32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Lawan Fast Food dengan Tiga Jurus

Helianti Hilman, Pelopor Gerakan Slow Food Indonesia

Upaya melawan efek buruk makanan cepat saji atau fast food terus menguat. Namanya gerakan Slow Food. Berawal dari Italia, gerakan itu kini sudah menyebar hingga 150 negara. Di Indonesia, salah seorang penggeraknya adalah Helianti Hilman.

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

Pada 1980-an, gerai-gerai restoran fast food dari Amerika Serikat (AS) menyerbu Eropa. Salah satunya McDonald’s. Restoran dengan produk utama hamburger tersebut masuk ke Roma, ibu kota Italia, pada 1986 Ketika itu, beberapa kalangan mulai mengkritisi globalisasi fast food yang dituding menyajikan makanan tidak sehat. Bahkan, pada perkembangannya, sebagian orang menyebut fast food dengan istilah junk food atau makanan sampah.

MAKANAN SEHAT: Helianti Hilman  depan gerai tanaman organiknya  Kemang, Jakarta. //Ahmad Baidhowi/JAWA POS/jpnn
MAKANAN SEHAT: Helianti Hilman di depan gerai tanaman organiknya di Kemang, Jakarta. //Ahmad Baidhowi/JAWA POS/jpnn

Adalah Carlo Petrini yang waktu itu bersuara lantang menentang masuknya McDonald’s di Italia. Dia merupakan seorang jurnalis dan kolumnis berpengaruh yang biasa menulis artikel tentang kuliner di beberapa media Italia.

Aksi Petrini itu, rupanya, menarik perhatian publik Eropa. Karena itu, pada 1989, dia bersama puluhan orang dari 15 negara berkumpul di Paris, Prancis, lalu memproklamasikan gerakan Slow Food International. Lambangnya unik, keong atau siput berwarna merah. Keong tersebut digunakan sebagai representasi makhluk yang bergerak slow atau pelan.

Sejak itu, gerakan tersebut terus meluas di berbagai belahan dunia. Masyarakat di negara-negara maju di Eropa dan AS yang memiliki kesadaran tinggi tentang kesehatan makanan menjadi pelopornya. Kini gerakan Slow Food sudah menyebar tidak hanya di negara maju, tapi juga di negara berkembang, bahkan hingga negara-negara miskin di Afrika. Total, sudah ada lebih dari 100 ribu anggota yang tersebar di 150 negara. Atas gerakan revolusionernya dalam bidang pangan itu, majalah TIME memasukkan Carlo Petrini dalam jajaran Heroes of The Year 2004.

“Di Indonesia, gerakan Slow Food juga mulai tumbuh. Awalnya dipelopori para ekspatriat (orang asing yang tinggal di Indonesia, Red), tapi kini sudah makin banyak warga sendiri yang bergabung. Ini sangat positif,” ujar Helianti Hilman kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) di konternya di kawasan Kemang, Sabtu (20/10).

Helianti merupakan salah seorang pelopor gerakan Slow Food di Indonesia. Kini dia menjadi chairwoman Slow Food Convivium Kemang. Organisasi Slow Food memang terdiri atas kelompok-kelompok lokal yang disebut convivium yang dipimpin seorang chairman atau chairwoman. Karena itu, dalam satu negara bisa terdapat beberapa convivium yang masing-masing langsung menginduk pada organisasi pusat Slow Food International di Kota Bra, Italia.

Ibu seorang putra itu menyebutkan, Slow Food kali pertama didirikan di Indonesia pada 2006 oleh Gregory Ernoult, seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai chef atau koki. Ketika itu, Ernoult yang berdomisili di Kompleks Lippo Karawaci, Tangerang, mendirikan Slow Food Convivium Karawaci. Namun, perkumpulan tersebut tidak berlanjut karena Ernoult pindah ke Singapura.

Peraih gelar master di bidang hukum dari King”s College, London, Inggris, yang kini menekuni profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan tersebut mulai tertarik dengan gerakan Slow Food pada 2010. Sejak itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai anggota Slow Food International. Dan baru pada awal 2012 Helianti membentuk Slow Food Convivium Kemang.

“Nilai-nilai Slow Food ini sejalan dengan bisnis saya di Javara,” ungkap perempuan kelahiran Jember, Jatim, 1971, itu. Javara adalah perusahaan dalam bidang pengembangan bahan pangan yang didirikan Helianti.

Helianti mengatakan, gerakan Slow Food bertumpu pada tiga nilai, yakni good, clean, dan fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan tersebut.

“Semua anggota komunitas Slow Food harus berupaya semaksimal mungkin untuk hanya memakan makanan yang memenuhi tiga nilai tersebut,” tegasnya.

Apa bedanya dari makanan organik? Menurut Helianti, makanan yang masuk kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair.

Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua. Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani.

Kedua, konsep yang cukup unik, yakni keadilan untuk binatang yang akan dimakan. Karena itu, anggota gerakan Slow Food sangat anti makanan dari daging ayam broiler. Menurut Helianti, peternakan ayam broiler merupakan contoh buruk perlakuan manusia terhadap binatang ternak.

“Bayangkan, ayam-ayam itu hidup berdesak-desakan dalam kandang yang sangat sempit, tak bisa bergerak, disuntik hormon penggemuk dan estrogen perangsang telur serta antibiotik. Sungguh tidak berperikebinatangan. Karena itu, komunitas Slow Food sangat against (melawan/anti, Red) dengan peternakan semacam itu,” ujarnya dengan mimik wajah serius, dua tangannya terkepal erat pertanda gemas.

Di negara-negara lain, komunitas Slow Food hanya memakan daging binatang yang diternak secara baik, termasuk tidak diberi makanan yang mengandung bahan kimia. Di Indonesia, kata Helianti, contoh pilihannya adalah ayam kampung.

“Kalau ayam kampung kan hidupnya bebas, bisa kelayapan ke mana-mana, makanannya juga alami. Paling tidak, hidup mereka lebih bahagia daripada ayam broiler. Karena itu, dalam Slow Food ada istilah happy animal, kami hanya memakan binatang yang hidupnya bahagia,” ujarnya lantas tersenyum lebar.

Helianti mengakui, aturan-aturan dalam komunitas Slow Food cukup ketat. Karena itu, meski tidak ada sanksi tertulis, setiap anggota dituntut berkomitmen penuh dan semaksimal mungkin menjalankan konsep yang sudah disepakati.

“Yang saya tahu, anggota komunitas adalah orang-orang yang punya pandangan atau ide yang sejalan dengan nilai-nilai Slow Food. Jadi, kami tidak merasa berat menjalankannya,” tegasnya.(*)

Helianti Hilman, Pelopor Gerakan Slow Food Indonesia

Upaya melawan efek buruk makanan cepat saji atau fast food terus menguat. Namanya gerakan Slow Food. Berawal dari Italia, gerakan itu kini sudah menyebar hingga 150 negara. Di Indonesia, salah seorang penggeraknya adalah Helianti Hilman.

AHMAD BAIDHOWI, Jakarta

Pada 1980-an, gerai-gerai restoran fast food dari Amerika Serikat (AS) menyerbu Eropa. Salah satunya McDonald’s. Restoran dengan produk utama hamburger tersebut masuk ke Roma, ibu kota Italia, pada 1986 Ketika itu, beberapa kalangan mulai mengkritisi globalisasi fast food yang dituding menyajikan makanan tidak sehat. Bahkan, pada perkembangannya, sebagian orang menyebut fast food dengan istilah junk food atau makanan sampah.

MAKANAN SEHAT: Helianti Hilman  depan gerai tanaman organiknya  Kemang, Jakarta. //Ahmad Baidhowi/JAWA POS/jpnn
MAKANAN SEHAT: Helianti Hilman di depan gerai tanaman organiknya di Kemang, Jakarta. //Ahmad Baidhowi/JAWA POS/jpnn

Adalah Carlo Petrini yang waktu itu bersuara lantang menentang masuknya McDonald’s di Italia. Dia merupakan seorang jurnalis dan kolumnis berpengaruh yang biasa menulis artikel tentang kuliner di beberapa media Italia.

Aksi Petrini itu, rupanya, menarik perhatian publik Eropa. Karena itu, pada 1989, dia bersama puluhan orang dari 15 negara berkumpul di Paris, Prancis, lalu memproklamasikan gerakan Slow Food International. Lambangnya unik, keong atau siput berwarna merah. Keong tersebut digunakan sebagai representasi makhluk yang bergerak slow atau pelan.

Sejak itu, gerakan tersebut terus meluas di berbagai belahan dunia. Masyarakat di negara-negara maju di Eropa dan AS yang memiliki kesadaran tinggi tentang kesehatan makanan menjadi pelopornya. Kini gerakan Slow Food sudah menyebar tidak hanya di negara maju, tapi juga di negara berkembang, bahkan hingga negara-negara miskin di Afrika. Total, sudah ada lebih dari 100 ribu anggota yang tersebar di 150 negara. Atas gerakan revolusionernya dalam bidang pangan itu, majalah TIME memasukkan Carlo Petrini dalam jajaran Heroes of The Year 2004.

“Di Indonesia, gerakan Slow Food juga mulai tumbuh. Awalnya dipelopori para ekspatriat (orang asing yang tinggal di Indonesia, Red), tapi kini sudah makin banyak warga sendiri yang bergabung. Ini sangat positif,” ujar Helianti Hilman kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) di konternya di kawasan Kemang, Sabtu (20/10).

Helianti merupakan salah seorang pelopor gerakan Slow Food di Indonesia. Kini dia menjadi chairwoman Slow Food Convivium Kemang. Organisasi Slow Food memang terdiri atas kelompok-kelompok lokal yang disebut convivium yang dipimpin seorang chairman atau chairwoman. Karena itu, dalam satu negara bisa terdapat beberapa convivium yang masing-masing langsung menginduk pada organisasi pusat Slow Food International di Kota Bra, Italia.

Ibu seorang putra itu menyebutkan, Slow Food kali pertama didirikan di Indonesia pada 2006 oleh Gregory Ernoult, seorang ekspatriat yang berprofesi sebagai chef atau koki. Ketika itu, Ernoult yang berdomisili di Kompleks Lippo Karawaci, Tangerang, mendirikan Slow Food Convivium Karawaci. Namun, perkumpulan tersebut tidak berlanjut karena Ernoult pindah ke Singapura.

Peraih gelar master di bidang hukum dari King”s College, London, Inggris, yang kini menekuni profesi sebagai konsultan dan pengusaha di bidang produk pangan tersebut mulai tertarik dengan gerakan Slow Food pada 2010. Sejak itu, dia langsung mendaftarkan diri sebagai anggota Slow Food International. Dan baru pada awal 2012 Helianti membentuk Slow Food Convivium Kemang.

“Nilai-nilai Slow Food ini sejalan dengan bisnis saya di Javara,” ungkap perempuan kelahiran Jember, Jatim, 1971, itu. Javara adalah perusahaan dalam bidang pengembangan bahan pangan yang didirikan Helianti.

Helianti mengatakan, gerakan Slow Food bertumpu pada tiga nilai, yakni good, clean, dan fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan tersebut.

“Semua anggota komunitas Slow Food harus berupaya semaksimal mungkin untuk hanya memakan makanan yang memenuhi tiga nilai tersebut,” tegasnya.

Apa bedanya dari makanan organik? Menurut Helianti, makanan yang masuk kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair.

Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua. Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani.

Kedua, konsep yang cukup unik, yakni keadilan untuk binatang yang akan dimakan. Karena itu, anggota gerakan Slow Food sangat anti makanan dari daging ayam broiler. Menurut Helianti, peternakan ayam broiler merupakan contoh buruk perlakuan manusia terhadap binatang ternak.

“Bayangkan, ayam-ayam itu hidup berdesak-desakan dalam kandang yang sangat sempit, tak bisa bergerak, disuntik hormon penggemuk dan estrogen perangsang telur serta antibiotik. Sungguh tidak berperikebinatangan. Karena itu, komunitas Slow Food sangat against (melawan/anti, Red) dengan peternakan semacam itu,” ujarnya dengan mimik wajah serius, dua tangannya terkepal erat pertanda gemas.

Di negara-negara lain, komunitas Slow Food hanya memakan daging binatang yang diternak secara baik, termasuk tidak diberi makanan yang mengandung bahan kimia. Di Indonesia, kata Helianti, contoh pilihannya adalah ayam kampung.

“Kalau ayam kampung kan hidupnya bebas, bisa kelayapan ke mana-mana, makanannya juga alami. Paling tidak, hidup mereka lebih bahagia daripada ayam broiler. Karena itu, dalam Slow Food ada istilah happy animal, kami hanya memakan binatang yang hidupnya bahagia,” ujarnya lantas tersenyum lebar.

Helianti mengakui, aturan-aturan dalam komunitas Slow Food cukup ketat. Karena itu, meski tidak ada sanksi tertulis, setiap anggota dituntut berkomitmen penuh dan semaksimal mungkin menjalankan konsep yang sudah disepakati.

“Yang saya tahu, anggota komunitas adalah orang-orang yang punya pandangan atau ide yang sejalan dengan nilai-nilai Slow Food. Jadi, kami tidak merasa berat menjalankannya,” tegasnya.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/