba yang terjangkit virus PMK tetap bisa menjadi hewan kurban dengan kondisi tertentu. Fatwa tersebut disampaikan Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh di Jakarta kemarin (31/5).
Dia menceritakan, pada 17 Mei lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) menyampaikan permohonan fatwa pemotongan hewan kurban di tengah wabah PMK. Setelah itu dilakukan pendalaman yang melibatkan ahli terkait pada 27 Mei. Lalu, fatwa dikeluarkan pada 31 Mei.”Di satu sisi tetap sejalan dengan prinsip syariah. Di sisi lain menghindari masalah atau bahaya,” katanya.
Dari hasil pendalaman diketahui, tingkat penularan virus PMK begitu cepat. Masa inkubasinya 1–14 hari. Penularan melalui kontak langsung maupun airborne atau udara. Hewan yang terkena PMK memiliki gejala klinis lesu, demam, dan luka lepuh. Gejala klinis itu tidak berpengaruh pada jumlah dan kualitas daging.
Asrorun menjelaskan, daging hewan yang terinfeksi PMK tetap layak konsumsi. Kemudian, virus PMK tidak menular ke manusia. Lalu, virus PMK langsung mati ketika direbus air mendidih. “Kewaspadaan penting. Kepanikan jangan,” tuturnya.
Di dalam fatwa MUI dijelaskan, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan hukumnya sah dijadikan hewan kurban. Gejala ringan itu meliputi lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, atau keluar air liur lebih dari biasanya.
Sementara itu, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat tidak sah dijadikan hewan kurban. Gejala klinis kategori berat itu adalah lepuh pada kuku hingga kukunya terlepas. Kemudian mengakibatkan si hewan pincang atau tidak bisa berjalan sama sekali dan hewan menjadi sangat kurus.
Hewan terkena PMK dengan gejala berat, kemudian sembuh di rentang 10–13 Zulhijah, dinyatakan sah dijadikan hewan kurban. Namun, hewan PMK gejala berat dan sembuh melewati tanggal 13 Zulhijah bisa disembelih, tapi dianggap sedekah. “Bukan penyembelihan hewan kurban,” katanya. Sebab, sesuai tuntunan Islam, pelaksanaan penyembelihan hewan kurban adalah di Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijah) dan hari tasyrik (11–13 Zulhijah).
MUI juga membuat panduan pelaksanaan kurban untuk mencegah penularan wabah PMK. Di antaranya, umat Islam dan penjual hewan kurban wajib memastikan hewan kurban memenuhi syarat sah. Khususnya dari aspek kesehatan. Kemudian, panitia atau penyembelih hewan kurban perlu mengawasi kesehatan hewan dan proses pemotongan serta penanganan daging, jeroan, serta limbahnya.
Ketika terjadi pembatasan pergerakan ternak, sehingga membuat stok berkurang, bisa dilakukan dengan takwil atau mewakilkan kepada orang lain. Atau juga bisa berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang melakukan pemotongan hewan kurban dari sentra ternak.
Masuknya masa Idul Kurban sebelumnya juga sempat disinggung Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Dia mengatakan, Kementan sudah menyiapkan skenario menyambut datangnya Idul Kurban di tengah wabah PMK. Di antaranya adalah menyediakan kecukupan stok hewan kurban.
Syahrul mengatakan, pada 2021 hewan kurban yang dipotong mencapai 1,6 juta ekor. Proyeksi jumlah hewan kurban yang dipotong tahun ini 1,7 juta ekor atau naik sekitar 5 persen. “Potensi ketersediaan hewan kurban 2022 bukan berasal dari daerah atau kabupaten/kota yang masuk dalam zona merah (terkonfirmasi kasus PMK hasil laboratorium, Red),” ujar dia.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Sumatera Utara (Sumut) Ahmad Hadian meminta Kementerian Pertanian (Kementan) harus segera menyukupi pasokan obat dan vaksin guna mengatasi wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak sapi. Para peternak saat ini tengah kesulitan mengobati ternak sapinya yang terpapar PMK.
“Perkembangan paparan PMK yang begitu cepat harusnya diantisipasi dengan pasokan obat dan vaksin yang mencukupi. Masyarakat peternak sudah mengeluh kesulitan mengatasi ternak sapinya terpapar PMK,” ujar Ahmad Hadian Rabu (1/6/) di Medan, menanggapi keluhan peternak terkait sapinya terpapar PMK.
Dari pantauan di lapangan, lanjut Sekretaris FPKS ini, dinas-dinas peternakan di kabupaten/kota tidak memiliki stok obat yang memadai, sehingga banyak petugas kesehatan hewan harus membeli sendiri obat tersebut di apotik hewan guna melayani permintaan peternak yang ternaknya terpapar PMK.
“Resikonya peternak harus mengeluarkan biaya untuk obat tersebut. Padahal untuk kasus wabah seperti ini seyogyanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Harusnya peternak rakyat bisa mendapatkan obat dan vaksin secara gratis,” ujarnya.
Beberapa masalah lain terkait wabah PMK saat ini, menurut anggota dewan dari dapil Batubara, Asahan, Tanjungbalai ini, stok obat pun langka di pasaran. Ini harus jadi perhatian pemerintah pusat dalam hal ini Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI.
Apalagi, kata Ahmad Hadian, belum semua peternak sadar akan bahaya PMK ini, khususnya peternak yang terbiasa melepas liarkan ternak nya belum semua mau mengurung / mengisolasi ternak nya yang sudah terinfeksi, ini yang bisa turut mempercepat penularan. (jpg/map)