31.7 C
Medan
Thursday, May 9, 2024

Uang Sitaan dari Koruptor Kembali ke Kas Negara, KPK Setor Rp10 M Lebih

BARANG BUKTI: KPK telah menyetorkan uang hasil penanganan perkara suap yang melibatkan koruptor Bowo Sidik Pangarso ke kas negara.
BARANG BUKTI: KPK telah menyetorkan uang hasil penanganan perkara suap yang melibatkan koruptor Bowo Sidik Pangarso ke kas negara.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyetorkan uang hasil penanganan perkara suap yang melibatkan koruptor Bowo Sidik Pangarso ke kas negara. Setoran ini merupakan upaya pengembalian kerugian negara atau Asset Recovery, akibat perbuatan pidana korupsi yang dilakukan pelaku.

“Total keseluruhannya sebesar Rp10.424.031.000,00 dan 1.060 Dollar Singapura serta 50 Dollar AS,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Minggu (3/5).

KPK melalui Jaksa Eksekusi KPK Andry Prihandono pada Jumat, 24 April 2020, telah melakukan penyetoran ke kas negara. Menurut Ali, pengembalian ke kas negara itu terdiri dari sejumlah uang yang telah disita KPK dalam penanganan perkara suap.

Adapun proses setoran dilakukan secara bertahap yakni, pada 22 Januari 2020, jumlah yang disetorkan senilai Rp1,850 miliar. Selanjutnya pasa 24 April 2020, jumlah yang disetorkan senilai Rp8.574.031.000, 1.060 Dollar Singapura, dan 50 Dollar AS. Sehingga total keseluruhannya sebesar Rp10.424.031.000 dan 1.060 Dollar Singapura, serta 50 Dollar AS.

Adapun setoran ini merupakan hasil tindaklanjut dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 81/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst tertanggal 04 Desember 2019 atas nama Terdakwa Bowo Sidik Pangarso yang antara lain menetapkan seluruh barang bukti uang tersebut di rampas untuk negara.

“KPK berkomitmen dalam setiap penyelesaian perkara akan terus memaksimalkan upaya pemulihan asset untuk negara dari hasil korupsi, baik melalui tuntutan uang pengganti maupun perampasan asset hasil Tipikor melalui penyelesaian perkara TPPU,” tegas Ali.

Untuk diketahui, Majelis Hakim Tipikor Jakarta pada 4 Desember 2019 telah menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp250 juta. Hakim meyakini, Bowo dinyatakan terbukti bersalah dalam menerima suap dan gratifikasi yang berlawanan dengan jabatannya sebagai anggota DPR.

MA Dinilai Mundur

Kemunduran Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara korupsi disesali masyarakat. Pasalnya, sejumlah putusan lembaga peradilan kini malah meringankan pelaku korupsi. Salah satunya putusan yang dijatuhkan kepada Romahurmuziy alias Rommy yang hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun pidana oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, kini di Mahkamah Agung (MA) belum lahir lagi sosok Artidjo Alkostar yang secara tegas berani menjatuhkan hukuman berat kepada pelaku korupsi. Menurutnya, perlu ada komitmen yang tinggi sehingga tidak ada ampun bagi koruptor.

“Ini ada efek jeranya, dimana telah menciutkan nyali atau keberanian para koruptor untuk mengajukan upaya hukum banding, kasasi dan PK,” kata Fickar kepada JawaPos.com, Minggu (3/5).

Fickar menilai, dalam memutus perkara tidak hanya cukup pada kebebasan kekuasaan kehakiman. Tapi juga fungsi hakim yang seringkali dinamakan ‘Wakil Tuhan’ dapat berpengaruh pada setiap putusan perkara.

Fickar menuturkan, sosok Artidjo saat itu tidak hanya berpengaruh pada ciutnya nyali koruptor, tapi juga bagi hakim lain di lingkungan MA yang tidak berani menghukum rendah koruptor. Sehingga sosok Artidjo saat itu menjaga moral MA dalam setiap perkara korupsi.

“Sayangnya ini tidak sistemik, bukan sisten yang formal, sehingga tidak tetap. Begitu Artidjo pensiun, pengurangan masa hukuman koruptor melalui putusan banding, kasasi dan PK marak lagi, bahkan membebaskan atau melepaskan seperti halnya kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT),” sesal Fickar.

Karena itu, Fickar menegaskan perubahan sistem pengawasan bagi kebebasan kekuasaan kehakiman menjadi kebutuhan yang sangat urgent, tetapi hal ini bergantung pada setiap hakim yang memutus setiap perkara di lembaga peradilan

“Sebaik baiknya sistem akan kembali pada the man behind the gun, ya kembali lagi tergantung orangnya,” tukas Fickar.

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy, terkait kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemag). Rommy, oleh PT DKI dijatuhkan hukuman satu tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muchammad Romahurmuziy oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp100 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” demikian bunyi amar putusan PT DKI Jakarta, sebagaimana dikutip pada Kamis, 23 April lalu.

Alhasil, hukuman Rommy berkurang dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan hukuman 2 tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. (jpc/saz)

BARANG BUKTI: KPK telah menyetorkan uang hasil penanganan perkara suap yang melibatkan koruptor Bowo Sidik Pangarso ke kas negara.
BARANG BUKTI: KPK telah menyetorkan uang hasil penanganan perkara suap yang melibatkan koruptor Bowo Sidik Pangarso ke kas negara.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyetorkan uang hasil penanganan perkara suap yang melibatkan koruptor Bowo Sidik Pangarso ke kas negara. Setoran ini merupakan upaya pengembalian kerugian negara atau Asset Recovery, akibat perbuatan pidana korupsi yang dilakukan pelaku.

“Total keseluruhannya sebesar Rp10.424.031.000,00 dan 1.060 Dollar Singapura serta 50 Dollar AS,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Minggu (3/5).

KPK melalui Jaksa Eksekusi KPK Andry Prihandono pada Jumat, 24 April 2020, telah melakukan penyetoran ke kas negara. Menurut Ali, pengembalian ke kas negara itu terdiri dari sejumlah uang yang telah disita KPK dalam penanganan perkara suap.

Adapun proses setoran dilakukan secara bertahap yakni, pada 22 Januari 2020, jumlah yang disetorkan senilai Rp1,850 miliar. Selanjutnya pasa 24 April 2020, jumlah yang disetorkan senilai Rp8.574.031.000, 1.060 Dollar Singapura, dan 50 Dollar AS. Sehingga total keseluruhannya sebesar Rp10.424.031.000 dan 1.060 Dollar Singapura, serta 50 Dollar AS.

Adapun setoran ini merupakan hasil tindaklanjut dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 81/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst tertanggal 04 Desember 2019 atas nama Terdakwa Bowo Sidik Pangarso yang antara lain menetapkan seluruh barang bukti uang tersebut di rampas untuk negara.

“KPK berkomitmen dalam setiap penyelesaian perkara akan terus memaksimalkan upaya pemulihan asset untuk negara dari hasil korupsi, baik melalui tuntutan uang pengganti maupun perampasan asset hasil Tipikor melalui penyelesaian perkara TPPU,” tegas Ali.

Untuk diketahui, Majelis Hakim Tipikor Jakarta pada 4 Desember 2019 telah menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp250 juta. Hakim meyakini, Bowo dinyatakan terbukti bersalah dalam menerima suap dan gratifikasi yang berlawanan dengan jabatannya sebagai anggota DPR.

MA Dinilai Mundur

Kemunduran Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara korupsi disesali masyarakat. Pasalnya, sejumlah putusan lembaga peradilan kini malah meringankan pelaku korupsi. Salah satunya putusan yang dijatuhkan kepada Romahurmuziy alias Rommy yang hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun pidana oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, kini di Mahkamah Agung (MA) belum lahir lagi sosok Artidjo Alkostar yang secara tegas berani menjatuhkan hukuman berat kepada pelaku korupsi. Menurutnya, perlu ada komitmen yang tinggi sehingga tidak ada ampun bagi koruptor.

“Ini ada efek jeranya, dimana telah menciutkan nyali atau keberanian para koruptor untuk mengajukan upaya hukum banding, kasasi dan PK,” kata Fickar kepada JawaPos.com, Minggu (3/5).

Fickar menilai, dalam memutus perkara tidak hanya cukup pada kebebasan kekuasaan kehakiman. Tapi juga fungsi hakim yang seringkali dinamakan ‘Wakil Tuhan’ dapat berpengaruh pada setiap putusan perkara.

Fickar menuturkan, sosok Artidjo saat itu tidak hanya berpengaruh pada ciutnya nyali koruptor, tapi juga bagi hakim lain di lingkungan MA yang tidak berani menghukum rendah koruptor. Sehingga sosok Artidjo saat itu menjaga moral MA dalam setiap perkara korupsi.

“Sayangnya ini tidak sistemik, bukan sisten yang formal, sehingga tidak tetap. Begitu Artidjo pensiun, pengurangan masa hukuman koruptor melalui putusan banding, kasasi dan PK marak lagi, bahkan membebaskan atau melepaskan seperti halnya kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT),” sesal Fickar.

Karena itu, Fickar menegaskan perubahan sistem pengawasan bagi kebebasan kekuasaan kehakiman menjadi kebutuhan yang sangat urgent, tetapi hal ini bergantung pada setiap hakim yang memutus setiap perkara di lembaga peradilan

“Sebaik baiknya sistem akan kembali pada the man behind the gun, ya kembali lagi tergantung orangnya,” tukas Fickar.

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy, terkait kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemag). Rommy, oleh PT DKI dijatuhkan hukuman satu tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muchammad Romahurmuziy oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp100 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” demikian bunyi amar putusan PT DKI Jakarta, sebagaimana dikutip pada Kamis, 23 April lalu.

Alhasil, hukuman Rommy berkurang dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan hukuman 2 tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. (jpc/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/