JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Merebaknya virus corona alias flu Wuhan membuat para mahasiswa Indonesia di Tiongkok menunda untuk kembali ke negeri panda. Jumlah WNI di Tiongkok pun kini tinggal sedikit. Di sisi lain, pemerintah membantah bahwa tidak adanya kasus corona di Indoneisa disebabkan alat deteksi yang kurang canggih.
SAAT INI, jumlah WNI yang berada di daratan Tiongkok tinggal berjumlah 1.890 orang. Turun drastis dibandingkan data Desember lalu yang mencapai sekitar 16.500 orang. sebagian besarnya adalah mahasiswa. ’’Sejak KBRI dan KJRI mengeluarkan imbauan agar mereka melanjutkan liburan, itu banyak didengar,’’ terang Dubes RI untuk RRT dan Mongolia, Djauhari Oratmangun lewat videoconference di Kantor Staf Presiden, Senin(10/2). Lagipula, masa libur kuliah di Tiongkok memang diperpanjang pula.
Rinciannya, di wilayah kerja KBRI di Beijing 722 orang. kemudian, di wilayah KJRI Shanghai 841 dan Guangzhou 327 orang. Kemarin sore, ada 21 orang yang pulang ke Indonesia lewat negara ketiga. Sebab, penerbangan dari Tiongkok ke Indonesia maupun sebaliknya sedang ditutup. ’’Pakai Malaysia Airlines,’’ lanjut Djauhari.
Juru Bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, menuturkan ke-21 orang itu berbeda dengan yang dipulangkan dari Wuhan. Semuanya berasal dari wilayah yang tidak mengalami isolasi. ’’Mereka sudah menjalani proses pemeriksaan kesehatan dan mendapat sertifikasi sehat,’’ terangnya. Karena itu, otoritas Tiongkok mengizinkan mereka untuk terbang.
Faizasyah enggan mengungkap identitas maupun asal daerah para WNI tersebut. Menurut dia, yang bisa menjadi catatan publik adalah ke-21 WNI tersebut dinyatakan sehat oleh otoritas Tiongkok sehingga boleh pulang.
Penjelasan itu dibenarkan Dirjen Pencegahan dan pengendalian penyakit Kemenkes Anung Sugihantono. Menurut dia, ada perbedaan perlakuan antara provinsi Hubei dengan daratan Tiongkok lainnya. Di luar Hubei, karantina dilakukan bila ada kasus. ’’Kalau bukan dari Wuhan atau Hubei, maka prosesnya (pemeriksaan) tidak melalui karantina,’’ terangnya. Kecuali yang bersangkutan punya riwayat kontak dengan penderita corona.
Anung juga mengklarifikasi isu masuknya empat WNI dari Singapura ke Provinsi Kepri yang disebut sempat kontak dengan penderita corona. Menurut dia, pemerintah Singapura tidak menjelaskan kapan dan bagaimana bentuk kontak yang dilakukan para WNI tersebut. Pihaknya sudah bertemu dan memeriksa para WNI itu. Hasilnya, suhu tubuh mereka tidak melebihi ketentuan.
Untuk saat ini, keempat WNI itu dikarantina di kediaman mereka. Bukan karena sakit, melainkan karena diinformasikan pernah bertemu dan kontak dengan suspect corona di Singapura. Karantina sudah dilakukan sejak dua hari lalu.
Bantah Tak Mampu Mendeteksi
Sementara itu, belum adanya kasus positif 2019-nCoV di Indonesia justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Tak jarang yang akhirnya mempertanyakan kemampuan Indonesia dalam mendeteksi virus ini. Termasuk, pemerhati isu kesehatan dari sejumlah negara.
Dalam kesempatan paparan di KSP kemarin, Kepala Badan Litbang Kemenkes Siswanto menjelaskan bahwa sejak 2009, pihaknya memang ditunjuk sebagai laboratorium nasional. Salahsatunya untuk penyakit new emerging alias yang baru muncul. ’’Kami sudah sangat berpengalaman karena sudah menangani flu burung, MERS kalau ada jamaah haji, dan sebagainya,’’ terangnya.
Pemeriksaan terhadap virus yang baru menggunakan pendekatan biomolekuler. Menggunakan PCR atau Polymerase Chain Reaction. ’’Kami memiliki empat mesin NGS (Next Generation Sequencing) sehingga nanti bisa dilacak apakah betul ini adalah nCoV (novel Coronavirus) atau bukan,’’ lanjutnya.
Secara keseluruhan, di Indonesia terdeteksi 62 subkasus yang diduga sebagai corona. Tersebar di 16 provinsi, mayoritas di DKI Jkarta (14) dan Bali (11). 59 di antaranya sudah selesai diperiksa dan dinyatakan negatif. Sementara, tiga sisanya masih dalam proses pemeriksaan. ’’Cara memeriksanya tidak seperti di Prodia dan dua jam selesai. Nggak begitu,’’ tambahnya.
Butuh setidaknya satu hari untuk memeriksa dan memastikan apakah itu virus corona atau bukan. Yang jelas, laboratorium Litbang Kemenkes mampu untuk mendeteksi corona. Selain karena sudah berpengalaman menangani penyakit menular sebelumnya, fasilitas itu juga sudah menggunakan standar WHO dan telah diakreditasi oleh badan kesehatan dunia itu.
Terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Achmad Yurianto menanggapi santai ketika dikonfirmasi terkait hal tersebut. Dia meyakinkan, bahwa semua spesimen yang sudah diperiksa selalu dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Nanti dilakukan verifikasi oleh WHO. Ini untuk melihat akreditasi validitas pemeriksaan oleh laboratorium kita,” tegasnya.
Diakuinya, tidak semua laboratorium mumpuni untuk memeriksa virus ini. Minimal, memiliki sertifikasi biosafety 2 dan 3 serta terstandarisasi dan tersertifikasi oleh WHO. Di Indonesia, hanya ada tiga institusi yang memiliki kapasitas untuk memeriksa virus. Yakni, Pusat Penyakit Kritis Universitas Airlangga, Eijkman, dan Laboratorium Balitbangkes Kemenkes.
“Kita sudah koordinasi dengan institusi yang punya kapasitas memeriksa virus ini,” ujarnya.
Perlu dipahami, pemeriksaannya pun tidak seperti mengetahui apa golongan darah Anda. Karena specimen yang diperiksa adalah lendir saluran napas, maka harus dilakukan swab dengan kapas dari hidung atau tenggorokan pasien yang diduga suspect.
Setelah itu, cek dengan melakukan sequencing DNA atau polymerase chain reaction (PCR). Pada pemeriksaan sequencing memang butuh waktu lebih lama. Pasalnya, specimen diperiksa melalui dua tahap. Pertama, disequencing dengan pan-coronavirus, yakni reagent untuk corona jenis apapun. Seperti saringan besar. Seandainya positif, diyakini corona maka selanjutnya disequencing menggunakan reagent nCoV yang spesimennya didapat dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta.
Sementara, untuk metode PCR lebih singkat lagi. specimen langsung dihadapkan dengan reagent novel corona. Jadi langsung dapat diketahui, 2019-nCoV atau bukan. “Dari sekian banyak sampel, gak ada yang lolos pan corona. Jadi bukan corona. Sebagian besar sesional influenza, H1N1,” jelas pria yang akrab disapa Yuri tersebut.
Sebagai informasi, hingga Minggu (9/2), sudah ada 62 spesimen yang dikirim ke Lab Balitbangkes. Dari jumlah tersebut 59 dinyatakan negative, sisanya masih dalam proses. Sejauh ini, pemeriksaan memang hanya dilakukan di Balitbangkes. Yuri mengklaim, lab milik Kemenkes ini masih mampu menangani seluruh specimen yang masuk. “Kapasitasnya sehari bisa sampai 1700. Jadi masih bisa lah,” ungkapnya. Selain itu,
Akan tetapi, perlu digaris bawahi jika pemeriksaan specimen ini tidak dilakukan pada semua orang. Yuri menekankan, ada prosedur klinis yang harus diterapkan terlebih dahulu. Seperti, ketika pemeriksaan awal, pasien memiliki gejala klinis seperti influenza berat, demam tinggi, yang kemudian disertai dengan gangguan pernapasan atau batuk. “Tidak semua orang diperiksa tiba-tiba seperti itu,” katanya.
Namun, bilamana ditemukan gejala klinis yang sangat nyata, radang pada tenggorokan misalnya. Lalu, yang dilakukan adalah intervensi dengan antibiotic. “Kalau panasnya turun pasti bukan virus. Tapi bakteri. Karena virus tidak akan memberikan respon apapun pada antibiotic,” tutur Yuri.
Kalau sebaliknya, tidak memberikan respon, maka pasien langsung masuk dalam kategori diawasi. Pemeriksaan segera dilanjutkan dengan melihat kadar darah putih atau leukosit pasien. Apabila cenderung rendah dan pemeriksaan darah menunjukkan adanya virus maka akan segera diambil spesimennya untuk diteruskan ke lab Balitbangkes untuk diperiksa lebih lanjut. “Spesimen dikirim, pasien diisolasi dan kita anggap suspect atau dugaan,” terangnya.
Hal ini pula yang mendasari tak dilakukanya pemeriksaan specimen pada 238 WNI yang tengah dikarantina di Natuna, Kepulauan Riau saat ini. Yuri mengatakan, seluruhnya tak menunjukkan gejala yang mengacu pada pneumonia. Menurutnya, hingga hari kedelapan, kondisi mereka secara keseluruhan baik. Tidak ada yang demam, sesak nafas, atau gejala lainnya.
Justru, lanjut dia, gejala yang muncul adalah gatal-gatal. Bukan lantaran 2019-nCoV, tapi masalah air yang digunakan di sana. Diakuinya, pihaknya kurang sedikit waspada soal tangki bawah tanah di sana. Pada persiapan awal, kualitas air baik-baik saja. Namun, begitu ada kegiatan tinggi dan air digunakan menerus, ada sedikit masalah dengan kualitasnya. “Tapi sudah ditangani,” sambungnya.
Dia turut menampik adanya isu soal biaya. Di mana, dikabarkan bahwa swab pada seluruh WNI yang dikarantina ini tidak dilakukan lantaran biaya yang sangat mahal. “Ya tidak mungkin. Bangun jalan tol aja bisa, gini doang masa gak bisa. Kita sudah beli itu reagentnya,” tegasnya.
Di bagian lain, Yuri mengatakan, saat ini pemerintah tak hanya mewaspadai negara dari mainland Tiongkok. Tapi juga dari negara-negara yang sudah menyatakan positif kasus 2019-nCoV. Karenanya, pemeriksaan tak lagi mengandalkan thermal scanner, melainkan thermalgun.
Diakuinya, hingga kini belum ada larangan untuk para turis dari negara-negara tersebut. Termasuk untuk Singapura yang baru saja menaikkan status kegawatdaruratannya menjadi orange. Menurutnya, lalu lintas orang di pelabuhan Batam masih terus terjadi.
“Tapi kita pastikan bahwa semuanya diperiksa satu per satu. Dan tidak mungkin ada suspect bisa jalan-jalan seperti kabar yang beredar,” tegasnya. Sebab, kalau itu terjadi maka artinya Singapura telah melanggar aturan dari WHO yang tidak memperbolehkan orang dalam kondisi sakit keluar masuk dari suatu negara saat ini. Aturan ini dibuat menyusul merebaknya 2019-nCoV saat ini. (byu/mia/jpg)