Sistem suara terbanyak menjadikan kontestasi politik dalam pemilu legislatif 2014 akan berlangsung terbuka. Sistem ini membuat artis memiliki peluang besar dan berpotensi mengancam para aktivis, yang sebelumnya mendominasi lembaga Dewan Perwakilan rakyat (DPR). Bagaimana peluang mereka?
SALAH satu caleg artis dari Partai Golkar, Charles Bonar Sirait mengklaim, selebritis memiliki kualitas untuk menjadi wakil rakyat. Selama ini, katanya, mereka tidak hanya melakukan kegiatan di dunia hiburan, tapi juga pendidikan, sosial dan lainnya. “Kami pernah kuliah, melakukan aktivitas lain,” katanya.
Tak hanya itu, Charles juga mengaku tidak buta terhadap dunia politik. Dia sudah lama berkecimpung di partai pimpinan Aburizal Bakrie tersebut. “Saya sudah 10 tahun di Golkar. Dari mulai kader sampai fungsionaris,” katanya.
Sementara itu, caleg artis dari Partai Hanura, David Chalik menolak anggapan bahwa kalangan artis tidak layak terjun di bidang politik. Senada dengan Charles, David juga lama aktif di dunia politik. Dia mengaku sudah menjadi Hanura sejak partai itu berdiri.
“Sebagai Ketua Departemen Kepemudaan di bawah DPP. Sekarang Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi Hanura. Tahun 2009 bukan waktu yang tepat untuk maju, karena belum punya pengalaman politik,” tuturnya.
David akhirnya mantap menjadi caleg dalam pemilu 2014. Dia berniat mewujudkan cita-citanya sejak kecil, yaitu membangun pendidikan gratis untuk masyarakat yang tidak mampu.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Poppy Susanti Dharsono justru mempertanyakan kenapa pengamat ramai-ramai hanya mengkritisi para artis yang kini dalam proses calon anggota DPR dan DPD.
“Kenapa hanya Caleg dengan latar belakang artis yang dikritisi. Caleg di luar artis yang tidak jelas integritasnya, terkesan malah dilindungi,” kata Poppy Susanti Dharsono, dalam acara diskusi ‘Caleg Selebritis vs Caleg Berkualitas’ di gedung DPD, Senayan Jakarta, Jumat (3/5).
Bahkan lanjutnya, ada sejumlah Caleg yang pernah berurusan dengan aparat penegak hukum karena tindak pidana korupsi atau setidak-tidaknya melakukan perbuatan melanggar hukum tidak jadi perhatian publik.
“Melihat fenomena tersebut, saya menduga sebagian besar masyarakat Indonesia ini mengalami amnesia. Kemarin seseorang korupsi, hari ini dilupakan malah dielu-elukan sebagai pahlawan,” ujar senator asal Jawa Tengah itu.
Persyaratan utama untuk jadi legislator menurut Poppy bukan soal artis atau bukan artis. “Itu tidak penting. Rujukan kita harus mengacu kepada idiologi. Apakah idiologi itu kanan atau kiri juga kurang penting sepanjang muaranya ke Pancasila,” imbuh designer kondang itu.
Di tempat yang sama, artis Ayu Azhari membela rekan-rekan seprofesinya yang terjung ke politik dan menjadi calon anggota legislatif (caleg). Menurutnya, sah-sah saja artis menjadi penjaring suara bagi parpol, meski pilihan terakhir ada di tangan pemilih. Hal itu disampaikan Ayu saat menjadi pembicara di acara yang sama.
Menurutnya, salah satu penentu dalam pemilu adalah kalangan muda dan pemilih pemula. “Karena itu anak muda harus dirangsang agar bergairah menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu,” katanya.
Mantan bintang panas itu justru mengkritisi sejumlah pengamat yang komentar-komentarnya melecehkan kemampuan artis yang saat ini ikut jadi caleg. Dikatakannya, faktanya partai politik butuh orang-orang terkenal dan disenangi masyarakat.
“Partai butuh orang terkenal dan disenangi. Kategori itu ada pada artis. Sementara parpol tidak cukup waktu memenuhi itu. Jadi peristiwa ini saling mengutungkan,” tegas Ayu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, artis dan aktivis sama-sama memiliki modal dasar, yakni popularitas.
“Saya berharap DPR periode 2014 tidak diisi orang-orang hedonis. Tetapi diisi orang yang amanah dan mampu menyampaikan aspirasi masyarakat,” kata Siti Zuhro dalam diskusi di kantor KPU Jakarta, kemarin. (ind/fas/jpnn)