30.6 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Ketika Murid Diminta Memaknai Makanan

Belajar Makan Siang Bersama di SD Nishikasai Tokyo

Harapan hidup orang Jepang tertinggi di dunia. Untuk kaum hawa, harapan hidup mencapai 86,4 tahun, sedangkan pria sedikit lebih rendah, yakni 79,6 tahun. Semua itu berkat program shokuiku (edukasi gizi) yang digalakkan sejak 50 tahun lalu. Seperti apa di sana?

ISHAQ BAHRI, Tokyo

MAKAN SIANG: Aktivitas murid SD Nishikasai Tokyo saat makan siang sekolah.//JAWA POS PHOTO/jpnn
MAKAN SIANG: Aktivitas murid SD Nishikasai Tokyo saat makan siang sekolah.//JAWA POS PHOTO/jpnn

Di pengujung Oktober, mentari tak selalu terbit tepat waktu di Negara Matahari Terbit. Mendung tipis sering menyaput langit membuat matahari malas-malasan menghangatkan pagi.

Jarum jam baru menunjuk pukul 07.00 ketika kami berkumpul di lobi Hotel Villa Fontaine, Shiodomi, Tokyo. Kami bertujuh, rombongan wartawan dari Indonesia, pagi itu tampil rapi berbaju batik.

Rabu (24/10), hari ketiga, kami menghirup udara Negeri Sakura. Setelah sebelumnya menyaksikan puing-puing amuk tsunami dan pabrik Yakult di Provinsi Sendai, hari itu rombongan journalist tour dari Indonesia dan Malaysia mengunjungi SD Nishikasai (Nishikasai Elementary School)n
Di sekolah itu kami akan mempelajari sistem “makan siang bersama di sekolah”.

Apa istimewanya makan siang di sekolah? Di Indonesia makan siang di sekolah belum menjadi kebiasaan. Sebab, pada jam makan siang, pelajaran sudah selesai dan siswa SD sudah pulang. Hanya di sekolah-sekolah full day yang mungkin mengadakan acara makan siang bareng itu. Berbeda dengan di Jepang. Di sana siswa SD masuk pukul 08.00 dan baru pulang pukul 16.00. Dengan begitu, memungkinkan makan siang bersama menjadi kebiasaan setiap hari.

Mengapa belajar makan siang bersama harus ke Jepang? Pertanyaan itu segera menguap begitu langkah kaki melewati pintu keluar hotel. Angin dingin langsung menyergap. Apalagi, sepagi itu lorong-lorong subway sudah disesaki ribuan manusia. Mereka melangkah cepat-cepat seperti dikejar hantu. Saya pun harus berlari-lari kecil agar tak ditinggalkan Tetsuya Hori, pemandu tur.

“Di sini orang harus mengejar kereta api pertama. Soalnya, begitu terlambat, dia akan terlambat naik kereta berikutnya,” ujar Faizal (26) warga Aceh, ketika ditemui Jawa Pos (grup Sumut Pos) di Tokyo Jamii (Masjid Raya Tokyo) pada perayaan Idul Adha Jumat (26/10). Sudah empat tahun Faisal bekerja di sebuah percetakan di Jepang.

Kami menuju SD Nishikasai dengan menggunakan Tokyo Metro, salah satu perusahaan kereta api di Jepang. Selain Tokyo Metro, ada Tokyu, Kejo, dan yang paling terkenal Japan Railway (JR) Line.

Sekitar 30 menit perjalanan naik Metro Tokyo, kami turun di Stasiun Nishikasai, disambung dengan berjalan kaki di trotoar yang lebar, mulus, dan bersih. Jarak stasiun kereta api dengan SD itu hanya sekitar 300 meter.

Gedung SD Nishikasai ternyata sebuah bangunan ‘kuno’ untuk ukuran Kota Tokyo yang supermodern. Bahkan, bangunan itu kalah megah jika dibandingkan dengan gedung-gedung sekolah swasta berlabel internasional di Indonesia yang belakangan menjamur.

SD Nishikasai memiliki 688 siswa dan 48 staf pengajar. Sekolah ini masih memegang teguh tradisi shokuiku (edukasi gizi) yang dijalani lebih dari 50 tahun silam. “Kami memilih SD ini karena merupakan sekolah dengan siswa paling banyak,” kata Mangasa AF Siregar dari Yakult Indonesia.

Tak ada penyambutan berlebihan. Beberapa guru SD Nishikasai yang menerima kami mengenakan baju sehari-hari. Misalnya, seorang guru olahraga mengenakan celana training dan kaus. Meski begitu, tak mengurangi keramahan dan kehangatan khas bangsa Jepang. “Arigato gozaimasta (Terima kasih, Red)…,” sambut mereka sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Pertanyaan besar tentang “makan siang bersama” di sekolah pun mulai terjawab saat kami berada di ruang guru. Ternyata, intinya bukan sekadar makan siang, tapi yang terpenting adalah pendidikan soal gizi.

“Tujuan kami agar setiap siswa dapat belajar sejak dini tentang menu makanan dan pola makan yang sehat sehingga nanti mereka bisa mengatur kesehatan mereka melalui makanan secara mandiri,” jelas Kiyoe Yoshida, ahli gizi SD Nishikasai.

Meski tradisi makan siang bersama di SD Jepang itu sudah diterapkan lebih dari 50 tahun, adanya campur tangan ahli gizi di sekolah baru terjadi lima tahun terakhir. Saat ini 400 ahli gizi tersebar di sekolah-sekolah di Tokyo.

Menurut Kiyoe Yoshida, pendidikan gizi di SD Nishikasai dibagi tiga jenjang sesuai dengan kelas atau usia siswa. Yakni, lower grades atau kelas rendah (kelas II dan II), middle grades atau kelas menengah (kelas III dan IV), dan terakhir higher grades atau kelas tinggi (kelas V dan VI).

“Untuk lower grades, targetnya membuat para siswa menikmati makan bersama dengan senang hati. Mereka yang di kelas middle grades harus mulai mengerti pentingnya kandungan nutrisi dalam daging, buah-buahan, dan sayuran serta harus mengonsumsinya secara seimbang,” katanya.

Sedangkan, kelompok higher grades harus belajar betapa pentingnya makanan yang seimbang. “Saat makan, mereka harus bisa memilih makanan sesuai kebutuhan tubuhnya,” tambah dia.

Menurut Kiyoe Yushida, membuat menu makanan sehat yang bisa terima oleh ratusan lidah siswa bukan hal gampang. Karena itu, peran orangtua siswa sangat penting. Bagaimana orangtua di rumah bisa menyajikan makanan (sarapan dan makan malam) yang tidak jauh berbeda dengan menu makan siang di sekolah.

Untuk jembatan komunikasi dengan wali murid terkait pendidikan gizi ini, sekolah menerbitkan buletin bulanan Food & Nutrition Newsletter. Untuk edisi September lalu, misalnya, ada artikel tentang musim panas dan kesehatan tubuh, makanan yang mesti dimakan, daftar menu, dan sebagainya.
“Yang jelas, semua bahan untuk membuat makanan merupakan hasil dari dalam negeri,” kata Kiyoe Yushida.

Siapa yang menanggung biaya makan siang ratusan siswa tersebut? “Para wali murid,” kata perempuan yang mengaku sudah 30 tahun mengabdi di SD Nishikasai itu. Tapi, kata dia, hanya sebagian kecil. Pemerintah yang membayar lebih banyak. Sebab, di Jepang sekolah, mulai SD hingga SMA, gratis.
Setelah mendapat penjelasan seputar makan siang bersama itu, kami diajak melihat proses memasak menu makan siang hari itu. Namun, kami hanya boleh melihat dari balik kaca, tidak boleh masuk ke dapur.

Tampak beberapa koki berpakaian putih sibuk memasak. Ada yang memasak nasi dengan menggunakan beberapa rice cooker raksasa, ada yang membuat sop, menggoreng ikan, dan sebagainya. Saking asyiknya, mereka tak sempat membagi perhatian kepada 20 tamu dari Indonesia dan Malaysia yang memotret mereka dari balik kaca.

Setelah itu, kami digiring memasuki aula yang mirip gedung pertunjukan mini. Letaknya di belakang gedung utama, bersebelahan dengan dapur. “Selamat pagi…!” Suara ratusan murid menyambut kami.

Para siswa itu duduk lesehan di lantai yang terbuat dari papan. Mereka adalah siswa kelas III. Mereka, tampaknya, memang disiapkan untuk membuat kejutan kepada tamunya.

Kami lalu diajak masuk kelas. Tak lama kemudian, ketika waktu menunjuk pukul 12.30, acara makan siang bersama dimulai. Kami ikut bergabung menikmati masakan siang itu.

Saya satu meja dengan tiga siswi dan seorang siswa. Mereka mengenalkan diri berama Arokawa Jynki, Tanahasi Nonoka, Yosimotosaya, dan Nusizuakio. Kami duduk melingkari empat meja belajar yang ternyata bisa disulap menjadi satu meja makan.

Menu hari itu semangkuk nasi putih, ikan goreng, sop, sayur, sepotong buah, susu, dan Yakult (probiotik). “All halal food,” kata Arokawa Jynki dalam bahasa Inggris.

Ketika saya tengah sibuk mengangkat nasi dengan menggunakan sumpit, tiba-tiba Arokawa memegang tangan saya. Rupanya, dia mengajak saya bermain hom-pim-pa dan adu suit. Jadilah, kami berlima makan siang sambil bermain hom-pim-pa. (*)

Belajar Makan Siang Bersama di SD Nishikasai Tokyo

Harapan hidup orang Jepang tertinggi di dunia. Untuk kaum hawa, harapan hidup mencapai 86,4 tahun, sedangkan pria sedikit lebih rendah, yakni 79,6 tahun. Semua itu berkat program shokuiku (edukasi gizi) yang digalakkan sejak 50 tahun lalu. Seperti apa di sana?

ISHAQ BAHRI, Tokyo

MAKAN SIANG: Aktivitas murid SD Nishikasai Tokyo saat makan siang sekolah.//JAWA POS PHOTO/jpnn
MAKAN SIANG: Aktivitas murid SD Nishikasai Tokyo saat makan siang sekolah.//JAWA POS PHOTO/jpnn

Di pengujung Oktober, mentari tak selalu terbit tepat waktu di Negara Matahari Terbit. Mendung tipis sering menyaput langit membuat matahari malas-malasan menghangatkan pagi.

Jarum jam baru menunjuk pukul 07.00 ketika kami berkumpul di lobi Hotel Villa Fontaine, Shiodomi, Tokyo. Kami bertujuh, rombongan wartawan dari Indonesia, pagi itu tampil rapi berbaju batik.

Rabu (24/10), hari ketiga, kami menghirup udara Negeri Sakura. Setelah sebelumnya menyaksikan puing-puing amuk tsunami dan pabrik Yakult di Provinsi Sendai, hari itu rombongan journalist tour dari Indonesia dan Malaysia mengunjungi SD Nishikasai (Nishikasai Elementary School)n
Di sekolah itu kami akan mempelajari sistem “makan siang bersama di sekolah”.

Apa istimewanya makan siang di sekolah? Di Indonesia makan siang di sekolah belum menjadi kebiasaan. Sebab, pada jam makan siang, pelajaran sudah selesai dan siswa SD sudah pulang. Hanya di sekolah-sekolah full day yang mungkin mengadakan acara makan siang bareng itu. Berbeda dengan di Jepang. Di sana siswa SD masuk pukul 08.00 dan baru pulang pukul 16.00. Dengan begitu, memungkinkan makan siang bersama menjadi kebiasaan setiap hari.

Mengapa belajar makan siang bersama harus ke Jepang? Pertanyaan itu segera menguap begitu langkah kaki melewati pintu keluar hotel. Angin dingin langsung menyergap. Apalagi, sepagi itu lorong-lorong subway sudah disesaki ribuan manusia. Mereka melangkah cepat-cepat seperti dikejar hantu. Saya pun harus berlari-lari kecil agar tak ditinggalkan Tetsuya Hori, pemandu tur.

“Di sini orang harus mengejar kereta api pertama. Soalnya, begitu terlambat, dia akan terlambat naik kereta berikutnya,” ujar Faizal (26) warga Aceh, ketika ditemui Jawa Pos (grup Sumut Pos) di Tokyo Jamii (Masjid Raya Tokyo) pada perayaan Idul Adha Jumat (26/10). Sudah empat tahun Faisal bekerja di sebuah percetakan di Jepang.

Kami menuju SD Nishikasai dengan menggunakan Tokyo Metro, salah satu perusahaan kereta api di Jepang. Selain Tokyo Metro, ada Tokyu, Kejo, dan yang paling terkenal Japan Railway (JR) Line.

Sekitar 30 menit perjalanan naik Metro Tokyo, kami turun di Stasiun Nishikasai, disambung dengan berjalan kaki di trotoar yang lebar, mulus, dan bersih. Jarak stasiun kereta api dengan SD itu hanya sekitar 300 meter.

Gedung SD Nishikasai ternyata sebuah bangunan ‘kuno’ untuk ukuran Kota Tokyo yang supermodern. Bahkan, bangunan itu kalah megah jika dibandingkan dengan gedung-gedung sekolah swasta berlabel internasional di Indonesia yang belakangan menjamur.

SD Nishikasai memiliki 688 siswa dan 48 staf pengajar. Sekolah ini masih memegang teguh tradisi shokuiku (edukasi gizi) yang dijalani lebih dari 50 tahun silam. “Kami memilih SD ini karena merupakan sekolah dengan siswa paling banyak,” kata Mangasa AF Siregar dari Yakult Indonesia.

Tak ada penyambutan berlebihan. Beberapa guru SD Nishikasai yang menerima kami mengenakan baju sehari-hari. Misalnya, seorang guru olahraga mengenakan celana training dan kaus. Meski begitu, tak mengurangi keramahan dan kehangatan khas bangsa Jepang. “Arigato gozaimasta (Terima kasih, Red)…,” sambut mereka sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Pertanyaan besar tentang “makan siang bersama” di sekolah pun mulai terjawab saat kami berada di ruang guru. Ternyata, intinya bukan sekadar makan siang, tapi yang terpenting adalah pendidikan soal gizi.

“Tujuan kami agar setiap siswa dapat belajar sejak dini tentang menu makanan dan pola makan yang sehat sehingga nanti mereka bisa mengatur kesehatan mereka melalui makanan secara mandiri,” jelas Kiyoe Yoshida, ahli gizi SD Nishikasai.

Meski tradisi makan siang bersama di SD Jepang itu sudah diterapkan lebih dari 50 tahun, adanya campur tangan ahli gizi di sekolah baru terjadi lima tahun terakhir. Saat ini 400 ahli gizi tersebar di sekolah-sekolah di Tokyo.

Menurut Kiyoe Yoshida, pendidikan gizi di SD Nishikasai dibagi tiga jenjang sesuai dengan kelas atau usia siswa. Yakni, lower grades atau kelas rendah (kelas II dan II), middle grades atau kelas menengah (kelas III dan IV), dan terakhir higher grades atau kelas tinggi (kelas V dan VI).

“Untuk lower grades, targetnya membuat para siswa menikmati makan bersama dengan senang hati. Mereka yang di kelas middle grades harus mulai mengerti pentingnya kandungan nutrisi dalam daging, buah-buahan, dan sayuran serta harus mengonsumsinya secara seimbang,” katanya.

Sedangkan, kelompok higher grades harus belajar betapa pentingnya makanan yang seimbang. “Saat makan, mereka harus bisa memilih makanan sesuai kebutuhan tubuhnya,” tambah dia.

Menurut Kiyoe Yushida, membuat menu makanan sehat yang bisa terima oleh ratusan lidah siswa bukan hal gampang. Karena itu, peran orangtua siswa sangat penting. Bagaimana orangtua di rumah bisa menyajikan makanan (sarapan dan makan malam) yang tidak jauh berbeda dengan menu makan siang di sekolah.

Untuk jembatan komunikasi dengan wali murid terkait pendidikan gizi ini, sekolah menerbitkan buletin bulanan Food & Nutrition Newsletter. Untuk edisi September lalu, misalnya, ada artikel tentang musim panas dan kesehatan tubuh, makanan yang mesti dimakan, daftar menu, dan sebagainya.
“Yang jelas, semua bahan untuk membuat makanan merupakan hasil dari dalam negeri,” kata Kiyoe Yushida.

Siapa yang menanggung biaya makan siang ratusan siswa tersebut? “Para wali murid,” kata perempuan yang mengaku sudah 30 tahun mengabdi di SD Nishikasai itu. Tapi, kata dia, hanya sebagian kecil. Pemerintah yang membayar lebih banyak. Sebab, di Jepang sekolah, mulai SD hingga SMA, gratis.
Setelah mendapat penjelasan seputar makan siang bersama itu, kami diajak melihat proses memasak menu makan siang hari itu. Namun, kami hanya boleh melihat dari balik kaca, tidak boleh masuk ke dapur.

Tampak beberapa koki berpakaian putih sibuk memasak. Ada yang memasak nasi dengan menggunakan beberapa rice cooker raksasa, ada yang membuat sop, menggoreng ikan, dan sebagainya. Saking asyiknya, mereka tak sempat membagi perhatian kepada 20 tamu dari Indonesia dan Malaysia yang memotret mereka dari balik kaca.

Setelah itu, kami digiring memasuki aula yang mirip gedung pertunjukan mini. Letaknya di belakang gedung utama, bersebelahan dengan dapur. “Selamat pagi…!” Suara ratusan murid menyambut kami.

Para siswa itu duduk lesehan di lantai yang terbuat dari papan. Mereka adalah siswa kelas III. Mereka, tampaknya, memang disiapkan untuk membuat kejutan kepada tamunya.

Kami lalu diajak masuk kelas. Tak lama kemudian, ketika waktu menunjuk pukul 12.30, acara makan siang bersama dimulai. Kami ikut bergabung menikmati masakan siang itu.

Saya satu meja dengan tiga siswi dan seorang siswa. Mereka mengenalkan diri berama Arokawa Jynki, Tanahasi Nonoka, Yosimotosaya, dan Nusizuakio. Kami duduk melingkari empat meja belajar yang ternyata bisa disulap menjadi satu meja makan.

Menu hari itu semangkuk nasi putih, ikan goreng, sop, sayur, sepotong buah, susu, dan Yakult (probiotik). “All halal food,” kata Arokawa Jynki dalam bahasa Inggris.

Ketika saya tengah sibuk mengangkat nasi dengan menggunakan sumpit, tiba-tiba Arokawa memegang tangan saya. Rupanya, dia mengajak saya bermain hom-pim-pa dan adu suit. Jadilah, kami berlima makan siang sambil bermain hom-pim-pa. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/