Selanjutnya, pasif tactical itu alatnya juga portable hanya perbedaannya dengan yang aktif adalah tidak bisa memanipulasi telepon dan pesan singkat. Tapi, kelebihannya ada pada radius penyadapan yang sangat jauh, plus dengan 260 channel BTS. ”Semua data masuk dulu, analisa dilakukan belakangan,” terangnya.
Untuk yang hybrid, merupakan kombinasi dari alat sadap aktif dan pasif. Dia menuturkan, bisa melakukan manipulasi dan radiusnya jauh, plus dengan channel yang sangat banyak. ”Tapi, yang ini harganya sangat mahal, biasanya lebih banyak yang memiliki lawful dari pada hybrid,” tuturnya.
Semua itu teknologi penyadapan yang cukup tinggi. Namun ada juga ghost phone yang sudah beredar dipasaran umum. Cara kerjanya dengan alat yang dipasang kartu telepon dengan dimasukkan nomor hanphone tertentu. ”Bila ada suara di sekitar alat itu, maka alat itu otomatis menelepon ke handphone yang tersimpan di kartu tersebut,” paparnya.
Namun, lanjutnya, penyadapan itu dilakukan terbatas di ruangan tertentu, tidak menyadap komunikasi handphone. Sehingga, hanya pembicaraan dengan orang lain secara langsung saja yang bisa disadap. ”Mirip seperti global positioning system (GPS) untuk kendaraan yang juga bisa melacak posisi dan mendengar suara sekitar,” ungkapnya.
Dari semua teknik penyadapan itu, memang bisa diantisipasi dengan enkripsi atau penyandian berupa softwar, hardware dan sebagainya. Sehingga, memang bisa disadap, tapi tidak terbaca pesannya atau teleponnya. ”Ya, antisipasinya, tapi sebenarnya penyadapan di Indonesia ini sangat lemah, baik regulasi dan pengawasan,” paparnya.
Kelemahan itu bisa dilihat bila penegak hukum meminta izin pengadilan untuk bisa menyadap seseorang, bagaimana cara pengawasan pengadilan terhadap penyadapan tersebut. ”Pengadilan memberikan izin, tapi tidak bisa mengawasi. Yang diizinkan itu tiga orang untuk disadap, tapi kalau penegak hukum menyadap lebih banyak, biasa apa pengadilan,” ungkapnya.
Maka, penting untuk bisa memperbaiki regulasi yang mengakomodir pengawasan dan penggunaan alat sadap. Yakni, dengan membuat regulasi untuk membuat semacam lembaga pusat interception di Indonesia. ”Lembaga itulah yang menjadi satu-satunya lembaga yang menyadap,” ujarnya.
Penegak hukum dengan izin pengadilan meminta lembaga pusat interception untuk menyadap. Setelah dipinjamkan alat menyadap itu, maka pegekan hukum baru bisa menyadap. ”Kalau penegak hukum menyadap orang melebihi izin, maka akan ketahuan dari data yang ada di alat penyadapan. Dalam sistem sudah terekam berapa orang yang disadap,” paparnya.
Dengan pusat interception tersebut maka privasi masyarakat Indonesia juga akan terlindungi. Sehingga, penyadapan yang dilakukan penegak hukum itu juga bisa terukur, kalau ada pelanggaran juga ketahuan. ”kalau sekarang penegak hukum bila tidak menyadap, kita bisa apa,” jelasnya. (idr/jpg/ril)

