30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ketum PBNU: Tak Ada Bacawapres NU

SUMUTPOS.CO – KETUA Umum (Ketum) PBNU KH Yahya Cholil Staquf memastikan, tidak ada Cawapres atas nama NU. Gus Yahya –sapaannya– menuturkan, dirinya sudah berkali-kali menyebutkan hal itu.

“Tidak ada pula restu dari kiai sepuh NU untuk mencalonkan diri dalam Pilpres 2024. Tidak ada pembicaraan soal Capres di PBNU,” terangnya dalam konferensi pers di gedung PBNU, kemarin.

Bila ada warga NU yang menjadi kontestan pada Pemilu 2024, semua itu di luar domain PBNU. “Silakan berjuang untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Tapi, jangan atas nama NU,” paparnya.

Dia mengatakan, NU memiliki basis massa yang luas. Survei terakhir bahkan menyebut, 59 persen populasi muslim Indonesia mengaku sebagai warga NU. Selain itu, warga NU sangat cerdas dan terdidikn

“Tidak lagi ber-mindset seperti kerbau yang dicocok hidungnya, lalu ikut dan gampang ke mana saja,” tegasnya.

Bahkan, bila ada kumpul-kumpul sekian kiai untuk mendukung calon tertentu, warga NU tidak akan mudah terpengaruh. Menurut Gus Yahya, warga NU sudah memiliki pilihan masing-masing. “Kalau ada aktor rusak-rusakan, ya jangan dipilih,” tuturnya.

Dia yakin, warga NU sudah mengetahui siapa calon yang layak dan tidak layak. Tidak perlu ada yang mengajari untuk memilih siapa. “Tidak ada yang bisa menempatkan dirinya seakan-akan wakil NU,” tegasnya.

Sementara itu, Sekjen PBNU Saifullah Yusuf mengatakan, terkait calon-calon yang sudah mendeklarasikan diri, tidak pernah ada pembicaraan dengan PBNU. Tidak ada sama sekali. Termasuk pasangan calon Anies-Muhaimin yang kemarin mendeklarasikan diri di Surabaya. “Bahkan, Ketum PBNU tidak tahu sama sekali. Bisa dibilang jalan sendiri,” terangnya di kantor PBNU.

Dia menuturkan, siapa pun calon presiden dan cawapresnya yang ingin merebut suara nahdliyin harus membuat program dan narasi yang baik.

Peneliti utama The Republic Institute Sufyanto mengibaratkan, koalisi Nasdem-PKB sebagai pasangan yang jatuh hati pada pandangan sesaat. Sebab, Nasdem dan PKB telah bergabung dalam koalisi yang berbeda. Nasdem berada di naungan KPP, sedangkan PKB masih berada di bawah bendera KKIR.

Menurut dia, Nasdem mungkin telah menganalisis bahwa Anies memiliki kelemahan di Jatim dan Jateng yang menjadi basis massa NU. Dengan menggandeng Muhaimin, Nasdem berharap kelemahan itu bisa ditutupi.

Masalahnya, lanjut dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu, pemilih NU bukan pemilih Anies. Apalagi, pemilih NU bukan sepenuhnya pemilih PKB. Salah satu indikatornya, PKB bukan parpol pemenang pemilu di Jatim. Selain itu, hubungan pemimpin struktural NU terkesan tidak begitu harmonis dengan Muhaimin dan PKB. “Problem-problem itu tentu menjadi tantangan tersendiri,” katanya.

Jika salah mengelola, lanjut Sufyanto, pasangan Anies-Muhaimin justru bisa kehilangan suara yang sangat besar. Namun dia juga menyebut, Nasdem bisa saja mendapat keuntungan dari coat-tail effect atau efek ekor jas dengan mengusung Anies sebagai capres. Sebaliknya, PKB tidak akan mendapat limpahan suara dari pilpres.

The Republic Institute juga mengadakan, survei untuk melihat dampak dari konflik internal KPP. Sufyanto menyebut, isu pengkhianatan yang diembuskan Demokrat bisa berdampak kurang baik bagi Anies. Para pemilih Anies yang tersebar di Jabar, DKI, dan Sumatera bisa saja berpikir ulang untuk mendukung Anies. “Karena rata-rata mereka pemilih rasional dan terdidik,” terangnya. Apalagi, beredar surat tulisan tangan Anies yang sempat meminang AHY sebagai bacawapres.

Sufyanto juga mengatakan, potensi golput di kalangan milenial bisa semakin tinggi. Sebab, konflik internal KPP bisa mengganggu kampanye pemilu menggembirakan yang selama ini digaungkan. “Ketika kalangan milenial menilai terjadi saling telikung dalam proses pendeklarasian Anies-Muhaimin, kampanye pemilu menggembirakan menjadi tidak efektif lagi untuk menarik milenial,’’ jelasnya. (idr/elo/c7/oni/jpg)

SUMUTPOS.CO – KETUA Umum (Ketum) PBNU KH Yahya Cholil Staquf memastikan, tidak ada Cawapres atas nama NU. Gus Yahya –sapaannya– menuturkan, dirinya sudah berkali-kali menyebutkan hal itu.

“Tidak ada pula restu dari kiai sepuh NU untuk mencalonkan diri dalam Pilpres 2024. Tidak ada pembicaraan soal Capres di PBNU,” terangnya dalam konferensi pers di gedung PBNU, kemarin.

Bila ada warga NU yang menjadi kontestan pada Pemilu 2024, semua itu di luar domain PBNU. “Silakan berjuang untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Tapi, jangan atas nama NU,” paparnya.

Dia mengatakan, NU memiliki basis massa yang luas. Survei terakhir bahkan menyebut, 59 persen populasi muslim Indonesia mengaku sebagai warga NU. Selain itu, warga NU sangat cerdas dan terdidikn

“Tidak lagi ber-mindset seperti kerbau yang dicocok hidungnya, lalu ikut dan gampang ke mana saja,” tegasnya.

Bahkan, bila ada kumpul-kumpul sekian kiai untuk mendukung calon tertentu, warga NU tidak akan mudah terpengaruh. Menurut Gus Yahya, warga NU sudah memiliki pilihan masing-masing. “Kalau ada aktor rusak-rusakan, ya jangan dipilih,” tuturnya.

Dia yakin, warga NU sudah mengetahui siapa calon yang layak dan tidak layak. Tidak perlu ada yang mengajari untuk memilih siapa. “Tidak ada yang bisa menempatkan dirinya seakan-akan wakil NU,” tegasnya.

Sementara itu, Sekjen PBNU Saifullah Yusuf mengatakan, terkait calon-calon yang sudah mendeklarasikan diri, tidak pernah ada pembicaraan dengan PBNU. Tidak ada sama sekali. Termasuk pasangan calon Anies-Muhaimin yang kemarin mendeklarasikan diri di Surabaya. “Bahkan, Ketum PBNU tidak tahu sama sekali. Bisa dibilang jalan sendiri,” terangnya di kantor PBNU.

Dia menuturkan, siapa pun calon presiden dan cawapresnya yang ingin merebut suara nahdliyin harus membuat program dan narasi yang baik.

Peneliti utama The Republic Institute Sufyanto mengibaratkan, koalisi Nasdem-PKB sebagai pasangan yang jatuh hati pada pandangan sesaat. Sebab, Nasdem dan PKB telah bergabung dalam koalisi yang berbeda. Nasdem berada di naungan KPP, sedangkan PKB masih berada di bawah bendera KKIR.

Menurut dia, Nasdem mungkin telah menganalisis bahwa Anies memiliki kelemahan di Jatim dan Jateng yang menjadi basis massa NU. Dengan menggandeng Muhaimin, Nasdem berharap kelemahan itu bisa ditutupi.

Masalahnya, lanjut dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu, pemilih NU bukan pemilih Anies. Apalagi, pemilih NU bukan sepenuhnya pemilih PKB. Salah satu indikatornya, PKB bukan parpol pemenang pemilu di Jatim. Selain itu, hubungan pemimpin struktural NU terkesan tidak begitu harmonis dengan Muhaimin dan PKB. “Problem-problem itu tentu menjadi tantangan tersendiri,” katanya.

Jika salah mengelola, lanjut Sufyanto, pasangan Anies-Muhaimin justru bisa kehilangan suara yang sangat besar. Namun dia juga menyebut, Nasdem bisa saja mendapat keuntungan dari coat-tail effect atau efek ekor jas dengan mengusung Anies sebagai capres. Sebaliknya, PKB tidak akan mendapat limpahan suara dari pilpres.

The Republic Institute juga mengadakan, survei untuk melihat dampak dari konflik internal KPP. Sufyanto menyebut, isu pengkhianatan yang diembuskan Demokrat bisa berdampak kurang baik bagi Anies. Para pemilih Anies yang tersebar di Jabar, DKI, dan Sumatera bisa saja berpikir ulang untuk mendukung Anies. “Karena rata-rata mereka pemilih rasional dan terdidik,” terangnya. Apalagi, beredar surat tulisan tangan Anies yang sempat meminang AHY sebagai bacawapres.

Sufyanto juga mengatakan, potensi golput di kalangan milenial bisa semakin tinggi. Sebab, konflik internal KPP bisa mengganggu kampanye pemilu menggembirakan yang selama ini digaungkan. “Ketika kalangan milenial menilai terjadi saling telikung dalam proses pendeklarasian Anies-Muhaimin, kampanye pemilu menggembirakan menjadi tidak efektif lagi untuk menarik milenial,’’ jelasnya. (idr/elo/c7/oni/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/