Nama Wiwin Suwandi mencuat setelah Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dirinya sebagai pembocor sprindik Anas Urbaningrum. Namun, tak banyak yang mengetahui latar belakang sekretaris pribadi (Sekpri) Ketua KPK Abraham Samad itu.
La Ode A dan Hariman, Buton
Tidak begitu sulit menemukan kediaman Wiwin Suwandi di lingkungan Lingge-Lingge, Kelurahan Pasarwajo, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Hampir seluruh warga di Kelurahan Pasarwajo mengenal nama laki-laki kelahiran Buton, 15 Mei 1985, itu. Warga setempat mengetahui putra kedua pasangan La Hita (59) dan Wambuna (54) tersebut bekerja di kantor KPK di Jakarta.
Kediaman orangtua Wiwin cukup sederhana. Rumah mereka berkonstruksi semipermanen berukuran sekitar 10×15 meter. Sebagian teras rumahnya dimanfaatkan untuk warung yang menjual kebutuhan sehari-hari, termasuk sembako. Seorang perempuan berkerudung putih, Masrina (31), setiap sore menjaga warung tersebut sambil bersantai.
Jika sore menjaga warung, paginya Rina –sapaan akrab Masrina– bekerja sebagai dokter gigi di RSUD Pasarwajo Kabupaten Buton. Kakak sulung Wiwin yang murah senyum itu sangat ramah. Termasuk kepada para wartawan yang cukup banyak berkunjung ke rumahnya pascakasus yang menimpa adiknya.
Kepada Kendari Pos (grup Sumut Pos), alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, tersebut menuturkan, di mata keluarga Wiwin merupakan anak yang cerdas dan mandiri. Setamat SMAN 1 Pasarwajo, dia menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Unhas pada 2003. Karena memiliki prestasi yang cukup baik di sekolah, Wiwin mendapat rekomendasi untuk masuk kuliah tanpa tes.
Dilahirkan dari keluarga sederhana, Wiwin peka betul terhadap kondisi keuangan keluarga. Karena itu, pada tahun kedua kuliah, dia memutuskan untuk membiayai sendiri pendidikannya. Dia sadar betul, gaji ayahnya sebagai guru SD tidak bisa diandalkan. Tentu berat jika ayahnya harus membiayai pendidikan empat anaknya. Apalagi, pada saat bersamaan, Rina memasuki pendidikan akhir di fakultas kedokteran gigi.
Untuk membiayai kuliah, Wiwin aktif di lembaga pers kampus. Di situ, dia bisa mendapat honor untuk membayar uang kuliah tiap semester. Wiwin juga dikenal hobi menulis. Tidak sedikit tulisannya yang dimuat di media cetak Makassar.
’’Wiwin memang anak mandiri. Tahun kedua kuliah, dia sudah tidak meminta kiriman orangtua. Paling kalau minta uang, itu untuk kebutuhan dadakan,’’ tutur Rina.
Selain Rina, Wiwin memiliki dua saudara. Adiknya yang laki-laki, Daniel, kini menempuh pendidikan di UMI Makassar. Yang bungsu, Hesti Karlina, sekarang duduk di bangku kelas III SMAN 1 Pasarwajo.
Di antara seluruh anggota keluarga, Wiwin berbeda dengan saudaranya. Terutama dalam memilih jurusan pendidikan. Di bangku SMA, seluruh saudaranya memilih jurusan IPA. Hanya Wiwin yang memilih IPS. Pilihan Wiwin itu memang beralasan. Sebab, sejak kecil dia diketahui hobi menekuni bidang kewarganegaraan dan hukum.
Menurut Rina, Wiwin menyukai ilmu hukum karena terinspirasi salah seorang tokoh Pasarwajo yang pernah menjabat gubernur Sultra, yakni Ali Mazi. Di mata Wiwin, Ali Mazi adalah seorang pakar hukum yang berani dari Kabupaten Buton.
Di fakultas hukum, Wiwin pernah menjabat ketua Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Sejak menjadi mahasiswa, Wiwin juga dikenal aktif dalam gerakan antikorupsi. Karena aktif di berbagai organisasi, dia baru menamatkan pendidikan S-1 di FH Unhas pada 2010.
Ketertarikan Wiwin terhadap ilmu hukum tidak cukup dengan mendapat gelar S-1. Pada 2011, dia kembali melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Hukum Unhas. Baru pada 2012 Wiwin mengadu nasib di Jakarta dengan ikut tes sebagai petugas administrasi di KPK.’’Awalnya, kami tidak tahu dia ke Jakarta untuk mengikuti tes di KPK. Dia hanya menelepon memberi kabar kepada keluarga untuk didoakan karena akan mengikuti tes wawancara di KPK. Dia bilang ikut tes di KPK setelah dapat rekomendasi dari kampus,’’ ungkap Rina.
Akhirnya, Wiwin bergabung dengan KPK terhitung sejak Januari 2012. Setelah melewati masa evaluasi selama tiga bulan, mahasiswa Pascasarjana FH Unhas Makassar tersebut diangkat menjadi sekretaris pribadi Ketua KPK Abraham Samad. Sejak saat itu, Wiwin tidak pernah lagi pulang ke Buton. Setelah bekerja di KPK, dia diketahui tinggal di rumah Abraham Samad.
Sejak nama Wiwin disebut-sebut sebagai orang yang membocorkan surat perintah penyidikan (sprindik) kasus dugaan suap Hambalang yang melibatkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, keluarga di Buton sedikit khawatir. Apalagi, selama ini mereka sulit menghubungi Wiwin.
Pesan singkat (SMS) yang dikirim keluarga terkadang baru dibalas beberapa jam kemudian. Terakhir, keluarga mendapat kabar dari Wiwin pada Kamis lalu (4/4). Saat itu, Rina mengirim pesan singkat untuk menanyakan kabar Wiwin. Namun, pesan tersebut baru dibalas malamnya. Dalam SMS itu, Wiwin meminta keluarga untuk tenang dan mendoakan agar masalah yang menimpa dirinya bisa cepat diselesaikan.
’’Kabar terakhir Wiwin kami terima Kamis lalu. Setelah itu, sulit mendapat kabar. Kami SMS sudah tidak ada balasan. HP dan BB-nya sudah tidak aktif,’’ tambahnya.
Mengenai kasus pembocoran sprindik yang melibatkan adiknya, keluarga yakin tindakan Wiwin bertujuan positif. Sebab, selama ini, Wiwin selalu berpikir matang dalam bertindak. ’’Kami sekeluarga percaya dengan Wiwin. Yang terpenting, Wiwin tidak terlibat kasus korupsi,’’ tutur Rina.
Sejak bekerja di KPK dalam setahun terakhir, Wiwin memang cukup sibuk. Menurut Rina, Wiwin sudah lama tak pulang kampung. Beberapa kali dia hanya mengabarkan tidak bisa pulang karena masih cukup sibuk dengan pekerjaan.
Sejak berita tersebut mencuat, banyak yang menanyakan kabar Wiwin kepada keluarga. Memang, di lingkungan tempat tinggal, dia banyak dikenal. Bahkan saat Wiwin diterima di KPK, beberapa warga kampung menangis mendengar kabar gembira tersebut. Di kalangan teman-teman sekolahnya, Wiwin juga dikenal tidak sombong. Dia pun masih sering berhubungan dengan teman-temannya.
’’Dia masih terus berhubungan dengan kami walau melalui Facebook. Kalau di sekolah, namanya bukan Wiwin. Dia biasa kami panggil Sukan Lingges,’’ ungkap salah seorang teman SD Wiwin yang enggan namanya dikorankan.
Setelah menyelesaikan S-1 di Makassar, Wiwin pernah diajak pulang kampung oleh beberapa teman dekatnya. Saat itu, kebetulan ada penerimaan CPNS di daerah. Namun, Wiwin menolak ajakan tersebut.
’’Waktu di Makassar, kami dulu tinggal sama-sama di pondokan Nurulhuda. Setelah wisuda, kami memilih pulang kampung untuk ikut seleksi CPNS. Tapi, Wiwin menolak ikut,’’ ujarnya. (*)