SUMUTPOS.CO – Kecurangan atau fraud masih menghantui BPJS Kesehatan. Kemarin (7/12) Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti pada acara Penganugerahan Penghargaan Anti Kecurangan dan Pengendalian Gratifikasi Program JKN di Jakarta menyebut adanya dugaan fraud sebesar Rp866 miliar.
“Untuk panthom billing (klaim palsu) itu nilainya cukup besar,” kata Ghufron. Selain klaim palsu, modus lainnya adalah tindakan atau obat yang tidak perlu.
Ghufron menyatakan bahwa BPJS Kesehatan berusaha untuk melakukan pencegahan. Misalnya saja bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan membentuk tim anti kecurangan. Tidak hanya di pusat, namun juga tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah personel sebanyak 1947 orang. T im ini untuk membangun sistem agar tidak terjadi kecurangan. “Tidak semata-mata mencari korban,” ucapnya.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga sudah memiliki aplikasi yang dapat mengetahui kecurangan fasilitas kesehatan. Dia menyebut, rumah sakit sering kali tidak mengetahui kalau sedang dimata-matai. “Sampai unit terkecil di klinik rumah sakit itu kita tahu. Mana yang berlakunya agak nakal dan nakal sekali,” ungkapnya.
Bahkan BPJS Kesehatan juga sering melakukan pengecekan apakah pasien tersebut benar mendapatkan layanan kesehatan atau tidak. Sebab, BPJS Kesehatan dapat mengetahui pada saat mendapatkan layanan kesehatan itu dilayani oleh siapa dan mendapatkan perawatan apa.
Sementara itu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan belanja kesehatan nasional di Indonesia cukup tinggi. Untuk BPJS Kesehatan sekitar Rp 200 triliun. Dia menyebukan bahwa dengan nilai yang besar ini maka ada saja kemungkinan kebocoran atau kecurangan.
Budi pun mengajak agar ada kolaborasi yang baik antara BPJS Kesehatan dengan Kemenkes untuk menanggulangi potensi kecurangan ini. Dia menyebut BPJS Kesehatan sudah memiliki ekosistem teknologi yang baik. “Integrasikan ke Kemenkes dan saya juga merencanakan integrasi ke OJK,” ucapnya.
Sehingga, informasi dari fasilitas kesehatan untuk proses klaim ini valid. ”Kemenkes punya kewenangan untuk membina dan menghukum rumah sakit tersebut,” tutur Budi.
Dia mencontohkan jika terjadi phantom billing yang dilakukan tenaga kesehatan atau faskes, maka pemerintah dapat mengontrol. Sebab kini untuk izin tenaga kesehatan maupun faskes melalui pemerintah. Hal seperti ini menurutnya sudah awam dilakukan di perbankan. “Kemenkes punya regulatory power untuk bisa mengatur perizinan dari tenaga kesehatan, tenaga medis, dan faskes,” ujarnya.
Selanjutnya, dia menyarankan agar ada analisis secara rutin. Sehingga bisa melihat potensi kebocoran ada di mana. Lalu ditemukan solusi untuk mengatasinya. Budi menyebutkan jika banyak asuransi swasta yang masuk OJK. Ketika ditemukan adanya kecurangan, maka pelakunya bisa dipanggil.
Budi mengakui bahwa dunia kesehatan tidak memiliki standar treatment yang sama antara satu penyelenggar dengan yang lainnya. Dia mencontohkan di faskes a operasi usus buntu Rp 500 ribu, tapi di tempat lain bisa Rp 5 juta. “Industri ini memiliki informasi yang tidak simetris,” katanya. (lyn/jpg/ila)