JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Program dana bantuan sosial atau bansos adalah infrastruktur negara untuk membantu warganya yang gagal memenuhi kesejahteraan hidupnya. Untuk Indonesia, jumlah warga yang masih membutuhkan ini diperkirakan masih tinggi, yakni di angka sekitar 30 juta jiwa.
Tak heran bila pada 2024, anggaran bantuan sosial naik Rp20 triliun menjadi Rp496 triliun, dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp476 Triliun. Jumlah ini naik lebih dari 13 persen. Selain itu, juga terdapat peningkatan jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bansos Beras: 21,3 juta KPM (2023), menjadi sebanyak 22 juta KPM (2024).
Dan, ada bentuk-bentuk bansos lain, baik program lama seperti Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar dan juga bentuk baru seperti bantuan dengan nama mitigasi risiko pangan, bantuan El Nino dan lain sebagainya.
Menurut Wawan Mas’udi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dalam diskusi Jaga Pemilu di Jakarta, Rabu (7/2/2024), selain sebagai instrumen negara, kenaikan jumlah dana bansos setiap menjelang Pemilu bisa juga dilihat sebagai mekanisme untuk melakukan mobilisasi politik seperti hubungan antara patron dan klien.
“Selain instrumen negara, di sisi lain bansos bisa menjadi alat mobilisasi dukungan/kesetiaan politik dan untuk memperkuat struktur patron – client bagi penguasa. Apalagi jika tidak dilakukan dalam kerangka universal dan imparsial, namun bersifat partikular dan selektif, serta cenderung personifikasi. Selain itu, momentum distribusi bansos juga terjadi di sekitar momentum politik elektoral,” kata Wawan.
Direktur Indonesia Budget Center Elisabeth Kusrini meniliknya lebih jauh lagi. Menurutnya, jelang pemilu 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp100 ribu per bulan kepada 15,5 juta keluarga miskin selama enam bulan.
Lalu pada pemilu 2009, Presiden SBY menyalurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan kepada 19 juta keluarga miskin selama tiga bulan. Di pemilu 2014, SBY menyalurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 per bulan kepada 19 juta keluarga miskin selama tiga bulan,” katanya.
Lanjut di era Jokowi, bahkan sejak awal terpilih di tahun 2019 ia telah menyalurkan bantuan pangan nontunai (BPNT) sebesar Rp 110.000 per bulan kepada 15,6 juta keluarga miskin.
Elisabeth menambahkan, politisasi bansos semakin terlihat jelas ketika distribusi tidak dilakukan oleh Kementerian Sosial tapi melibatkan pimpinan partai politik. Lalu, data yang dipakai juga bukan yang dimiliki Kemensos, tapi data dari Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
“Akibatnya, terjadi ketidaksesuaian data dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan di kalangan masyarakat. Tri Rismaharini sejak awal menjabat Mensos punya komitmen untuk menggunakan data kemiskinan. Saat ini, data kemiskinan tersebut tidak lagi dipakai. Berdasarkan informasi Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, saat ini pemerintah menggunakan data dari Kemenko PMK dalam pembagian Bansos,” ujar Elisabeth.
Elisabeth menambahkan, ada empat bentuk politisasi bansos pada masa pemilu, yaitu penyaluran data penerima, penyelewengan dana, penggunaan simbol atau atribut partai dan upaya memengaruhi preferensi politik masyarakat penerima bansos.
Dan, ada empat aktor yang berpotensi menyalahgunakan program pansos pada masa kampanye Pemilu 2024. Mereka adalah peserta pemilu, aparatur sipil negara, BUMN dan BUMD serta masyarakat penerima bansos.
Wawan menambahkan, bansos harus terus menerus diingat sebagai kebijakan negara, bukan sebagai kebijakan personal. “Atas alasan apapun, situasi pemilu ini tentu tidak sekritis saat kita menghadapi pandemi Covid-19. Jadi suara kritis terhadap bansos harus terus disuarakan, bahkan melampaui masa Pemilu nanti,” katanya. (adz)