Ketika GIA Cabang Medan Berkompetisi di “ASEAN Sky Open Policies”
Henry J. Kaiser (1882-1967) pernah berujar, ‘’Dalam bisnis, kompetisi akan menggigitmu bila kamu tetap berlari. Bila kamu berhenti dia akan menelanmu’’. Kalimat peletak dasar industri perkapalan moderen asal AS itu boleh jadi abadi dalam pengembangan spesies industri apapun, termasuk bagi Garuda Indonesia Airlines (GIA), perusahaan penerbangan nasional yang sebentar lagi memasuki kompetisi liberal di zona udara regional ASEAN.
SEORANG kawan pemilik usaha properti punya kegemaran yang amat ia nikmati: berpesiar ke negeri-negeri seberang. Terkadang dia pelesiran sendiri, namun bila pas waktunya tak jarang sang teman ini memboyong keluarga. Bila harus terbang sendiri, itu artinya dia punya janji dengan kolega atau sahabat bisnisnya. Soal meeting point tergantung siapa yang ditemui ya, bisa di Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, China, atau Bangkok.
Iseng-iseng saya pernah bertanya: ‘’Satu bulan berapa kali ke luar negeri?’’ Dia jawab,’’Ya, tergantung mood. Kalau adrenalin bisnis saya lagi tinggi, saya bisa tiba-tiba, misalnya, kontak kawan investor di China. Kita ketemu yuk, saya ada rencana bangun perumahan baru.’’ Frekuensi terbang ke luar negeri yang lumayan tinggi tentunya bikin sang kawan punya banyak referensi soal bandara dan penerbangan. ‘’Tak elok rasanya membayangkan negeri orang ke sini, tapi saya optimistis bila mau kita bisa seperti mereka,’’ katanya, kali ini dengan mimik serius.
Siapapun sepakat begitu banyak soal yang mesti dibenahi serius menyambut kehadiran Kualanamu sebagai bandara internasional. Apalagi Kualanamu, bersama empat bandara lain yakni Soekarno-Hatta, Juanda, Ngurah Rai, dan Hasanuddin mulai berdandan menyambut ‘’ASEAN Open Sky Policy’’, sebuah kesepakatan membuka wilayah udara antar sesama anggota negara ASEAN. Singkatnya, ini merupakan liberalisasi angkutan udara yang menjadi komitmen kepala negara dalam ‘’Bali Concord II’’ yang dideklarasikan di KTT ASEAN pada 2003 silam.
Siapkah industri penerbangan dus seluruh side-supporting yang ada menyambut kebijakan membuka angkasa seluas-luasnya terhadap penerbangan asing ini? Jika objektif sukar rasanya menyerahkan ‘’kegagahan’’ industri penerbangan ke tangan airlines semata. Profesionalisme yang diukur dengan keselamatan, juga ketepatan waktu penerbangan, tak boleh berhenti pada kecanggihan manajemen penerbangan. Ada side-supporting yang menjadi kunci di situ: infrastruktur dalam bandara yang dikelola operator dan infrastruktur luar bandara yang dikendalikan pemerintah daerah.
Temuan soal pentingnya aspek non-teknis dalam pencitraan penerbangan ini pula yang ditunjukkan The Center for Indonesia Development Review (CIDEV) dalam sebuah penelitiannya. Ketidakberesan infrastruktur di luar bandara merupakan aspek non-teknis yang acap diabaikan perusahaan penerbangan.
Pengamatan CIDEV (2008) menunjukkan banjir yang melanda Jakarta pada 1-3 Februari 2008 silam telah menganggu operasional Bandara Soekarno-Hatta selama dua hari. Selain kerugian materil yang ditaksir mencapai Rp3,1 miliar, ada 669 flight ikut terkena imbasnya. Dari keterlambatan (delay) hingga pembatalan jadwal penerbangan (cancel), keberangkatan maupun penerbangan. Akibatnya, penumpukan penumpang tidak hanya terjadi di Soekarno-Hatta, tapi juga di Changi, KLIA, Suvarnabhumi, dan airport negara-negara lain. CIDEV melihat penanganan tersebut tak hanya pekerjaaan rumah PT Angkasa Pura sebagai operator bandara, namun berbagai pihak yang berkepentingan langsung atas industri penerbangan. Kasus banjir yang menganggu bandara ini tentulah terkait dengan sistem tata kota dan ekologi perkotaan. Di sinilah sinergitas antar-pihak dibutuhkan eksistensinya. Tragedi ‘’Banjir Soekarno-Hatta’’ yang merugikan industri penerbangan empat tahun silam jangan sampai terulang di Bandara Kualanamu.
Dalam siteplan-nya akses menuju Bandara Kualanamu, di luar railway, terbelah dua ruas, yakni tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi dengan panjang 60 kilometer (km) dan non-tol (arteri) dengan rute Kayu Besar-Batang Kuis-Beringin sejauh 14,5 km. Taruhlah ruas tol yang dikelola PT Jasa Marga menjadi akses bebas banjir, tapi adakah jaminan akses menuju pintu tol terbebas dari banjir atau kerusakan parah?
Sulit rasanya tak menyertakan manajemen Garuda Indonesia Airlines (GIA) cabang Medan dalam tanggungjawab bersama ini. GIA adalah operator penerbangan nasional yang akan menjadikan Bandara Kualanamu sebagai hub ASEAN. Apalagi untuk menarik minat wisatawan, GIA cabang Medan getol menggandeng biro-biro perjalanan lokal yang ‘’menjual’’ kota ini lewat paket-paket wisata, mulai cullinary tour hingga familiarization tour. Mencuat tanya bagaimana GIA cabang Medan ikut nimbrung memecahkan keruwetan ini?
Ada pemikiran menarik dari Bailey (2002) yang ditulis ulang Laurensius Manullang dalam bukunya ‘’Strategi & Inovasi Model Bisnis Meningkatkan Kinerja Usaha’’. Bailey melihat perkembangan pasar dan persaingan di setiap daerah amat ditentukan oleh kondisi sosial (demografi dan psikografi), serta politik yang berkembang di daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah adalah trigger yang mendorong perubahan sosial-politik di daerah menjadi desentralisasi, dan dalam konteks ini pula pembenahan manajemen perusahaan di tingkat daerah (cabang/station) amat relevan dengan perkembangan otonomi daerah.
Laurensius (2010) melihat perubahan faktor lingkungan eksternal justru akan memengaruhi secara langsung strategi kebijakan cabang (station). Faktor-faktor eksternal seperti regulasi, pertumbuhan ekonomi, sosial-politik, pasar, dan persaingan di wilayah operasionalnya harus dipersepsikan secara baik oleh manajemen GIA cabang Medan. Dinamika politik daerah dan politik anggaran di sektor infrastruktur mau tak mau menjadi perhatian manajemen . Kedekatan institusional dengan Pemko Medan atau Pemkab Deli Serdang sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) pembangunan adalah pekerjaan mutlak yang harus dilakukan. Komunikasi dua arah dijaga secara formal agar pintu lobi-lobi positif, dengan maksud menjaga politik anggaran daerah (APBD) yang memihak bisnis penerbangan terbuka senantiasa.
Dalam rangking The World Airport Award yang dikeluarkan Skytrax, Changi menempati urutan ke-3 sebagai bandara terbaik di dunia pada 2009. Apalagi sangat besar kemungkinan Changi menjadi hub ASEAN karena sangat unggul dari sisi teknologi, profesionalisme, dan posisi yang strategis. Dengan dukungan GIA cabang Medan, kita berharap Bandara Kualanamu bisa menjadi spoke, tapi spoke dalam kualitas yang bersaing dengan KLIA dan Suvarnabhumi.
Franke (2007) menyebutkan hanya perusahaan yang berhasil menempatkan strategi inovasi sebagai acuan (driver) terhadap model bisnisnya, akan mampu meningkatkan kinerja dan survival perusahaan. Dalam implementasinya, inovasi GIA cabang Medan menjadi sangat penting dalam menjaga posisi persaingan penerbangan global yang semakin tajam. Konsep inovasi di level industri penerbangan ini berujung pada dua poin penting, yakni inovasi pemasaran dengan unit analisisnya adalah konsumen, serta yang tak kalah penting: inovasi manajemen dengan organisasi sebagai unit analisisnya.
Maka, sudah waktunya GIA cabang Medan selaku perpanjangan tangan manajemen penerbangan terbesar nasional, tak lagi melulu berpikir soal strategi mengeruk pasar penumpang, melainkan naik level dengan menerobos dinamika politik di wilayah operasionalnya lewat unit organisasi yang masuk pada taraf analisis, lobi, dan pressure agar politik anggaran daerah ini konsisten menyuppor industri penerbangan.
Kompetisi sengit dalam liberalisasi penerbangan merupakan pintu masuk bagi GIA cabang Medan sebagai inisiator kelompok ‘’koridor bersama’’ yang mendudukkan Pemko Medan, Pemkab Deli Serdang, Pemprovsu, PT Jasa Marga, dan stakeholder lain menyokong dunia penerbangan. Apapun, kebijakan ‘’open sky’’ muaranya adalah pertumbuhan penumpang, dan rumusnya adalah kerja profesional airlines, operator bandara, dan kesiapan daerah tujuan sebagai magnetnya. (*)