JAKARTA – Profesi dokter, masih menjadi favorit calon mahasiswa baru. Tetapi untuk kuliah menjadi dokter, masyarakat harus merogoh dompet dalam-dalam. Meskipun kuliah di kampus negeri yang mendapatkan subsidi besar dari negara, biayanya mencapai puluhan juga rupiah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sistem uang kuliah tunggal (UKT) sebagai penentu besaran tarif SPP yang dibayar mahasiswa setiap bulannya. Besaran UKT ini terdiri dari beberapa kelompok, mulai dari rendah hingga tertinggi.
Salah satu kampus negeri yang menerapkan SPP tinggi untuk mahasiswa kedokteran adalah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Kampus berlogo ayam jantan itu menetapkan SPP prodi Pendidikan Kedokteran tertinggi yakni Rp 47,5 juta per semester. Uang itu belum termasuk biaya masuk atau uang pangkal maksimal Rp 100 juta untuk sekali selama masa studi.
Jika studi kedoteran diselesaikan selama delapan semester, maka biaya kuliahnya mencapai Rp 480 juta. Rinciannya adalah Rp 380 juta untuk uang SPP selama delapan semester dan sisanya Rp 100 juta untuk uang pangkal.
Mantan rektor Unhas yang merancang UKT 2013 Idrus Paturusi mengelak jika kampusnya dicap sebagai universitas berbiaya mahal. “SPP yang ada di kelompok UKT tertinggi itu untuk mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi mandiri. Jumlahnya setiap angkatan hanya 50 orang,” ujar Idrus.
Dia menegaskan bahwa uang kuliah di Unhas, termasuk untuk menjadi dokter masuk kategori terjangkau. “Rata-ratanya hanya Rp 600 ribu per semester,” katanya. Jumlah itu didapat dari rata-rata mahasiswa yang membayar SPP kelompok terendah hingga tertinggi.
Selama dua periode memimpin Unhas, Idrus mengatakan rata-rata SPP untuk prodi kedokteran berkisar Rp 600 ribu per semester. Dengan rata-rata lama studi empat tahun, Idrus mengatakan total SPP-nya mencapai Rp 4,8 juta. Idrus mengatakan jumlah mahasiswa reguler dari saringan SNM PTN yang tidak dikenai SPP termahal (Rp 47,5 juta) adalah 200 orang.
Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud Haryono Umar mengaku prihatin dengan kampus-kampus negeri yang masih menarik SPP tinggi untuk menjadi dokter. Sebab gaji dosen PNS di kampus negeri itu sudah ditanggung negara. Selain itu, kampus negeri juga masih menerima suntikan dana bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN).
Contohnya Universitas Indonesia (UI) mendapatkan BOPTN sebesar Rp 226,7 miliar. Kemudian di Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapatkan kucuran BOPTN Rp 170,1 miliar dan di Universitas Brawijaya (Unibraw) mendapatkan Rp 133 miliar.
“Dengan adanya kucuran BOPTN itu, harusnya beban masyarakat (SPP yang dibayar mahasiswa, red) makin turun,” kata Haryono. Tetapi pihak kampus umumnya beralasan bahwa uang dari BOPTN itu tidak cukup untuk menalangi biaya operaisonal, khususnya di prodi kedokteran.
Haryono mengatakan bahwa besaran BOPTN itu masih meng-cover sebagian kebutuhan operasional PTN. Berbeda dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) di SD dan SMP yang sudah meng-cover seluruh kebutuhan sekolah. Sehingga SPP di SD dan SMP penerima dana BOS digratiskan.
Melimpahkan kekurangan biaya operasional ke mahasiswa tentu cara terakhir dan paling mudah dilakukan kampus. Kampus seharusnya memanfaatkan keleluasaan mereka untuk bekerjasama penelitian dengan korporasi atau pemerintah pusat dan daerah untuk menghimpun dana secara sah.
Cara lainnya adalah memanfaatkan aset-aset mereka, seperti tanah dan bangunan, untuk kepentingan komersil. Hasil dari pemanfaatan aset itu, bisa dipakai sebagai cross subsidi. Sehingga beban SPP yang dibayar mahasiswa tidak terlalu mahal. “Intinya saat ini BOPTN belum memenuhi semua anggaran operasional,” tandasnya. (wan)