Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum bisa menilai secara umum terkait bagaimana kualitas dari UU Pilkada yang disahkan DPR kemarin. Pasalnya, hingga tadi malam, pihaknya belum mendapat draf resmi dari pemerintah. “Bahkan selama proses pembahasan, kami jarang diberikan draf sementaranya,” ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.
Namun dari beberapa pasal yang dia amati sekilas, dia menyayangkan adanya pasal yang mengekang kemandirian KPU. Di mana dalam pasal 9, KPU dipaksa mengakomodir semua rekomendasi DPR dalam hal penyusunan Peraturan KPU dan pedoman teknis tahapan pemilu.
KPU sebagai penyelenggara semestinya diberi keleluasaan yang luas dalam mengambil kebijakan yang sesuai dengan UU. “Tapi dengan adanya pengaturan seperti ini, bisa saja apa yang sudah diusulkan (DPR) itu tidak tepat. Tapi kami terikat mengadopsinya,” keluhnya. Padahal, konstitusi meminta KPU menjadi lembaga mandiri.
Selain itu, dia khawatir jika dalam prosesnya hal itu bisa menghambat proses tahapan yang dijalankan KPU. Mengingat DPR merupakan lembaga politik yang kerap kali tidak stabil. Sehingga membuat peraturan teknis tidak bisa dituangkan secara cepat. “Kami ini harus mengurus satu pelaksanaan teknis yang tidak boleh untuk mencerminkan kekuatan politik tertentu,” imbuhnya.
Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan, tidak diturunkannya syarat pengajuan calon oleh parpol berakibat jumlah pasangan calon dari unsur partai politik potensi tidak akan naik secara signifikan pada pilkada berikutnya.
”Kecenderungan partai politik untuk membangun koalisi besar semakin akan terjadi dan mengurangi aspek representasi pemilih di daerah,” kata Hafidz.
Selain itu, syarat wajib mundur bagi anggota legislatif untuk mencalonjkan diri di pilkada, membuat mereka berpikir dua kali untuk maju. Menurut Hafidz, seharusnya hal ini disikapi secara positif, dengan memunculkan aktor politik baru di daerah. ”Kewajiban mundur bagi anggota legislatif seyogyanya dijadikan momentum oleh partai politik untuk membangun regenerasi aktor-aktor politik di daerah,” ujarnya.
Hal yang patut diapresiasi di revisi UU Pilkada adalah sanksi administrasi pembatalan pasangan calon yang melakukan politik uang. Menurut Hafidz, ketentuan ini dapat menurunkan motivasi pasangan calon untuk melakukan politik uang. Sanksi pembatalan sebagai pasangan calon akan berdampak signifikan dengan memunculkan kehatian-hatian dari pasangan calon untuk melakukan politik transaksional.
”Perlu ada mekanisme prosedural yang jelas bagaimana proses penegakan sanksi administrasi ini yang dilakukan oleh Bawaslu sehingga kepastian hukum terwujud,” tandasnya. (dyn/bay/byu/jpg)