JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) berkali-kali, sempat menimbulkan kontroversi. Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menekankan bahwa berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009, ada batasan dalam pengajuan PK oleh pihak yang berperkara. “Surat itu yang memberikan batasan berapa kali PK dilakukan pihak berperkara,” katanya ditemui di Kantor Wapres, kemarin (11/3).
Hatta mengakui ada pengecualian-pengecualian yang dilakukan MA terkait pengajuan PK. Merujuk pada UU KUHAP, pengajuan PK memang hanya bisa dilakukan sekali. Namun, pihaknya memberi pengecualian bahwa jika terjadi pertentangan hukum antara satu dengan yang lain, maka pihak berperkara bisa kembali mengajukan PK.
“Di sini Mahkamah Agung lebih bijaksana, bisa memahami bagaimana hukum hidup. Seandainya terjadi pertentangan putusan antara satu dengan yang lain, itu bisa, yang kedua kalinya (mengajukan PK),”paparnya.
Meski begitu, Hatta mengingatkan bahwa pengajuan PK untuk yang kedua kalinya akan jauh lebih sulit dibanding yang pertama. Sebab, PK pertama diajukan karena memang ada novum (bukti baru) atau ada kekeliruan hakim dalam memutus perkara. Sehingga, peluang bagi PK pertama cukup besar.
“PK pertama aja dia harus membuktikan dulu ini, ada nggak novum baru, ada nggak kekhilafan nyata dari hakim didalam memutus kasasinya. Kalau itu semua nggak ada, semestinya PK pertama tidak dimungkinkan. Apalagi kita sudah bijaksana lagi sampai kedua. Tapi syaratnya lebih ketat, selain syarat novum itu tadi, apabila ada pertentangan putusan,”urainya.
Karena itu, pihaknya juga mengkhawatirkan putusan MK yang tidak menyebutkan adanya batasan pengajuan PK. Jika dasar putusan MK adalah Hak Asasi Manusia (HAM), maka putusan tersebut juga berlaku bagi hukum perdata. Sehingga, batas pengajuan PK menjadi tidak jelas. Padahal, setiap pihak yang berperkara membutuhkan kepastian hukum.
“Kalau dia mengajukan perdata juga, itu kan hak asasi manusia. Nah sampai kapan. Siapa yang kalah PK, ini lawannya lagi, PK. Sampai kapan, kan tidak ada habisnya. Sedangkan, orang memperoleh keadilan itu harus ada suatu kepastian hukum. Kalau tidak ada kepastian hukum, bagaimana ada keadilan,”jelasnya. (Ken)