SUMUTPOS.CO – Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendapatkan informasi soal gas air mata yang ditembakkan saat tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, sudah kedaluwarsa. Hal ini sebagaimana disampaikan Komisoner Komnas HAM, Choirul Anam, kepada wartawan pada Senin, (10/10).
“Iya jadi soal yang apa (gas) kedaluwarsa itu informasinya memang kita dapatkan. Tapi memang perlu pendalaman,” kata Anam.
Ia menegaskan, yang menjadi pemicu utama atas tragedi Kanjuruhan tersebut, yakni gas air mata. Karena, dengan adanya gas air mata itu membuat para suporter menjadi panik.
“Dinamika di lapangan itu pemicu utama memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan, sehingga banyak suporter atau Aremania yang turun berebut untuk masuk ke pintu keluar dan berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah nafas dan lain sebagainya,” tegasnya.
Kemudian, lanjutnya, pintunya yang terbuka juga pintu kecil. Sehingga berhimpit-himpitan. “Jadi eskalasi yang harusnya sudah terkendali ya, kalau kita lihat dengan cermat itu kan terkendali sebenarnya terkendali, tetapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Lah gas air mata ini lah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban,” ujarnya.
Sementara itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia membenarkan ada gas air mata sudah kedaluwarsa saat kericuhan suporter di Stadion Kanjuruhan. Namun, efek ditimbulkan dari cairan kimia itu berkurang dibanding yang masih berlaku.
“Ada beberapa yang ditemukan (gas air mata) pada tahun 2021, saya masih belum tahu jumlahnya, tetapi ada beberapa,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/10).
Meski belum diketahui berapa jumlah gas air mata kedaluwarsa yang digunakan saat kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Dedi memastikan sebagian besar gas air mata atau (chlorobenzalmalononitrile/CS) pada saat itu adalah gas air mata yang masih berlaku dengan jenis CS warna merah dan biru.
Jenderal polisi bintang dua itu menyebutkan ada tiga jenis gas air mata yang digunakan oleh personel Brimob di seluruh Indonesia, yakni warna merah, biru, dan hijau. Penggunaannya pun diatur sesuai dengan eskalasi massa dan tingkat kontijensi yang terjadi.
Gas air mata warna hijau yang digunakan pertama berupa smoke (asap), saat ditembakkan terjadi ledakan di udara yang berisi asap putih. Gas air mata kedua berwarna biru untuk menghalau massa bersifat sedang. “Jadi, kalau klaster dalam jumlah kecil digunakan gas air mata tingkat sedang,” katanya.
Gas air mata warna merah, lanjut dia, untuk mengurangi massa dalam jumlah besar. “Jadi, mengutip kata pakar, semua tingkatan ini, CS atau gas air mata dalam tingkat tertinggi pun tidak ada yang mematikan,” ujar Dedi.
Mengenai gas air mata kedaluwarsa, Dedi menyebutkan setiap gas air mata mempunyai batas waktu penggunaan. Namun, berbeda dengan kedaluwarsa pada makanan yang menimbulkan jamur dan bakteri hingga bisa mengganggu kesehatan.
Gas air mata yang berbahan dasar kimia, menurut dia, kebalikan dari sifat makanan. Ketika kedaluwarsa, kadar kimianya berkurang. Hal ini sama dengan efektivitas gas air mata ini ketika ditembakkan tidak bisa lebih efektif lagi.
Sedangkan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menyebutkan, penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa oleh polisi merupakan pelanggaran. “Tentu itu adalah penyimpangan, tentu itu adalah pelanggaran,” kata anggota TGIPF Rhenald Kasali di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (10/10).
Menurut dia, kepolisian sekarang ini bukan military police atau bukan polisi yang berbasis militer, melainkan civilian police. Oleh karena itu, penggunaan senjata seharusnya untuk melumpuhkan, bukan mematikan.
“Jadi, bukan senjata untuk mematikan, melainkan senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi, ini harus diperbaiki,” kata Rhenald Kasali.
Penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa merupakan salah satu kecurigaan tim pencari fakta. Itu sudah dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Ia mengungkapkan bahwa kecurigaan itu terlihat dari para korban yang matanya mulai menghitam dan memerah.
“Ini sedang dibahas di dalam (tim). Jadi, memang ada korban yang hari itu dia pulang tidak merasakan apa-apa, tetapi besoknya matanya mulai hitam. Setelah itu, matanya menurut dokter perlu waktu sebulan untuk kembali normal. Itu pun kalau bisa normal,” kata Rhenald Kasali.
Polri mengklaim penyebab kematian 131 penonton di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, bukan karena gas air mata. Mereka menegaskan, para korban yang meninggal disebabkan oleh kehabisan oksigen saat berusaha keluar dari stadion.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai ada 2 pihak yang pantas disalahkan atas kematian para suporter. Mereka yakni kepolisian dan security officer pertandingan.
“Satu anggota polisi yang melakukan kesalahan prosedur menembakan gas air mata, yang mendorong penonton lari menuju pintu gerbang terkunci dan terjadi penumpukan penonton sehingga kehabisan oksigen,” kata Sugeng saat dihubungi JawaPos.com, Senin (10/10).
Sugeng mengatakan, penembakan gas air membuat para suporter panik dan berdesakan keluar. Apesnya beberapa pintu keluar terkunci dari luar, sehingga para korban terjebak dalam kondisi berdesakan. Artinya, polisi tetap punya andil salah dalam kejadian ini karena mereka yang menembakkan gas air mata, meskipun gas air mata tersebut tidak secara langsung membunuh para korban.
Oleh karena itu, baik polisi maupun security officer dianggap sama-sama bersalah dan bisa dipidana.”Sama-sama bertanggung jawab,” jelasnya.
Sugeng menjelaskan, apabila gas air mata tidak ditembakan, maka kerusuhan bisa diminimalisasi meskipun pintu terkunci. Begitu pula sebaliknya, apabila pintu tidak terkunci lalu gas air mata ditembakan, potensi jatuhnya korban bisa ditekan.
Sebelumnya, kerusuhan pecah usai laga Arema Malang melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (2/10). Pertandingan itu berakhir dengan skor akhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya dan menjadi kekalahan kandang pertama Arema dari klub Surabaya itu dalam 23 tahun terakhir.
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri mencatat data sementara jumlah korban meninggal dunia mencapai 131 orang. Selain korban tewas, insiden kemanusiaan itu melukai lebih dari 700 orang. Para korban mengalami luka-luka karena terinjak, patah tulang, dislokasi, engsel lepas, mata perih, dan kadar oksigen rendah.
Sebelumnya, kerusuhan pecah usai laga Arema Malang melawan Persebaya Surabaya, Sabtu (2/10). Pertandingan itu berakhir dengan skor akhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya dan menjadi kekalahan kandang pertama Arema dari klub Surabaya itu dalam 23 tahun terakhir.
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri mencatat data sementara jumlah korban meninggal dunia dalam tragedi kericuhan Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, sudah mencapai 131 orang.
Selain korban tewas, insiden kemanusiaan itu melukai lebih dari 700 orang. Para korban mengalami luka-luka karena terinjak, patah tulang, dislokasi, engsel lepas, mata perih, dan kadar oksigen rendah.
Hari ini Dirut PT LIB Diperiksa Polisi
Salah satu tersangka tragedi Kanjuruhan akan diperiksa polisi hari ini, Selasa (11/10). Tersangka yang diperiksa adalah Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita. Kabar itu disampaikan Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Nico Afinta. Pemeriksaan akan dilakukan bersamaan dengan saksi lain oleh Bareskrim Polri.
“Terkait dengan pemeriksaan sampai sekarang masih ada pemeriksaan yang berjalan, baik dari anggota polres maupun polda yakni Brimob. Kemudian dari direktur LIB juga panpel akan direncanakan diperiksa pada Selasa (11/10),” ujar Nico dalam keterangannya, Senin (10/10).
Lanjut dia, sebanyak 19 anggota polisi juga akan diperiksa. Sejak kemarin, para saksi telah diperiksa. Pemeriksaan saksi itu sebagai upaya melengkapi hasil penyidikan. Pihaknya berkoordinasi dengan kejaksaan, kemudian akan diajukan persidangan.
“Di luar itu ada 19 anggota kami yang dilakukan pemeriksaan kode etik. Dan kami akan terus mendata kondisi korban yang masih dirawat secara periodik setiap hari. Semoga korban bisa sembuh dan menjalankan aktivitas kembali,” papar Nico.
Sebelumnya, enam tersangka tragedi Kanjuruhan belum ditahan polisi. Padahal, nama-nama para tersangka telah diumumkan pada Kamis (6/10).
Keenam tersangka itu adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) Akhmad Hadian Lukita, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, kemudian Danki Brimob Polda Jatim AKP Has Darman, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, Ketua Panpel Arema Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyebut, penahanan keenam tersangka tengah disiapkan. Beberapa di antaranya adalah proses pencekalan. Proses itu mengantisipasi agar tidak ada tersangka yang melarikan diri ke luar negeri.
“Belum (ditahan). Minggu depan diperiksa kembali, dipanggil kembali. Langkah-langkah teknis sudah diterapkan (untuk jaminan tidak kabur),” ujar Dedi, Jumat (7/10). Rencananya, keenam tersangka diperiksa dimintai keterangan terkait keterlibatannya dalam tragedi yang menewaskan 131 suporter Arema.
“Tim juga melakukan menyiapkan pemanggilan enam tersangka. Akan dilaksanakan pemeriksaan tambahan minggu depan,” ungkap Dedi.(jpc)