27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Alumni SMAN 1 Medan Itu Ahli Retakan Pesawat

Rumah sederhana di Jalan Gempol Wetan 117 Bandung tampak sudah ramai. Rekan dan kerabat Kornel M Sihombing berharap-harap cemas. Mereka menonton televisi, mencari tahu nasib Alumni SMAN 1 Medan tersebut.

Ya, Kornel merupakan seorang penumpang yang ikut dalam demo flight Sukhoi, Rabu lalu. Pesawat tersebut hilang kontak dan hingga kini masih dalam proses pencarian.

Kornel Sihombing memang sosok prestius. Dua tahun pertama ditempuhnya di SMANSA Medan, tapi memilih lulus dari SMAN 7 Bandung. Dia masuk ITB Jurusan Teknik Mesin angkatan 1983.  Menimba magister penerbangan di Delft University of Technology, Belanda dengan spesialisasi langka: fiber metal laminate. Ilmu komposisi material soal prediksi retakan pesawat. Kendati PT Dirgantara Indonesia (DI) berantakan sepeninggal Habibie, dia menolak tawaran ke Jerman seperti kawan-kawannya yang lain.

Saat PT DI ‘tenggelam’ karena kekurangan dana, Kornel, yang saat itu menjadi Manajer Program di British Aerospac, terlibat merancang ketiak pesawat untuk Airbus A380. Ini proyek pembuatan pesawat penumpang paling ambisius yang pernah ada sebab superbesar dan supercanggih.

PT DI yang dulu dikenal sebagai PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)-memang punya peran dalam mencetak sejarah baru A380. Ketiak sayap ini adalah salah satu komponen yang paling rumit pada pe-sawat karena fungsinya menyambungkan sayap dengan badan pesawat.

Apalagi, sayap Airbus A380 ini adalah sayap terpanjang dibanding rival terdekatnya Boeing 747-400. Meski semua bahan baku serta desainnya didatangkan langsung dari British Aerospace, Inggris, membuat sambungan sayap itu bukan perkara enteng. Tingkat kesulitannya sangat tinggi,” kata Kornel seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 25 Juli 2005. ‘’Untuk mengukur ketepatan dimensi setiap bagian komponen dengan mesin, harus bolak-balik sampai tiga, bahkan lima kali, mengukur,” katanya.

Kisah Kornel tak berhenti di sini. Meskipun dia sempat mendapat tawaran ke Jerman akibat nasib perusahannya yang ‘’gunjang-ganjing’’, Kornel terus setia bersama PT DI. Terakhir dia menerima  jabatan Manajer Kualitas dan Pengembangan Produk PT Dirgantara. Padahal, ilmu yang ditimba Kornel tergolong langka. Ketika bergabung dengan Dirgantara pada tahun 1991, ia ditempatkan sebagai Kepala Bidang Metallic Material, di bawah naungan Grup Material Process Technology. Bagian ini mengurusi bahan-bahan material penyusun bodi pesawat.

Pada 1997, Kornel mendapat ikatan dinas dari Dirgantara untuk belajar materi pesawat terbang di Delft University of Technology, Belanda. ‘’Saya khusus mempelajari fiber metal laminate,’’ katanya seperti dikutip dari Majalah Gatra edisi 21 Juli 2003. Ilmu komposisi material pesawat yang dipilih Kornel itu cukup penting. ‘’Kita tidak pernah tahu kapan badan pesawat bisa retak,’’ ujarnya. Nah, subjek yang dipelajari Kornel adalah untuk mengantisipasi kapan keretakan itu terjadi.

Eh, begitu studinya selesai pada 1999, Kornel justru bersedih. Grup Material Process-nya ternyata sudah bubar. ‘’Ketika itu tidak ada dana, dan Dirgantara tidak mengembangkan jenis pesawat baru,’’ katanya. Apa boleh buat, Kornel pun menjadi manajer kualitas tadi. ‘’Ngapain capek-capek mengirim orang belajar begitu detail. Padahal prospek bisnisnya tidak ada,’’ dia menambahkan.

Kornel mencoba tetap bertahan. ‘’Komitmen saya, tidak mau kabur,’’ katanya. Kornel berterus terang, tiga teman seangkatannya yang alumnus Delft sudah memilih bekerja di luar negeri. Dua orang bekerja di Singapura sebagai ahli failure analysis, sedangkan seorang lagi di Malaysia.

Minta Diajari Main Golf

Sebelum ikut terbang bersama Sukhoi Rabu lalu, Kornel ternyata sempat minta diajari sang kakak, Chandra Sihombing untuk bermain golf akhir pekan lalu. Chandra menceritakan, adiknya menghubunginya via telepon, minta diajari golf karena Direktur Keuangan PT Dirgantara Indonesia kerap mengajaknya bermain.

“Tapi, dia (Kornel) bilang pegang stik golf saja tidak pernah. Lalu dia ngajak saya ketemu minta diajarin main golf,”  kata Chandra, kepada wartawan, Kamis (10/5), di Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Selain itu, kata Chandra, Kornel juga bertanya kepadanya via blackberry massenger (BBM) soal waktu three in one di DKI Jakarta. Lantas Chandra pun memberitahukan kepada Kornel soal waktu ‘’three in one’’ itu.

Kornel menetap di Bandung Jawa Barat. Chandra di Jakarta. Keduanya sama-sama kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kornel merupakan anak keempat dari enam bersaudara. “Orangnya kocak, lucu,” kata Chandra. Ia tak menduga akan terjadi kecelakan SSJ 100 itu. “Shock juga sih, karena adik saya menyenangi dunia penerbangan,” imbuh Chandra.

Kini Chandra dan keluarga berharap, penumpang SSJ 100 termasuk Kornel bisa segera dievakuasi. “Harapannya selamat, (karena) ada yang survive dari kecelakaan,” imbuh Chandra. (bbs/jpnn)

Rumah sederhana di Jalan Gempol Wetan 117 Bandung tampak sudah ramai. Rekan dan kerabat Kornel M Sihombing berharap-harap cemas. Mereka menonton televisi, mencari tahu nasib Alumni SMAN 1 Medan tersebut.

Ya, Kornel merupakan seorang penumpang yang ikut dalam demo flight Sukhoi, Rabu lalu. Pesawat tersebut hilang kontak dan hingga kini masih dalam proses pencarian.

Kornel Sihombing memang sosok prestius. Dua tahun pertama ditempuhnya di SMANSA Medan, tapi memilih lulus dari SMAN 7 Bandung. Dia masuk ITB Jurusan Teknik Mesin angkatan 1983.  Menimba magister penerbangan di Delft University of Technology, Belanda dengan spesialisasi langka: fiber metal laminate. Ilmu komposisi material soal prediksi retakan pesawat. Kendati PT Dirgantara Indonesia (DI) berantakan sepeninggal Habibie, dia menolak tawaran ke Jerman seperti kawan-kawannya yang lain.

Saat PT DI ‘tenggelam’ karena kekurangan dana, Kornel, yang saat itu menjadi Manajer Program di British Aerospac, terlibat merancang ketiak pesawat untuk Airbus A380. Ini proyek pembuatan pesawat penumpang paling ambisius yang pernah ada sebab superbesar dan supercanggih.

PT DI yang dulu dikenal sebagai PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)-memang punya peran dalam mencetak sejarah baru A380. Ketiak sayap ini adalah salah satu komponen yang paling rumit pada pe-sawat karena fungsinya menyambungkan sayap dengan badan pesawat.

Apalagi, sayap Airbus A380 ini adalah sayap terpanjang dibanding rival terdekatnya Boeing 747-400. Meski semua bahan baku serta desainnya didatangkan langsung dari British Aerospace, Inggris, membuat sambungan sayap itu bukan perkara enteng. Tingkat kesulitannya sangat tinggi,” kata Kornel seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 25 Juli 2005. ‘’Untuk mengukur ketepatan dimensi setiap bagian komponen dengan mesin, harus bolak-balik sampai tiga, bahkan lima kali, mengukur,” katanya.

Kisah Kornel tak berhenti di sini. Meskipun dia sempat mendapat tawaran ke Jerman akibat nasib perusahannya yang ‘’gunjang-ganjing’’, Kornel terus setia bersama PT DI. Terakhir dia menerima  jabatan Manajer Kualitas dan Pengembangan Produk PT Dirgantara. Padahal, ilmu yang ditimba Kornel tergolong langka. Ketika bergabung dengan Dirgantara pada tahun 1991, ia ditempatkan sebagai Kepala Bidang Metallic Material, di bawah naungan Grup Material Process Technology. Bagian ini mengurusi bahan-bahan material penyusun bodi pesawat.

Pada 1997, Kornel mendapat ikatan dinas dari Dirgantara untuk belajar materi pesawat terbang di Delft University of Technology, Belanda. ‘’Saya khusus mempelajari fiber metal laminate,’’ katanya seperti dikutip dari Majalah Gatra edisi 21 Juli 2003. Ilmu komposisi material pesawat yang dipilih Kornel itu cukup penting. ‘’Kita tidak pernah tahu kapan badan pesawat bisa retak,’’ ujarnya. Nah, subjek yang dipelajari Kornel adalah untuk mengantisipasi kapan keretakan itu terjadi.

Eh, begitu studinya selesai pada 1999, Kornel justru bersedih. Grup Material Process-nya ternyata sudah bubar. ‘’Ketika itu tidak ada dana, dan Dirgantara tidak mengembangkan jenis pesawat baru,’’ katanya. Apa boleh buat, Kornel pun menjadi manajer kualitas tadi. ‘’Ngapain capek-capek mengirim orang belajar begitu detail. Padahal prospek bisnisnya tidak ada,’’ dia menambahkan.

Kornel mencoba tetap bertahan. ‘’Komitmen saya, tidak mau kabur,’’ katanya. Kornel berterus terang, tiga teman seangkatannya yang alumnus Delft sudah memilih bekerja di luar negeri. Dua orang bekerja di Singapura sebagai ahli failure analysis, sedangkan seorang lagi di Malaysia.

Minta Diajari Main Golf

Sebelum ikut terbang bersama Sukhoi Rabu lalu, Kornel ternyata sempat minta diajari sang kakak, Chandra Sihombing untuk bermain golf akhir pekan lalu. Chandra menceritakan, adiknya menghubunginya via telepon, minta diajari golf karena Direktur Keuangan PT Dirgantara Indonesia kerap mengajaknya bermain.

“Tapi, dia (Kornel) bilang pegang stik golf saja tidak pernah. Lalu dia ngajak saya ketemu minta diajarin main golf,”  kata Chandra, kepada wartawan, Kamis (10/5), di Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Selain itu, kata Chandra, Kornel juga bertanya kepadanya via blackberry massenger (BBM) soal waktu three in one di DKI Jakarta. Lantas Chandra pun memberitahukan kepada Kornel soal waktu ‘’three in one’’ itu.

Kornel menetap di Bandung Jawa Barat. Chandra di Jakarta. Keduanya sama-sama kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kornel merupakan anak keempat dari enam bersaudara. “Orangnya kocak, lucu,” kata Chandra. Ia tak menduga akan terjadi kecelakan SSJ 100 itu. “Shock juga sih, karena adik saya menyenangi dunia penerbangan,” imbuh Chandra.

Kini Chandra dan keluarga berharap, penumpang SSJ 100 termasuk Kornel bisa segera dievakuasi. “Harapannya selamat, (karena) ada yang survive dari kecelakaan,” imbuh Chandra. (bbs/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/