25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Cari Pemasukan, Eksepsi Ustad Dijual Rp20 Ribu

Kisah Murid-murid Abu Ba’asyir yang Setia

Selama menjalani persidangan kasus terorisme di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Abu Bakar Ba’asyir selalu ’dikawal’ ratusan muridnya. Tak sedikit yang datang dari Solo hanya berbekal nekat.

Hilmi Ridlwan, Jakarta

PAGI itu (7/3) PN Jakarta Selatan di Jl Ampera Raya seperti dikepung polisi. Jumlah mereka sekitar 3.000 orang. Bukan hanya itu. Di beberapa sudut lokasi yang tak seberapa jauh dari PN, ada para sniper yang selalu siaga. Seperti itulah pemandangannya, setiap kali digelar sidang kasus terorisme dengan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir.

Sidang dengan terdakwa pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu dilaksanakan setiap Senin dan Kamis. Pada dua hari itulah polisi selalu sibuk melakukan pengamanan.

Di luar sidang juga dipadati ratusan orang, kebanyakan pria, yang mengenakan pakaian muslim: berkopiah dan ada yang bersorban. Mereka inilah para murid Ba’asyir yang selalu setia mengawal sang ustad menjalani persidangan. Jumlah mereka yang mencapai ratusan itu, membuat jalan di depan PN macet setiap kali sidang Ba’asyir digelar.
Kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) beberapa murid Ba’asyir itu menyatakan kekecewaannya terhadap polisi.

Menurut mereka, pengamanan yang dilakukan polisi terlalu berlebihan. “Lihat itu, di atap-atap ada sniper. Seakan-akan kami ini berbahaya,” kata Muhammad Umar, murid Ba’asyir yang juga anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sambil mengarahkan telunjuk tangannya ke arah atap bangunan, tak jauh dari PN Jakarta Selatan. “Hei, itu sniper turun saja,” teriak Umar.

Hari itu (7/3) agenda sidang yang digelar adalah jawaban jaksa atas pembelaan Ba’asyir. Sidang sempat panas setelah salah seorang anggota kuasa hukum Baasyir, Munarman, bersitegang dengan jaksa penuntut. Umar mengatakan, demi memberikan dukungan kepada gurunya, hari itu (7/3) dia tiba di Jakarta sejak subuh. Pria 27 tahun itu datang dengan 50 orang temannya dari Solo.

Dua jam sebelum sidang dimulai (pukul 10.00), Umar dan teman-temannya yang juga murid Ba”asyir sudah tiba di depan PN Jaksel. Semula mereka berniat masuk ke ruang sidang. Tapi, upayanya gagal. “Ada orang-orang misterius yang sudah duduk di kursi pengunjung,” katanya.

Selama persidangan, Umar selalu waspada dan memasang telinga tajam-tajam. Setiap kali Ba”asyir atau pengacaranya menyebut polisi dan Densus 88 Antiteror musuh Allah, Umar dan puluhan rekannya membalas dengan pekikan Allahu akbar. Umar menjelaskan, keputusannya dengan beberapa rekannya sesama anggota JAT datang ke Jakarta adalah bentuk dukungan. “Dukungan dari seorang murid kepada guru atau ustadnya,” paparnya.
Dia sangat kecewa karena guru yang sudah mendidiknya ilmu agama itu didakwa sebagai otak dan penggerak pelatihan teroris.

Berangkat dari Solo ke ibu kota, Umar merogoh kocek sendiri. “Kami menggunakan bus. Kami mulai menabung sejak ustad kali pertama ditangkap,” katanya. Ba”asyir ditangkap di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, 9 Agustus 2010.
Untuk datang ke Jakarta, Umar mengatakan perlu sedikit perjuangan. Terutama persoalan ongkos transportasi. Dia menjelaskan, meluncur dari Ngruki ke Jakarta menggunakan bus dan kereta api.

Umar mengatakan, dirinya cukup beruntung karena tidak mengalami kesulitan soal kuangan. Beberapa rekannya mengaku meniru gaya suporter Persebaya Surabaya ketika datang ke Jakarta. Bondo nekat alias bonek. “Motivasi utama, kami harus bisa datang dan memberikan semangat kepada ustad, guru kami,” tandas Umar.

Dia memaparkan, beberapa rekannya ada yang berbekal pinjaman dari rekan lain untuk bisa meluncur di Jakarta. Atau, menumpang kenalan yang akan berangkat ke Jakarta. “Ada yang ikut truk,” katanya.

Tiba di Jakarta, mereka tidak menginap atau beristirahat di hotel. Sebaliknya, mereka menumpang meluruskan kaki di rumah anggota JAT yang tidak jauh dari PN Jakarta Selatan. Misalnya, di kawasan Blok M dan Mampang.
Kondisi keuangan yang pas-pasan tersebut dibenarkan oleh Direktur JAT Media Center Son Hadi. Bahkan, untuk menambah pemasukan organisasi, para aktivis JAT hari itu (7/3) menjual fotokopi materi eksepsi Ba”asyir. Materi setebal 120 halaman itu dijual Rp20 ribu kepada wartawan lokal maupun wartawan asing yang meliput sidang.

Sonhadi memimpin JAT Media Center yang tugasnya memantau setiap detik persidangan Ba”asyir. Setiap kali persidangan, mereka membuka gerai JAT Media Center, persis di depan PN Jakarta Selatan. “Kami mencatat secara detail lika-liku persidangan,” katanya. Hasilnya di antaranya diunggah ke situs www.ansharuttauhid.com.
Sonhadi menjelaskan, selama menempuh pendidikan di JAT dia mendapatkan ilmu tentang berbagi bersama. “Kami ibarat satu keluarga,” katanya.

Menurut Sonhadi, JAT tidak tepat jika disebut organisasi massa seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Hadi lebih suka JAT disejajarkan dengan jamaah tabligh yang sering keliling masjid. Atau jamaah-jamaah dakwah yang tersebar di kampung-kampung.

JAT didirikan Ba’asyir setelah menyatakan keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada September 2008. Setelah sang amir dipenjara, aktivitas JAT tidak langsung otomatis terhenti. “Dakwah-dakwah berkala tetap ada. Pesantren juga masih jalan,” tandas Hadi.

Terkait dengan penjagaan polisi, Hadi mengatakan sudah terlalu kelewatan. “Kami punya tim yang mengawasi orang-orang misterius. Bahkan ada yang berjilbab, itu sudah kami rekam video,” katanya.
Bagaimana bisa tahu? “Kami terlatih membedakan. Gerak-geriknya kan kelihatan. Kalau tidak biasa pakai kerudung pasti kikuk,” katanya.

Dia menjamin, anggota JAT yang setiap persidangan memadati halaman PN Jakarta Selatan tidak akan berbuat anarkis. Apalagi, sampai melawan polisi yang dilengkapi persenjataan lengkap. “Lalu mengapa harus ada sniper?” katanya.

Di antara anggota JAT yang datang ke persidangan tak sedikit yang membawa istri dan anak-anaknya. Karena itu, untuk berbuat kekerasan harus berpikir seribu kali. Pasalnya, hal itu bisa berbalik membahayakan anggota keluarga mereka. “Kami juga punya tim khusus untuk antisipasi provokasi,” katanya.(jpnn)

Kisah Murid-murid Abu Ba’asyir yang Setia

Selama menjalani persidangan kasus terorisme di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Abu Bakar Ba’asyir selalu ’dikawal’ ratusan muridnya. Tak sedikit yang datang dari Solo hanya berbekal nekat.

Hilmi Ridlwan, Jakarta

PAGI itu (7/3) PN Jakarta Selatan di Jl Ampera Raya seperti dikepung polisi. Jumlah mereka sekitar 3.000 orang. Bukan hanya itu. Di beberapa sudut lokasi yang tak seberapa jauh dari PN, ada para sniper yang selalu siaga. Seperti itulah pemandangannya, setiap kali digelar sidang kasus terorisme dengan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir.

Sidang dengan terdakwa pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu dilaksanakan setiap Senin dan Kamis. Pada dua hari itulah polisi selalu sibuk melakukan pengamanan.

Di luar sidang juga dipadati ratusan orang, kebanyakan pria, yang mengenakan pakaian muslim: berkopiah dan ada yang bersorban. Mereka inilah para murid Ba’asyir yang selalu setia mengawal sang ustad menjalani persidangan. Jumlah mereka yang mencapai ratusan itu, membuat jalan di depan PN macet setiap kali sidang Ba’asyir digelar.
Kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) beberapa murid Ba’asyir itu menyatakan kekecewaannya terhadap polisi.

Menurut mereka, pengamanan yang dilakukan polisi terlalu berlebihan. “Lihat itu, di atap-atap ada sniper. Seakan-akan kami ini berbahaya,” kata Muhammad Umar, murid Ba’asyir yang juga anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sambil mengarahkan telunjuk tangannya ke arah atap bangunan, tak jauh dari PN Jakarta Selatan. “Hei, itu sniper turun saja,” teriak Umar.

Hari itu (7/3) agenda sidang yang digelar adalah jawaban jaksa atas pembelaan Ba’asyir. Sidang sempat panas setelah salah seorang anggota kuasa hukum Baasyir, Munarman, bersitegang dengan jaksa penuntut. Umar mengatakan, demi memberikan dukungan kepada gurunya, hari itu (7/3) dia tiba di Jakarta sejak subuh. Pria 27 tahun itu datang dengan 50 orang temannya dari Solo.

Dua jam sebelum sidang dimulai (pukul 10.00), Umar dan teman-temannya yang juga murid Ba”asyir sudah tiba di depan PN Jaksel. Semula mereka berniat masuk ke ruang sidang. Tapi, upayanya gagal. “Ada orang-orang misterius yang sudah duduk di kursi pengunjung,” katanya.

Selama persidangan, Umar selalu waspada dan memasang telinga tajam-tajam. Setiap kali Ba”asyir atau pengacaranya menyebut polisi dan Densus 88 Antiteror musuh Allah, Umar dan puluhan rekannya membalas dengan pekikan Allahu akbar. Umar menjelaskan, keputusannya dengan beberapa rekannya sesama anggota JAT datang ke Jakarta adalah bentuk dukungan. “Dukungan dari seorang murid kepada guru atau ustadnya,” paparnya.
Dia sangat kecewa karena guru yang sudah mendidiknya ilmu agama itu didakwa sebagai otak dan penggerak pelatihan teroris.

Berangkat dari Solo ke ibu kota, Umar merogoh kocek sendiri. “Kami menggunakan bus. Kami mulai menabung sejak ustad kali pertama ditangkap,” katanya. Ba”asyir ditangkap di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, 9 Agustus 2010.
Untuk datang ke Jakarta, Umar mengatakan perlu sedikit perjuangan. Terutama persoalan ongkos transportasi. Dia menjelaskan, meluncur dari Ngruki ke Jakarta menggunakan bus dan kereta api.

Umar mengatakan, dirinya cukup beruntung karena tidak mengalami kesulitan soal kuangan. Beberapa rekannya mengaku meniru gaya suporter Persebaya Surabaya ketika datang ke Jakarta. Bondo nekat alias bonek. “Motivasi utama, kami harus bisa datang dan memberikan semangat kepada ustad, guru kami,” tandas Umar.

Dia memaparkan, beberapa rekannya ada yang berbekal pinjaman dari rekan lain untuk bisa meluncur di Jakarta. Atau, menumpang kenalan yang akan berangkat ke Jakarta. “Ada yang ikut truk,” katanya.

Tiba di Jakarta, mereka tidak menginap atau beristirahat di hotel. Sebaliknya, mereka menumpang meluruskan kaki di rumah anggota JAT yang tidak jauh dari PN Jakarta Selatan. Misalnya, di kawasan Blok M dan Mampang.
Kondisi keuangan yang pas-pasan tersebut dibenarkan oleh Direktur JAT Media Center Son Hadi. Bahkan, untuk menambah pemasukan organisasi, para aktivis JAT hari itu (7/3) menjual fotokopi materi eksepsi Ba”asyir. Materi setebal 120 halaman itu dijual Rp20 ribu kepada wartawan lokal maupun wartawan asing yang meliput sidang.

Sonhadi memimpin JAT Media Center yang tugasnya memantau setiap detik persidangan Ba”asyir. Setiap kali persidangan, mereka membuka gerai JAT Media Center, persis di depan PN Jakarta Selatan. “Kami mencatat secara detail lika-liku persidangan,” katanya. Hasilnya di antaranya diunggah ke situs www.ansharuttauhid.com.
Sonhadi menjelaskan, selama menempuh pendidikan di JAT dia mendapatkan ilmu tentang berbagi bersama. “Kami ibarat satu keluarga,” katanya.

Menurut Sonhadi, JAT tidak tepat jika disebut organisasi massa seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Hadi lebih suka JAT disejajarkan dengan jamaah tabligh yang sering keliling masjid. Atau jamaah-jamaah dakwah yang tersebar di kampung-kampung.

JAT didirikan Ba’asyir setelah menyatakan keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada September 2008. Setelah sang amir dipenjara, aktivitas JAT tidak langsung otomatis terhenti. “Dakwah-dakwah berkala tetap ada. Pesantren juga masih jalan,” tandas Hadi.

Terkait dengan penjagaan polisi, Hadi mengatakan sudah terlalu kelewatan. “Kami punya tim yang mengawasi orang-orang misterius. Bahkan ada yang berjilbab, itu sudah kami rekam video,” katanya.
Bagaimana bisa tahu? “Kami terlatih membedakan. Gerak-geriknya kan kelihatan. Kalau tidak biasa pakai kerudung pasti kikuk,” katanya.

Dia menjamin, anggota JAT yang setiap persidangan memadati halaman PN Jakarta Selatan tidak akan berbuat anarkis. Apalagi, sampai melawan polisi yang dilengkapi persenjataan lengkap. “Lalu mengapa harus ada sniper?” katanya.

Di antara anggota JAT yang datang ke persidangan tak sedikit yang membawa istri dan anak-anaknya. Karena itu, untuk berbuat kekerasan harus berpikir seribu kali. Pasalnya, hal itu bisa berbalik membahayakan anggota keluarga mereka. “Kami juga punya tim khusus untuk antisipasi provokasi,” katanya.(jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/