JOMBANG-Peringatan 100 tahun tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Menteri Agama KH Abdul Wahid Hasyim kemarin (8/6) dihelat di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang. Selain diadakan seminar internasional, pada hari itu juga di-launching prangko bergambar ayahanda almarhum Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) tersebut.
Prangko seri khusus itu diberikan langsung Kepala Divisi Regional PT Pos Indonesia Jawa Timur Junaedy. Berturut-turut yang menerima adalah Ny Sinta Nuriyah, Aisyah Baidlowi Hamid, Salahudin Wahid, Umar Wahid, dan Lily Wahid.
Sedangkan seminar internasional bertajuk The Future of Islam in the Changing World itu mendatangkan beberapa pembicara. Di antaranya Gokhan Bacik, profesor hubungan internasional dari Universitas Fatih Turki dan pengajar di sejumlah universitas top di Eropa. Juga ada Umar Anggara Jenie (profesor farmasi dari UGM) dan Ary Mochtar Pedju, anggota Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Sayang, dua nama tenar internasional lagi gagal datang dalam seminar yang dimoderatori Inayah Wahid (putri Gus Dur) itu.
“Kami sudah mengundang Tun Mahathir Mohamad. Tapi, karena alasan kesehatan, beliau tak bisa datang. Kami juga mengundang Anwar Ibrahim,” kata Gus Solah, sapaan akrab Salahudin Wahid, pengasuh Ponpes Tebuireng, di acara kemarin. “Tapi, hari ini (kemarin, Red) beliau (Anwar) harus menghadiri mahkamah di Kuala Lumpur, jadi belum bisa datang,” tambahnya. Selain nama-nama tersebut, hadir pula Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Mahkamah Konstitusi M. Mahfud M.D., Ny Sinta Nuriyah Wahid (janda Gus Dur), dan sejumlah tokoh lainnya.
Dalam seminar itu Gokhan mengatakan, setidaknya ada tiga parameter masa depan Islam yang harus diperhatikan. Yang pertama adalah soal kondisi material-non material (seperti ekonomi dan teknologi). “Yang kedua adalah soal menginterpretasikan kembali syariat Islam,” ucapnya. Dan yang ketiga adalah memperkuat komunitas-komunitas Islam di seluruh dunia dengan cara membuat standar pendidikan yang sama sehingga gampang menyambungnya dengan Islam di kawasan lain.
Yang menarik adalah pembahasan Gokhan untuk parameter yang kedua. Sebab, Gokhan menyinggung konsep Islam untuk negara. “Sejauh yang saya pelajari, tak ada satu pun ayat di Alquran dan hadis yang menyebut bagaimana seharusnya bentuk pemerintahan. Apakah itu presidensial, apakah parlementer, sama sekali tak dibahas,” ucapnya.
Namun, Gokhan mengatakan bahwa Islam sangat menentang bentuk-bentuk pemerintahan yang otoritarian dan menindas rakyatnya. “Dari poin ini sebenarnya bisa dipetik, Islam adalah agama anti penjajahan, namun tak berhasrat menjadikan dirinya sebagai sebuah negara. Bentuk negara apa pun dipersilakan,” tuturnya.
Gokhan juga mengatakan bahwa obsesi untuk menjadikan Islam sebagai sebuah negara adalah masalah besar. “Karena juga kadang tercampur dengan nasionalisme. Karena setiap muslim di negara mana pun rata-rata cenderung nasionalis.” Begitu analisis akademisi yang pernah melakukan riset sosial di Afghanistan berdasar order dari NATO tersebut.
Sementara itu, Umar Anggara Jenie dari UGM mengatakan, ada pandangan berbeda tentang ilmu antara pandangan Barat dan Islam. “Pandangan Barat menyatakan bahwa ilmu itu bebas nilai. Namun, tidak demikian halnya dengan Islam. Pengetahuan itu adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia untuk menjalankan fungsinya,” tandasnya.
Pembicara yang terakhir, Ary Mochtar Pedju, menguraikan panjang lebar peranan Islam dalam pembentukan dunia ilmu modern. Bahwa Islam-lah yang mengembangkan, menginovasi, dan meletakkan dasar ilmu pengetahuan modern.
Sebelum seminar dibuka, acara tersebut ditandai dengan pemberian prangko seri khusus bergambar Wahid Hasyim kepada keluarga besar Wahid Hasyim. Yang diberikan langsung oleh Kepala Divisi Regional PT Pos Indonesia Jawa Timur Junaedy. Berturut-turut yang menerima adalah Ny Sinta Nuriyah, Aisyah Baidlowi Hamid, Salahudin Wahid, Umar Wahid, dan Lily Wahid. (ano/c9/kum)