MADINAH, SUMUTPOS.CO – Dampak keterlambatan visa lalu terus diantisipasi petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Madinah dan Arab Saudi. Terbaru, keinginan para jamaah saat pulang sesuai dengan kloter awal, sebelum ada masalah visa. Alasannya, mereka ingin pulang bersama dengan jamaah haji daerahnya atau rombongannya.
Namun, keinginan jamaah tersebut tampaknya sulit dilakukan. Sebab, Kepala Daker Madinah Nasrullah Djasam menegaskan, pindah kloter tidak bisa dilakukan di Madinah. Karena akan banyak masalah tentang lama tinggal jamaah. Belum lagi, pemindahan akan menyulitkan pelayanan pemondokan, catering, dan pergerakan jamaah.
Sekadar diketahui, pindah kloter yang dimaksud adalah ketika seorang jamaah tidak bisa berangkat karena visa terlambat, otomatis tempatnya diganti dengan jamaah yang sudah memiliki visa. Saat pulang, jamaah tersebut ingin kembali ke kloter awal karena ingin bergabung dengan saudara, rombongan, atau teman sedaerah. Begitu pula dengan jamaah pengganti. Tentu saja pindah kloter itu menjadi masalah pelik dalam pelaksanaannya.
Dampak lain diungkapkan Edayanti Dasril Munir Kasi Kedatangan dan Pemulangan Jamaah Daker Bandara (Madinah dan Jeddah). Menurut dia, dengan pindah kloter akan terjadi masalah lama tinggal dan penerbangan. Menurut dia, kesepakatan antara kemenang dengan pihak airline di tanah air dan Saudi Arabia, proses mutasi kloter baru dimungkinkan dengan dua alasan. Pertama penggabungan karena sakit, suami istri, dan karena tugas. Sehingga tak ada perubahan manifest penerbangan sejak awal.
“Sementara masalah sekarang adalah adanya problem visa. Kalau jamaah yang kloter asli mau pulang dulu, nggak masalah. Tapi kalau yang duluan (pengganti) lalu minta pulang sesuai kloternya yang lebih akhir, itu yang masalah. Ada overstay, kelebihan izin tinggal,” tuturnya.
Menurut dia, masa izin tinggal jamaah haji yang telah disepakati dengan pihak penerbangan baik Garuda maupun Saudi Airline, paling lama adalah 39 hari. Lebih dari itu akan dikenakan penalty 50 ribu USD per flight yang harus ditanggung oleh pihak penerbangan. Padahal, kelebihan itu bukan disebabkan oleh pihak penerbangan. “Karena itu, jika ada perubahan kloter yang berdampak pada perubahan manifest, ya saya harus membicarakan lagi dengan pihak penerbangan,” ujarnya.
Edayanti menegaskan masa tinggal jamaah tidak bisa dipermainkan. Karena semua terkoneksi dengan siskohat. Sehingga, dengan cepat diketahui masa tinggal jamaah sudah melebihi 39 hari atau tidak. “Kalau dia berangkat diakhir kemudian dia pulang cepat itu gak masalah dia dianggap tanazul, tapi kalau dia berangkat awal pulang belakangan itu terjadi kelebihan masa tinggal jemaah di situ,” tegasnya lagi.
Terlebih lagi, jika itu terjadi pada jamaah yang gelombang kedua. Mereka mendarat di Jeddah dan pulang melalui Madinah. Di Madinah mereka harus melakukan arbain setelah melaksanakan ibadah haji. Sementara yang pulang mereka yang ada di kloter gelombang pertama yang sudah melaksanakan arbain duluan. “Masak disuruh arbain lagi. Ini yang harus dipikirkan,” tuturnya.