Disisi lain, KPK tetap melanjutkan agenda pemeriksaan para saksi terkait kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Kemarin, misalnya, penyidik memeriksa eks Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Gamawan diperiksa untuk Anang Sugiana Sudihardjo dan Setya Novanto. Dia menegaskan Setnov sebagai tersangka dalam pemeriksaan kemarin.
“Ya (tersangka) Anang, Novanto, Irman dan seterusnya,” terangnya. Gamawan diperiksa selama 40 menit. Di pemeriksaan itu, dia diminta menjelaskan hubungan dengan Anang dan Setnov. “Saya ditanya dua hal. Pertama kenal nggak sama pak Anang? Saya bilang saya nggak kenal dan belum pernah ketemu orangnya. Kedua tentang Pak Novanto. Saya bilang saya nggak pernah bicara sama Pak Novanto, ketemunya paling di paripurna,” ungkapnya.
Penerbitan SPDP oleh Bareskrim Polri untuk pimpinan KPK sangat disayangkan. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan polisi mestinya tidak buru-buru menerbitkan SPDP atau meneruskan laporan kubu Setnov. “Kalau tindakan KPK dianggap salah karena menyalahgunakan wewenang atau tindakan penyidikan lainnya maka ada sarana yaitu praperadilan,” ujarnya.
Selain itu, polisi juga mestinya paham dengan ketentuan di pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana. “Jad jelas dalam KUHP orang yang sedang menjalankan tugas undang-undang maka tidak bisa dipidana, contoh lain penembak eksekusi mati,” ungkapnya.
Boyamin menambahkan, keputusan pimpinan KPK dalam menerbitkan surat umumnya merupakan usulan dari penyidik yang disampaikan lewat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman. Artinya, terbitnya SPDP atau dokumen lain yang berkaitan dengan bidang penindakan bukan hanya kesalahan pimpinan. Tapi juga bagian penindakan, khususnya direktorat penyidikan.
“Tindakan pimpinan KPK pasti usulan dan permintaan dari penyidik,” terangnya. Boyamin pun berharap kasus pemalsuan dokumen itu tidak diteruskan polisi. Sebab, tindakan itu bisa dimaknai publik sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan KPK. (lyn/tyo/jpg)
Disisi lain, KPK tetap melanjutkan agenda pemeriksaan para saksi terkait kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Kemarin, misalnya, penyidik memeriksa eks Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Gamawan diperiksa untuk Anang Sugiana Sudihardjo dan Setya Novanto. Dia menegaskan Setnov sebagai tersangka dalam pemeriksaan kemarin.
“Ya (tersangka) Anang, Novanto, Irman dan seterusnya,” terangnya. Gamawan diperiksa selama 40 menit. Di pemeriksaan itu, dia diminta menjelaskan hubungan dengan Anang dan Setnov. “Saya ditanya dua hal. Pertama kenal nggak sama pak Anang? Saya bilang saya nggak kenal dan belum pernah ketemu orangnya. Kedua tentang Pak Novanto. Saya bilang saya nggak pernah bicara sama Pak Novanto, ketemunya paling di paripurna,” ungkapnya.
Penerbitan SPDP oleh Bareskrim Polri untuk pimpinan KPK sangat disayangkan. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan polisi mestinya tidak buru-buru menerbitkan SPDP atau meneruskan laporan kubu Setnov. “Kalau tindakan KPK dianggap salah karena menyalahgunakan wewenang atau tindakan penyidikan lainnya maka ada sarana yaitu praperadilan,” ujarnya.
Selain itu, polisi juga mestinya paham dengan ketentuan di pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana. “Jad jelas dalam KUHP orang yang sedang menjalankan tugas undang-undang maka tidak bisa dipidana, contoh lain penembak eksekusi mati,” ungkapnya.
Boyamin menambahkan, keputusan pimpinan KPK dalam menerbitkan surat umumnya merupakan usulan dari penyidik yang disampaikan lewat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman. Artinya, terbitnya SPDP atau dokumen lain yang berkaitan dengan bidang penindakan bukan hanya kesalahan pimpinan. Tapi juga bagian penindakan, khususnya direktorat penyidikan.
“Tindakan pimpinan KPK pasti usulan dan permintaan dari penyidik,” terangnya. Boyamin pun berharap kasus pemalsuan dokumen itu tidak diteruskan polisi. Sebab, tindakan itu bisa dimaknai publik sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan KPK. (lyn/tyo/jpg)