Bukan hanya itu, Azis juga mengedepankan proses desentralisasi yakni menguatkan kepengurusan di tingkat II dan tingkat I khususnya dalam upaya penetapan calon kepala daerah. Nantinya kader Golkar yang menjabat sebagai kepala daerah, bakal diintruksikannya untuk mengalokasikan 2 persen dari APBD untuk kegiatan anak dan perempuan. Persoalan militansi kader, juga menjadi perhatiannya.
Menurutnya, saat ini banyak kader yang tidak memiliki loyalitas atau militansi. Oleh karena itu, dia ingin membuat data base jumlah kader baik di tingkat kelurahan, desa, kecamatan, DPD Tingkat II dan I, bahkan di kepengurusan Ormas pendiri partai.
“Selama ini ada yang pengurus di Ormas Koesgoro, tapi tercatat di kepengurusan Ormas Soksi atau MKGR. Ke depan ini tidak boleh lagi, agar kita dapat mengentahui berapa sebenarnya jumlah kader Golkar dan sayap partai,” bebernya.
Caketum lainnya, Priyo Budisantoso menekankan untuk memperkuat kepengurusan di daerah yakni memberikan kewenangan lebih besar. “Untuk menetapkan Ketua DPRD atau calon kepala daerah itu tak harus menunggu persetujuan pusat. Nantinya mekanisme ada di daerah, pusat hanya pengesahan saja,” ujarnya.
Mengenai pemilihan kepala daerah, Priyo menginginkan agar ketua DPD tingkat II dan DPD tingkat I yang ikut bertarung. “Saat ketua partai maju sebagai calon kepala daerah akan dibebaskan dari mahar, ketika partai Golkar hanya menjadi pengusung maka hal itu perlu dibicarakan lebih jauh. Saya ingin kader Golkar yang bertarung, kalah menang urusan nomor sekian,” bebernya.
Lebih jauh, Priyo mengatakan jika terpilih nanti ia akan merangkul para purnawirawan jendral agar ikut serta didalam kepengurusan inti. Diakuinya, partai Golkar tidak dapat lepas dari itu, karena memang itu sejarah berdirinya partai.
“Mungkin Sekjen atau Waketum akan diduduki oleh pensiunan jendral TNI, begitu juga di daerah, perlu merangkul purnawirawan sebagai pengurus inti,“tukasnya.
Calon Ketum lainnya, Airlangga Hartarto menekankan tantangan untuk membesarkan kembali partai Golkar tidaklah mudah. Apalagi, kurun waktu satu setengah tahun terakhir sibuk dengan konflik internal. Mengkolektifkan kepengurusan di daerah juga menjadi fokusnya ketika dipercaya menjadi partai berlambang beringin ini.
Menurut Airlangga, pemilih saat ini 45 persen adalah kaum muda dengan rentan usia 15-40 tahun. Kondisi ini sudah sangat berbeda dengan pemilih-pemilih golkar sebelumnya. Sebab, cara berfikir dan metode interaksi yang dipergunakan juga sudah berbeda. Kondisi terkini, ialah masyarakat sudah aktif menggunakan media sosial. Seharusnya, Partai Golkar dapat memanfaatkan media sosial untuk menarik minat masyarakat khususnya para pemilih pemula.
“Media sosial bisa kita pergunakan untuk promosi gratis, ini peluang besar yang harus dimanfaatkan,“ucap Airlangga.
Bukan hanya itu, Airlangga berkeinginan agar calon kepala daerah yang diusung nantinya bukan kader impor dari partai lain. “Kalau kepala daerah bukan kader Golkar, maka daerah tersebut akan sulit menjalankan kebijakan partai sesuai blue print 2045 yang sudah kita miliki,“sebutnya.
Karena blue print 2045 partai Golkar sama dengan nawacita pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla, Airlangga mengaku akan mendukung dan bergabung kepemerintah ketika terpilih nantinya. “Untuk apa kita hanya jadi penonton, lebih baik menjadi pemain yang dapat turut serta menjalankan pembangunan, itu lebih baik. Dan itu alasan kenapa harus ikut bergabung kepemerintah,“ ucapnya.