28 C
Medan
Saturday, December 6, 2025

Komjen Polisi Budi Gunawan Berlabel Merah

Komjen Polisi Budi Gunawan
Komjen Polisi Budi Gunawan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mantan Kepala PPATK Yunus Husein membuka borok Budi Gunawan. Saat dihubungi semalam, semangat pemberantasan korupsi yang sudah melekat pada pemilihan eselon 1 dan 2 harusnya bisa digunakan juga untuk memilih Kapolri. Apalagi Budi Gunawan, kata dia, pernah diusulkan menjadi menteri dan gagal.

“Calon Kapolri sekarang pernah diusulkan menjadi menteri, tetapi waktu pengecekan info di PPATK dan KPK, yang bersangkutan mendapat rapor merah atau tidak lulus,” jelasnya.

Yunus mengatakan tetap menghormati hak prerogatif presiden untuk mengangkat jaksa agung dan Kapolri, tetapi Jokowi diharapkan tidak melupakan Nawa Cita. Seperti diketahui, mantan Gubernur DKI Jakarta itu berjanji untuk mengangkat pajabat yang berintegritas baik. Nah, untuk mengetahui integritas itu tidak bisa diputuskan Jokowi seorang diri.

“Bisa meminta info dari masyarakat, KPK, PPATK, Dirjen Pajak, Komnas HAM dan lainnya,” imbuhnya. Dia berharap, Jokowi tidak mengulangi langkah saat memilih Jaksa Agung H M Prasetyo yang tidak melibatkan unsur-unsur itu. Kalau cara itu kembali dilakukan, bisa dipastikan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada presiden, pemerintah, dan Polri.

“Menurutnya, rugi kalau pemerintah dan Polri tidak memenangkan dukungan masyarakat. Tugas yang dijalankan Korps Bhayangkara dipastikan tidak berjalan dengan baik. Dia menyarankan agar Presiden Jokowi mempertimbangkan matang-matang langkahnya. “Tidak tunduk pada tekanan politisi dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi atau golongan,” katanya.

Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai, pengajuan nama Budi sebagai calon Kapolri terkesan janggal dan terburu-buru. Terlebih, kebijakan Jokowi ini diambil dengan tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam proses pertimbangan calon Kapolri. Meski tidak diwajibkan oleh undang-undang, keterlibatan KPK dan PPATK adalah pintu masuk seleksi pejabat publik yang berintegritas.

“Presiden Joko Widodo telah mengesampingkan prinsip kehatihatian dan pertimbangan integritas dalam pemilihan calon Kapolri ini,” kata Ronald.

Ronald menilai, Presiden Jokowi seharusnya ingat pada komitmen dalam visi-misinya sendiri. Visi-Misi Joko Widodo-Jusuf Kalla jelas menuliskan komitmen untuk memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan komit pada penegakan hukum. Proses pemilihan yang akuntabel dan berintegritas baik sangatlah penting.

“Masih ada banyak pertanyaan terhadap figur calon Kapolri yang diajukan Presiden. Besarnya peningkatan harta kekayaan Komjen Budi Gunawan yang tertera dalam LHKPN (Pada 2008 sebesar Rp 4,6 miliar, namun pada 2013 melejit menjadi Rp 22,6 miliar) menimbulkan pertanyaan dan dugaan publik mengenai keterlibatannya dalam kasus rekening gendut,” ujarnya.

Ronald menyatakan, bila Jokowi tidak menarik surat pengajuan Budi kepada DPR, maka harapan publik akan berada di tangan para anggota dewan. DPR seharusnya tidak begitu saja menerima usulan calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dalam waktu 20 (dua puluh) hari, DPR dapat menyetujui atau tidak menyetujui usulan calon Kapolri dari Presiden.

“Kami mendorong agar DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan secara optimal. Ini adalah waktu yang tepat bagi DPR untuk menunjukkan komitmennya terhadap masa depan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.,” jelasnya.

Berbeda, Indonesia Police Watch (IPW) justru mempertanyakan sikap KPK maupun sejumlah LSM yang meributkan masalah rekening gendut perwira kepolisian. Ketua Presidium IPW Neta S Pane menyatakan kalau sikap tersebut telah memunculkan kesan kalau KPK menjadikan Polri sebagai musuh abadi.

Padahal, menurut dia, yang dibutuhkan saat ini adalah koordinasi dan kerjasama yang baik antara lembaga antirasuah tersebut dan kepolisian. Terutama, dalam hal memberantas masalah korupsi.

“Tapi ya itu tadi, yang heran selalu saja ketika mau ada pemilihan kapolri, isu rekening gendut ini yang selalu dimunculkan KPK. Apa maksud mereka, saya tidak paham,” kata Neta.

Meski demikian, dia menangkap ada kemungkinan upaya selalu mengungkit kasus tersebut hanya untuk tujuan pembunuhan karakter sejumlah perwira tinggi kepolisian. Lebih lanjut, ada nuansa politik yang ikut menyertai. “Selama ini kalau KPK punya bukti, KPK kan pasti langsung melakukan penangkapan”kok. Tapi sampai sekarang, jangankan menangkap, memeriksa pun tidak pernah. Ini kan aneh,” bebernya.

Dia menyatakan, isu rekening gendut tersebut sudah bergulir sejak 2010. “Apa mereka (KPK, Red) tidak capek? masyarakat saja pasti lelah melihat atraksi yang seperti ini,” pungkasnya. (aph/bay/dim/idr/dyn/end/jpnn/rbb)aph/bay/dim/idr/dyn/end/jpnn/rbb)

Komjen Polisi Budi Gunawan
Komjen Polisi Budi Gunawan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mantan Kepala PPATK Yunus Husein membuka borok Budi Gunawan. Saat dihubungi semalam, semangat pemberantasan korupsi yang sudah melekat pada pemilihan eselon 1 dan 2 harusnya bisa digunakan juga untuk memilih Kapolri. Apalagi Budi Gunawan, kata dia, pernah diusulkan menjadi menteri dan gagal.

“Calon Kapolri sekarang pernah diusulkan menjadi menteri, tetapi waktu pengecekan info di PPATK dan KPK, yang bersangkutan mendapat rapor merah atau tidak lulus,” jelasnya.

Yunus mengatakan tetap menghormati hak prerogatif presiden untuk mengangkat jaksa agung dan Kapolri, tetapi Jokowi diharapkan tidak melupakan Nawa Cita. Seperti diketahui, mantan Gubernur DKI Jakarta itu berjanji untuk mengangkat pajabat yang berintegritas baik. Nah, untuk mengetahui integritas itu tidak bisa diputuskan Jokowi seorang diri.

“Bisa meminta info dari masyarakat, KPK, PPATK, Dirjen Pajak, Komnas HAM dan lainnya,” imbuhnya. Dia berharap, Jokowi tidak mengulangi langkah saat memilih Jaksa Agung H M Prasetyo yang tidak melibatkan unsur-unsur itu. Kalau cara itu kembali dilakukan, bisa dipastikan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada presiden, pemerintah, dan Polri.

“Menurutnya, rugi kalau pemerintah dan Polri tidak memenangkan dukungan masyarakat. Tugas yang dijalankan Korps Bhayangkara dipastikan tidak berjalan dengan baik. Dia menyarankan agar Presiden Jokowi mempertimbangkan matang-matang langkahnya. “Tidak tunduk pada tekanan politisi dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi atau golongan,” katanya.

Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai, pengajuan nama Budi sebagai calon Kapolri terkesan janggal dan terburu-buru. Terlebih, kebijakan Jokowi ini diambil dengan tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam proses pertimbangan calon Kapolri. Meski tidak diwajibkan oleh undang-undang, keterlibatan KPK dan PPATK adalah pintu masuk seleksi pejabat publik yang berintegritas.

“Presiden Joko Widodo telah mengesampingkan prinsip kehatihatian dan pertimbangan integritas dalam pemilihan calon Kapolri ini,” kata Ronald.

Ronald menilai, Presiden Jokowi seharusnya ingat pada komitmen dalam visi-misinya sendiri. Visi-Misi Joko Widodo-Jusuf Kalla jelas menuliskan komitmen untuk memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan komit pada penegakan hukum. Proses pemilihan yang akuntabel dan berintegritas baik sangatlah penting.

“Masih ada banyak pertanyaan terhadap figur calon Kapolri yang diajukan Presiden. Besarnya peningkatan harta kekayaan Komjen Budi Gunawan yang tertera dalam LHKPN (Pada 2008 sebesar Rp 4,6 miliar, namun pada 2013 melejit menjadi Rp 22,6 miliar) menimbulkan pertanyaan dan dugaan publik mengenai keterlibatannya dalam kasus rekening gendut,” ujarnya.

Ronald menyatakan, bila Jokowi tidak menarik surat pengajuan Budi kepada DPR, maka harapan publik akan berada di tangan para anggota dewan. DPR seharusnya tidak begitu saja menerima usulan calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dalam waktu 20 (dua puluh) hari, DPR dapat menyetujui atau tidak menyetujui usulan calon Kapolri dari Presiden.

“Kami mendorong agar DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan secara optimal. Ini adalah waktu yang tepat bagi DPR untuk menunjukkan komitmennya terhadap masa depan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.,” jelasnya.

Berbeda, Indonesia Police Watch (IPW) justru mempertanyakan sikap KPK maupun sejumlah LSM yang meributkan masalah rekening gendut perwira kepolisian. Ketua Presidium IPW Neta S Pane menyatakan kalau sikap tersebut telah memunculkan kesan kalau KPK menjadikan Polri sebagai musuh abadi.

Padahal, menurut dia, yang dibutuhkan saat ini adalah koordinasi dan kerjasama yang baik antara lembaga antirasuah tersebut dan kepolisian. Terutama, dalam hal memberantas masalah korupsi.

“Tapi ya itu tadi, yang heran selalu saja ketika mau ada pemilihan kapolri, isu rekening gendut ini yang selalu dimunculkan KPK. Apa maksud mereka, saya tidak paham,” kata Neta.

Meski demikian, dia menangkap ada kemungkinan upaya selalu mengungkit kasus tersebut hanya untuk tujuan pembunuhan karakter sejumlah perwira tinggi kepolisian. Lebih lanjut, ada nuansa politik yang ikut menyertai. “Selama ini kalau KPK punya bukti, KPK kan pasti langsung melakukan penangkapan”kok. Tapi sampai sekarang, jangankan menangkap, memeriksa pun tidak pernah. Ini kan aneh,” bebernya.

Dia menyatakan, isu rekening gendut tersebut sudah bergulir sejak 2010. “Apa mereka (KPK, Red) tidak capek? masyarakat saja pasti lelah melihat atraksi yang seperti ini,” pungkasnya. (aph/bay/dim/idr/dyn/end/jpnn/rbb)aph/bay/dim/idr/dyn/end/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru