JAKARTA–Kasus korupsi yang melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sangat banyak. Terakhir, dua mantan pentingi Partai Demokrat, yaitu M Nazaruddin dan Angelina Sondakh diduga bermain dalam proyek yang berkaitan dengan beberapan
Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk Universitas Sumatera Utara (USU).
Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, korupsi di kementerian sudah seperti kanker yang sulit disembuhkan. Meskipun begitu, perilaku merugikan negara tersebut masih dapat “disembuhkan”. Hanya saja memerlukan waktu yang cukup lama.
“Anda semua tahu di sana kasusnya banyak. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) misalnya. Jadi itu memang luar biasa. Seperti di Kementerian Agama (Kemenag) sudah kanker,” ungkap Penasihat KPK Abdullah Hehamahua usai menyaksikan penandatangan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi di Kementerian Sosial (Kemensos), Jakarta, kemarin.
Selain KPK, Polisi dan Kejaksanaan juga membidik sejumlah kasus di kementerian yang mengurusi masalah pendidikan tersebut. Bahkan, Kejaksaan juga telah menetapkan status tersangka terhadap beberapa pegawai di Kemendikbud terkait kasus korupsi pelaksanaan lomba ketrampilan siswa tingkat SMK dan pameran SMK tahun 2009.
Para tersangkanya adalah mantan Direktur Pembinaan SMK Joko Sutrisno, Susilowati selaku pejabat pembuat komitmen, Suko Wiyanto penanggung jawab kegiatan, dan Al Azhar bendahara pengeluaran pembantu.
Abdullah mengatakan, penyakit kanker parah yang diderita Kemendikbud masih bisa disembuhkan. Jika menggunakan cara-cara versi KPK setidaknya perlu waktu hingga 10 tahun. Namun, jika cara biasa-biasa saja 50 tahun belum tentu berhasil.
Menurut mantan calon pimpinan KPK tersebut, penegakan hukum di lembaga antibody tersebut sangat tegas. Beberapa tahun lalu ada pegawai yang diberikan surat peringatan (SP) 3 hanya karena menggunakan kendaraan dinas untuk mendaftarkan pernikahannya ke KUA. Padahal, dirinya hanya sekitar 10 menit di kantor tersebut.
“Tahun lalu ada pegawai yang mendapatkan mobil dinas. Dia pakai sebentar untuk daftar pernikahan. Kita dapat laporan dan diberikan SP 3. Dia tidak dapat insentif bulanan dan insentif tahunan. Awalnya grade B turun jadi grade D. Untuk naik grade lagi berdarah-darah itu,” jelasnya.
Tidak hanya itu saja, lanjut Abdullah, besok KPK akan mengadili seorang pegawai yang menggunakan kartu GFF Garuda Indonesia untuk kepentingan istri dan anaknya. Awalnya, dia mendapatkan poin dari penerbangan plat merah tersebut dalam kartu GFF. Poin tersebut didapatkan dari perjalanan dinas yang menggunakan uang negara. Seharusnya poin tersebut tidak boleh dipakai untuk orang lain, termasuk keluarga. Nanti jatuhnya gratifikasi.
Sementara itu, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengakui, kalau kasus korupsi di Kemendikbud memang banyak. Apalagi, penilaian BPK terhadap laporan keuangan 2010 disclaimer. Tahun ini pun laporan keuangan 2011 Kemendikbud juga masih disclaimer.
“Modusnya banyak. Ada pengadaan barang dan jasa, ada perjalanan dinas fiktif. Nilainya sampai miliaran. Tidak hanya di kementerian saja, tapi juga di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di bawahnya. Modusnya sama saja,” tegas Febri.
Menurutnya, ada masalah dalam birokrasi pendidikan Indonesia saat ini. Namun, masalah tersebut tetap bisa diselesaikan. Salah satu caranya dengan menghilangkan partai politik dari kementerian. Biaya politik yang tinggi membuat politisi menjarah anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN. “Kalau nilai kerugiannya kita merujuk data BPK. Ada pengelolaan aset tidak sesuai. Nilai kerugiannya mencapai triliunan,” tambah Febri.
Sementara itu, Mendikbud Mohammad Nuh mengakui ada kasus korupsi yang diduga melibatkan kementerian yang dipimpinnya. Namun, ia membantah kasusnya banyak. Keramaian isu korupsi di Kemendikbud karena masih diduga. Jika dipelajari betul, kasusnya tidak terlalu banyak.
“Kasusnya di Universitas Indonesia (UI) Rp 100 miliar, Universitas Sriwijaya (Unsri) Rp 75 miliar. Jika dikumpulkan seakan-akan jadi triliunan. Sebenarnya barangnya ada. Yang penting sekarang diclearkan,” kilah Nuh.
Baginya, yang terpenting sekarang ini adalah transparan. Jangan sampai katanya-katanya saja. Hal itu harus diuji. “Jadi yang penting dijelaskan saja duduk perkaranya dan mekanismenya dapat dipertanggungjawabkan. Ini ‘kan ilmu kanton semuanya,” kata mantan Menkominfo tersebut.
Jika statusnya sudah tersangka, lanjut mantan Rektor ITS Surabaya tersebut, harus mengikuti hukum yang berlaku. “Buktinya sekarang sudah tidak jadi direktur (Joko Sutrisno) lagi. Cara yang paling gampang ya kita transparan saja,” katanya. (cdl/jpnn)