DAHSYATNYA gempa dan tsunami yang melanda Donggala, Palu dan sekitarnya, membuat kaget ilmuan dunia. Mereka tak menduga gempa yang mengguncang Donggala akhirnya memicu gelombang tsunami menghancurkan Kota Palu.
“Kami memperkirakan gempa itu mungkin memicu tsunami, tapi tidak sebesar itu,” sebut Jason Patton, pakar geofisika yang bekerja untuk perusahaan konsultan Temblor dan mengajar pada Humboldt State University di California, Amerika Serikat (AS), seperti dilansir New York Times, Senin (1/10).
“Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kita biasanya mendapati hal-hal yang belum pernah kita amati sebelumnya,” imbuh Dr Patton.
Pada Jumat (28/9) sore, tsunami itu dipicu gempa bumi dengan magnitudo 7,4 yang berpusat di titik 80 kilometer sebelah utara Palu. Sesaat kemudian gelombang air laut hingga setinggi menerjang Palu. Akibat peristiwa itu bangunan-bangunan hancur, kendaraan tersapu hanyut, dan menyebabkan ratusan bahkan diperkirakan ribuan orang tewas.
Diketahui, tsunami menghancurkan seringkali disebabkan oleh gempa megathrust ketika sesar bumi yang berukuran besar melakukan penyesuaian dengan bergerak secara vertikal di sepanjang patahan bumi. Dalam peristiwa ini biasanya sejumlah besar air laut akan terdorong, memicu gelombang yang bisa bergerak dalam kecepatan tinggi dan memicu kehancuran di lokasi yang berjarak ribuan kilometer dari pusat gempa.
Tsunami yang terjadi di Palu berbeda dengan tsunami dahsyat di Samudera Hindia pada 2004 lalu yang terjadi di Aceh. Tsunami Aceh dipicu gempa megathrust berkekuatan 9,1 magnitudo hingga terjadinya tsunami hingga setinggi 30 meter dan menewaskan nyaris seperempat juta orang mulai dari Indonesia hingga Afrika Selatan.
Sementara tsunami Palu dipicu patahan yang pecah yang disebut patahan strike-slip. Pergerakan patahan Bumi kebanyakan horisontal dan pergerakan semacam itu biasanya tidak memicu tsunami. Namun dalam situasi tertentu, sebut Dr Patton, tsunami bisa terjadi.
Patahan strike-slip bisa memicu sejumlah pergerakan vertikal yang bisa memindahkan sejumlah besar air laut. Atau zona pecahnya patahan Bumi, dalam kasus ini yang diperkirakan mencapai panjang 112 kilometer, melewati area di mana dasar laut bergerak naik atau turun, jadi ketika patahan bergerak saat gempa melanda, itu memindahkan sejumlah besar air laut ke depannya.
Kemungkinan lain, tsunami terbentuk secara tidak langsung. Guncangan keras saat gempa mungkin telah menyebabkan tanah longsor di bawah laut yang akan memindahkan air laut dan memicu gelombang besar. Peristiwa semacam ini bukannya tidak biasa, karena pernah terjadi saat gempa 9,2 magnitudo mengguncang Alaska tahun 1964 silam.
Tsunami juga disebabkan lokasi Kota Palu yang ada di ujung teluk dangkal. Garis pantai dan bentuk dasar teluk bisa saja memfokuskan energi gelombang laut dan mengarahkannya ke teluk, dengan ketinggian semakin meningkat saat semakin mendekati pantai. Efek semacam itu pernah terjadi sebelumnya di Crescent City, California, AS yang pernah diterjang lebih dari 30 tsunami.
Dr Patton menyebut, kombinasi berbagai faktor mungkin bisa berkontribusi pada sebuah tsunami. Kajian terhadap dasar lautan menjadi krusial dalam upaya memahami terjadinya sebuah tsunami. “Kita tidak akan tahu apa yang menyebabkannya hingga peristiwa itu selesai,” ucapnya.