25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Gempa Donggala Bikin Kaget Ilmuan

Tak Ada Alat Pendeteksi Tsunami
Para pakar tsunami memberi catatan soal kurangnya sistem canggih pendeteksi dini tsunami di Indonesia. Saat ini Indonesia diketahui hanya menggunakan seismograf, perlengkapan GPS (global positioning system) dan tide gauge (alat pengukur perubahan ketinggian air laut) untuk mendeteksi tsunami.

Profesor pada University of Pittsburgh, Louise Comfort, menyatakan Indonesia memiliki 22 jaringan sensor serupa namun kebanyakan tidak lagi digunakan karena tidak dirawat atau dicuri pihak tak bertanggung jawab. Dia menyebut peralatan itu memiliki efektivitas yang sangat terbatas.

AS sendiri memiliki 39 jaringan sensor canggih di dasar lautan yang bisa mendeteksi perubahan tekanan sekecil apapun yang mengindikasikan kemunculan sebuah tsunami. Data-data dari sensor itu akan disampaikan via satelit dan dianalisis, untuk kemudian peringatan akan dirilis jika diperlukan.

Comfort saat ini sedang terlibat proyek untuk membawa sensor tsunami di Indonesia. Proyek yang sedang dikerjakan Dr Comfort akan membawa sistem baru ke Indonesia, yang nantinya akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan buoy di permukaan laut yang bisa dicuri atau tertabrak kapal.

Dituturkan Dr Comfort, dirinya sedang membahas proyek ini bersama tiga badan pemerintahan Indonesia. Rencana untuk memasang prototipe sistem itu di Sumatera tertunda bulan ini. “Mereka tidak bisa menemukan cara untuk bekerja sama. Ini menyayat hati ketika Anda tahu bahwa teknologinya ada. Indonesia ada di kawasan Cincin Api – tsunami akan terjadi lagi,” ucapnya.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dibangun setelah bencana besar di Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004. Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dana dan tenaga ahli Jerman lewat Pusat Geologi dekat Berlin, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam. “Menurut informasi yang kami terima, software-nya berfungsi dengan baik”, kata Juru bicara GFZ Josef Zens kepada harian Berlin “Tagesspiegel” edisi 1 Oktober 2018.

Dia menjelaskan, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta mengeluarkan peringatan bahaya tsunami lima menit setelah terjadi gempa di Sulawesi Tengah. Simulasi komputer menyebutkan ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5 sampai 3 meter. 20 menit setelah gempa, gelombang besar itu mencapai daerah pesisir Sulawesi.

Namun, dia menduga peringatan tsunami itu tak sampai kepada masyarakat setempat. Josef juga menyayangkan penarikan peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG terlalu cepat, hanya 37 menit setelah peringatan pertama dikeluarkan.

“Sistem yang kami buat mengatur bahwa peringatan tsunami paling cepat baru bisa dibatalkan setelah dua jam.” Dia menambahkan, masih harus ditelusuri, mengapa pembatalan peringatan tsunami dikeluarkan secepat itu.

Ahli GFZ lain, Jrn Launterjung, menerangkan kepada televisi Jerman ARD, sistem peringatan dini tsunami berfungsi baik karena ancaman tsunami disebar lima menit setelah gempa. Namun dia menduga informasi itu tak sampai ke masyarakat. Jrn Launterjung yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami di Indonesia mengatakan dengan sistem yang ada, peringatan dini tsunami paling cepat diperoleh dalam waktu lima menit.

“Semua data-data yang diterima dari lokasi gempa harus diolah oleh komputer, kemudian dibuat model simulasi untuk menentukan, apakah ada ancaman gelombang tsunami, dan lokasi mana saja yang terancam. Semua itu berlangsung empat sampai lima menit. Itulah waktu yang tercepat membuat simulasi yang real,” kata dia.

Jrn Launterjung kaget dan prihatin atas bencana yang terjadi di Sulteng karena ada ratusan nyawa hilang meski sudah ada sistem peringatan dini tsunami. Menurutnya, pelatihan penanggulangan bencana yang cepat dan tepat mesti ditingkatkan.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dari Jerman setelah gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada 2004. Ketika itu, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang berpusat di Simeuleu menyebabkan gelombang tsunami hebat sampai ke Samudera Hindia. Lebih 230.000 orang tewas di seluruh dunia, di Aceh dan Sumatera Utara saja korban tewas mencapai lebih 160.000 orang. (bbs/jpc/adz)

Tak Ada Alat Pendeteksi Tsunami
Para pakar tsunami memberi catatan soal kurangnya sistem canggih pendeteksi dini tsunami di Indonesia. Saat ini Indonesia diketahui hanya menggunakan seismograf, perlengkapan GPS (global positioning system) dan tide gauge (alat pengukur perubahan ketinggian air laut) untuk mendeteksi tsunami.

Profesor pada University of Pittsburgh, Louise Comfort, menyatakan Indonesia memiliki 22 jaringan sensor serupa namun kebanyakan tidak lagi digunakan karena tidak dirawat atau dicuri pihak tak bertanggung jawab. Dia menyebut peralatan itu memiliki efektivitas yang sangat terbatas.

AS sendiri memiliki 39 jaringan sensor canggih di dasar lautan yang bisa mendeteksi perubahan tekanan sekecil apapun yang mengindikasikan kemunculan sebuah tsunami. Data-data dari sensor itu akan disampaikan via satelit dan dianalisis, untuk kemudian peringatan akan dirilis jika diperlukan.

Comfort saat ini sedang terlibat proyek untuk membawa sensor tsunami di Indonesia. Proyek yang sedang dikerjakan Dr Comfort akan membawa sistem baru ke Indonesia, yang nantinya akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan buoy di permukaan laut yang bisa dicuri atau tertabrak kapal.

Dituturkan Dr Comfort, dirinya sedang membahas proyek ini bersama tiga badan pemerintahan Indonesia. Rencana untuk memasang prototipe sistem itu di Sumatera tertunda bulan ini. “Mereka tidak bisa menemukan cara untuk bekerja sama. Ini menyayat hati ketika Anda tahu bahwa teknologinya ada. Indonesia ada di kawasan Cincin Api – tsunami akan terjadi lagi,” ucapnya.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dibangun setelah bencana besar di Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004. Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dana dan tenaga ahli Jerman lewat Pusat Geologi dekat Berlin, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam. “Menurut informasi yang kami terima, software-nya berfungsi dengan baik”, kata Juru bicara GFZ Josef Zens kepada harian Berlin “Tagesspiegel” edisi 1 Oktober 2018.

Dia menjelaskan, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta mengeluarkan peringatan bahaya tsunami lima menit setelah terjadi gempa di Sulawesi Tengah. Simulasi komputer menyebutkan ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5 sampai 3 meter. 20 menit setelah gempa, gelombang besar itu mencapai daerah pesisir Sulawesi.

Namun, dia menduga peringatan tsunami itu tak sampai kepada masyarakat setempat. Josef juga menyayangkan penarikan peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG terlalu cepat, hanya 37 menit setelah peringatan pertama dikeluarkan.

“Sistem yang kami buat mengatur bahwa peringatan tsunami paling cepat baru bisa dibatalkan setelah dua jam.” Dia menambahkan, masih harus ditelusuri, mengapa pembatalan peringatan tsunami dikeluarkan secepat itu.

Ahli GFZ lain, Jrn Launterjung, menerangkan kepada televisi Jerman ARD, sistem peringatan dini tsunami berfungsi baik karena ancaman tsunami disebar lima menit setelah gempa. Namun dia menduga informasi itu tak sampai ke masyarakat. Jrn Launterjung yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami di Indonesia mengatakan dengan sistem yang ada, peringatan dini tsunami paling cepat diperoleh dalam waktu lima menit.

“Semua data-data yang diterima dari lokasi gempa harus diolah oleh komputer, kemudian dibuat model simulasi untuk menentukan, apakah ada ancaman gelombang tsunami, dan lokasi mana saja yang terancam. Semua itu berlangsung empat sampai lima menit. Itulah waktu yang tercepat membuat simulasi yang real,” kata dia.

Jrn Launterjung kaget dan prihatin atas bencana yang terjadi di Sulteng karena ada ratusan nyawa hilang meski sudah ada sistem peringatan dini tsunami. Menurutnya, pelatihan penanggulangan bencana yang cepat dan tepat mesti ditingkatkan.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dari Jerman setelah gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada 2004. Ketika itu, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang berpusat di Simeuleu menyebabkan gelombang tsunami hebat sampai ke Samudera Hindia. Lebih 230.000 orang tewas di seluruh dunia, di Aceh dan Sumatera Utara saja korban tewas mencapai lebih 160.000 orang. (bbs/jpc/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/