Dia berharap Ketua MK dan wakilnya bisa memimpin perubahan institusi MK menjadi lebih baik. Yang perlu dilakukan MK adalah menjaga independensi dan menolak setiap intervensi. “Bisa jadi upaya intervensi semakin kuat dalam perjalanan pemilu ini,” paparnya.
Selain itu juga terkait rekomendasi dari MKMK yang memerlukan pembentukan MKMK permanen dan merevisi Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) 1/2023, dia menilai perlu ditunaikan. “Ketua MK baru perlu untuk menuntaskan persoalan ini,” jelasnya.
Terkait keberadaan Anwar Usman yang dinilai masih bisa melakukan upaya mempengaruhi hakim lain? Dia mengatakan bahwa tentunya keberadaan Anwar Usman akan tetap berpengaruh. Tapi, konstelasi hakim MK juga telah berubah. “Apalagi kedepan akan ada dua hakim baru menggantikan Wahidudin Adams dan Manahan MP Sitompul,” jelasnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Violla Reininda mengatakan, kasus putusan 90/2023 yang berujung pada sanksi etik kepada sembilan hakim konstitusi harus dipandang Ketua MK baru sebagai tamparan keras dan titik balik reformasi. Sebab, fakta hukum itu menunjukkan bahwa pembusukan institusional MK terjadi dari dalam.
Sebagai bentuk reformasi MK, Violla mendesak tidak hanya sebatas mengganti kepemimpinan. Untuk jangka panjang, perlu untuk memperbaiki sistem pengawasan dan penegakkan kode etik dengan membentuk MKMK yang permanen. “Harus diisi oleh tokoh-tokoh negarawan yang tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan hukum,” ujarnya.
Tak hanya itu, kelembagaan MKMK juga harus ditempatkan sebagai lembaga yang independen dan terpisah dari MK. Sehingga untuk ke depan, hakim konstitusi tidak menaruh representasi pada MKMK. “MKMK yang permanen pun diharapkan proaktif dalam mengawasi MK,” imbuhnya.
Selain itu, mekanisme Majelis Kehormatan Banding untuk sanksi pemberhentian dengan tidak hormat juga dinilai perlu dikaji ulang. Bahkan Violla mengusulkan harus ditiadakan untuk menghindari proses pemeriksaan etik yang berlarut dan tidak memberikan kepastian hukum.
Namun apabila dipertahankan, itu harus diatur di level undang-undang bukan peraturan MK. “Agar tidak dengan sengaja memberikan keuntungan kepada hakim konstitusi yang telah terbukti melakukan pelanggaran berat,” tuturnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan bahwa terpilihnya Suhartoyo sebagai ketua MK berarti putusan MKMK sudah dilaksanakan. “Sesuai dengan amarnya, bahwa dalam waktu 2 x 24 jam Wakil Ketua MK Saldi Isra harus memimpin rapat pemilihan ketua MK yang baru,” ungkap dia kepada awak media.
Sebagai mantan ketua MK, Mahfud mengaku kenal dengan Suhartoyo. Perkenalan keduanya bahkan sudah terjadi sejak mereka masih menempuh pendidikan studi strata satu di Universitas Islam Indonesia (UII). “Saya kenal Suhartoyo itu sebagai teman sekolah, satu kelas ketika kuliah program S1 Fakultas Hukum UII,” terang pejabat asal Madura itu.
Mahfud mengungkapkan bahwa dirinya dan Suhartoyo merupakan teman satu angkatan, satu kelas, dan satu kelompok belajar. Menurut dia, Suhartoyo merupakan pribadi yang baik. Karena itu, dia berharap Suhartoyo tidak berubah. Dia berharap besar Suhartoyo bisa menjalankan tugas dengan baik. “Mudah-mudahan tidak terkontaminasi dan tidak membiarkan MK rusak,” kata dia.
Masih Saling Lapor
Sementara residu dari putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 masih terasa. Pengacara Pembela Pilar Konstitusi (P3K) melaporkan kebocoran informasi rahasia rapat permusyawaratan hakim (RPH) seperti yang disebutkan dalam sidang MKMK ke Bareskrim. “Kebocoran informasi rahasia dalam RPH itu melanggar Pasal 40 Ayat 1 UU Nomor 7/2020 Tentang Mahkamah Konstitusi,” jelasnya Anggota P3K Maydika Ramadani.
Laporan itu telah diterima Bareskrim dengan nomor STTL/432/XI/2023/Bareskrim. Dia mengatakan, dengan laporan ini diharapkan pelaku bisa ditemukan dan tidak ada lagi kebocoran informasi rahasia dalam RPH. “Jangan sampai terulang kembali,” tuturnya.
Di sisi lain, Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara melaporkan dugaan maladministrasi Anwar Usman ke Ombudsman. Koordinator Perekat Nusantara Petrus Selestinus menuturkan, laporan ini dikarenakan Anwar Usman melalaikan membuat peraturan dan membentuk MK banding. “Ini merupakan pelanggaran hukum yang dikualifikasikan sebagai maladministrasi. Makanya dilaporkan ke Ombudsman,” jelasnya.
Dengan tanpa aturan MK banding, saat ini Anwar Usman hanya bisa ngomel-ngomel di media. Dia mengatakan, akhirnya senjata makan tuan. “Kalau dibuat aturan MK banding. Tentunya bisa menempuh jalur itu,” paparnya. (far/idr/syn/jpg)