26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Terpaksa Tidur di Tepi Jurang Sedalam 750 Meter

Sulitnya Menembus Lokasi Jatuhnya Pesawat Sukhoi di Gunung Salak

Keinginan menyajikan hasil liputan terbaik untuk pembaca membuat wartawan foto Jawa Pos (grup Sumut Pos) Raka Deny Respati nekat mendaki puncak Gunung Salak Kamis lalu (10/5). Bersama sembilan jurnalis dan seorang anggota Basarnas, dia mencoba menemukan lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100. Berikut cerita bapak seorang anak itu.

Begitu mendengar informasi dari Basarnas tentang koordinat kontak terakhir Sukhoi di Gunung Salak, saya dan sembilan wartawan foto dari beberapa media bergegas menuju Desa Cidahu, Sukabumi. Cidahu dipilih sebagai titik awal pencarian karena berdasar penjejak global positioning system (GPS), koordinat 6 derajat 43 menit 8 detik lintang selatan dan 106 derajat 43 menit 15 detik bujur timur berada di sekitar Bumi Perkemahan Batu Tapak di Cidahu.

Namun, begitu sampai di Cidahu sekitar pukul 08.00 WIB, informasi dari warga Cidahu menyebutkan lokasi penemuan bangkai pesawat lebih dekat bila ditempuh melalui Desa Cipelang di Kecamatan Cijeruk, Bogor. Desa di kaki Gunung Salak tersebut berjarak sekitar 10 kilometer dari Cidahu.

Sekitar pukul 11.00 WIb, saya dan rombongan wartawan didampingi seorang anggota Basarnas bernama Danang memutuskan naik ke puncak Gunung Salak Dua melalui jalur Kampung Pogor. Berdasar informasi warga pula, lokasi jatuhnya Sukhoi tidak terlalu jauh dari Cipelang, hanya sekitar tiga jam perjalanan darat. Berbekal informasi tersebut, kami memutuskan untuk mendaki gunung itu tanpa persiapan logistik yang cukup. Perkiraan kami, kalau hanya tiga jam, rombongan  masih bisa naik, ambil gambar sebentar, lantas turun lagi sebelum malam.

Benar kata orang, jangan pernah percaya jarak kalau yang menyebutkan warga setempat, apalagi orang gunung. Penguasaan medan dan kekuatan mereka jauh lebih baik daripada orang awam, pendaki amatiran seperti para wartawan.

Setelah mendaki Gunung Salak Dua selama tiga jam, ternyata kami baru sampai puncak Gunung Salak Empat. Masih dua jam lagi untuk sampai di puncak Gunung Salak Tiga. Belum sampai ke puncak Gunung Salak Dua, apalagi satu. Jadi, pasti masih berjam-jam lagi sampainya. Tidak sekitar tiga jam perjalanan seperti dituturkan warga.

Medan yang kami lalui sangat curam. Jalur pendakian hanya selebar badan, kiri kanan jurang yang tertutup perdu. Kalau bergeser sedikit saja dari jalur pendakian, kami tidak tahu itu masih tanah atau sudah jurang. Untung kemarin tidak hujan. Kalau hujan, pasti minta ampun licinnya.
Selepas dari puncak Gunung Salak Tiga menuju Gunung Salak Dua ternyata tidak ada jalur pendakian. Saya dan teman-teman terpaksa membuka jalur baru. Karena tidak membawa senjata tajam, kami terpaksa menggunakan tas kamera untuk menyibak ilalang dan ranting-ranting pohon. Kabut yang mulai turun mengakibatkan jarak pandang jadi terbatas, sementara posisi kami berada di bibir jurang.

Saat itu, pendakian kami sudah lumayan tinggi. Tapi tanggung. Kami sudah di ketinggian 1.940 meter dari permukaan laut. Informasi yang kami terima, posisi pesawat Sukhoi di ketinggian 2.086 meter. Kalau kami turun, jarak terlalu jauh; tapi kalau mau naik lagi, kami tidak membawa perbekalan dan persiapan yang cukup.

Menjelang Magrib, air minum dan makanan kecil yang kami bawa sudah habis. Tidak ada sumber air yang ditemui di sepanjang perjalanan. Jalur menuju puncak Salak Dua memang terkenal tanpa sumber air. Karena itu, jalur tersebut kerap digunakan para pecinta alam untuk melakukan latihan bertahan hidup di hutan (jungle survival), bukan untuk pendakian menuju puncak (summit attack).

Pendakian menuju puncak Gunung Salak yang lazim digunakan para pendaki umumnya melalui jalur Cidahu menuju puncak Gunung Salak Satu. Selain lebih landai, di jalur tersebut juga banyak terdapat sumber air, bahkan air terjun kecil.

Sementara itu, tebing yang curam, elevasi 85 derajat, membuat tidak ada jalur pendakian dari Gunung Salak Dua menuju dinding tebing timur Gunung Salak Satu yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi.

Akhirnya, hari benar-benar gelap, tidak ada yang membawa senter. Untuk  menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami mau tidak mau menginap di punggung Gunung Salak Dua. Kabut tebal dan hawa dingin khas puncak gunung sangat menyiksa kami. Apalagi tidak ada yang membawa jaket gunung, tenda, maupun sleeping bag. Air minum dan makanan juga sudah habis sejak sore.

Mau bagaimana lagi, kami harus bertahan dengan kondisi apa adanya hingga esok paginya (kemarin). Kaki menjuntai ke jurang, punggung menempel di tebing. Hanya ada celah kecil memanjang selebar setengah meter yang kami gunakan untuk base camp. Setengah meter dipakai empat orang. Empat orang lagi membuat base camp di tempat yang sedikit lebih tinggi.

Jumat pagi, sekitar pukul 06.00, hawa dingin mulai berkurang. Kabut tebal yang semalam menutupi pegunungan juga berangsur menghilang. Tebing timur-utara Gunung Salak Satu yang menjadi tempat jatuhnya pesawat samar-samar terlihat dari tebing Gunung Salak Dua yang menjadi flying base camp kami.

Sebenarnya, keberadaan kami hanya terpisah jurang selebar sekitar 300 meter dari tebing TKP (tempat kejadian perkara). Namun, kedalaman jurang yang memisahkan Gunung Salak Dua dan Salak Satu diperkirakan 750 meter. Kemiringan kedua tebing mencapai 85 derajat, hampir tegak lurus. Karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mendekati crash area tanpa peralatan rappelling, kami memutuskan naik ke  tempat yang lebih tinggi untuk mengambil gambar.

Dari tempat yang lebih tinggi itulah, kami bisa melihat dengan jelas pesawat buatan Rusia yang hancur berkeping-keping setelah menerjang tebing Gunung Salak Satu. Tidak terlihat lagi bagian moncong dan badan pesawat. Hanya sedikit bagian ekor yang tersisa. Dari jauh tidak tampak tanda-tanda kehidupan, baik korban maupun tim penyelamat yang sudah sampai di lokasi.

Danang dari Basarnas yang menyertai kami memberikan pilihan. Bila hendak membuka jalur dengan memutari punggung bukit berbentuk U itu, diperkirakan butuh waktu satu-dua hari. Sementara, potong kompas dengan menuruni jurang tanpa tali mustahil dilakukan karena berupa tebing tegak lurus.
“Dengan pertimbangan logistik sudah benar-benar habis, lebih baik kita balik-kanan. Kalau memaksakan diri, bisa jadi justru kita yang dievakuasi tim SAR, bukan pesawatnya,” kata Danang.
Sekitar pukul 08.00 WIB, kami mulai perjalanan turun menuju Posko Pasir Pogor, tepatnya di Balai Embrio Ternak milik Kementerian Pertanian di Cipelang, Bogor. Lalu, sekitar pukul 12.30, kami mencapai Posko Cipelang.
Dalam perjalanan pulang tersebut, kami sempat bertemu Tim Charlie yang  beranggota sekitar 225 anggota TNI, Polri, Basarnas, PMI, dan pecinta alam yang naik melalui jalur pendakian Kampung Pasir Manggis di Cipelang. Melalui jalur tersebut, mereka diperkirakan bisa mencapai lokasi selama empat-lima jam. Mudah-mudahan pendakian mereka tidak seperti yang kami alami sebelumnya. (*/noe/c1/ari)

Sulitnya Menembus Lokasi Jatuhnya Pesawat Sukhoi di Gunung Salak

Keinginan menyajikan hasil liputan terbaik untuk pembaca membuat wartawan foto Jawa Pos (grup Sumut Pos) Raka Deny Respati nekat mendaki puncak Gunung Salak Kamis lalu (10/5). Bersama sembilan jurnalis dan seorang anggota Basarnas, dia mencoba menemukan lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100. Berikut cerita bapak seorang anak itu.

Begitu mendengar informasi dari Basarnas tentang koordinat kontak terakhir Sukhoi di Gunung Salak, saya dan sembilan wartawan foto dari beberapa media bergegas menuju Desa Cidahu, Sukabumi. Cidahu dipilih sebagai titik awal pencarian karena berdasar penjejak global positioning system (GPS), koordinat 6 derajat 43 menit 8 detik lintang selatan dan 106 derajat 43 menit 15 detik bujur timur berada di sekitar Bumi Perkemahan Batu Tapak di Cidahu.

Namun, begitu sampai di Cidahu sekitar pukul 08.00 WIB, informasi dari warga Cidahu menyebutkan lokasi penemuan bangkai pesawat lebih dekat bila ditempuh melalui Desa Cipelang di Kecamatan Cijeruk, Bogor. Desa di kaki Gunung Salak tersebut berjarak sekitar 10 kilometer dari Cidahu.

Sekitar pukul 11.00 WIb, saya dan rombongan wartawan didampingi seorang anggota Basarnas bernama Danang memutuskan naik ke puncak Gunung Salak Dua melalui jalur Kampung Pogor. Berdasar informasi warga pula, lokasi jatuhnya Sukhoi tidak terlalu jauh dari Cipelang, hanya sekitar tiga jam perjalanan darat. Berbekal informasi tersebut, kami memutuskan untuk mendaki gunung itu tanpa persiapan logistik yang cukup. Perkiraan kami, kalau hanya tiga jam, rombongan  masih bisa naik, ambil gambar sebentar, lantas turun lagi sebelum malam.

Benar kata orang, jangan pernah percaya jarak kalau yang menyebutkan warga setempat, apalagi orang gunung. Penguasaan medan dan kekuatan mereka jauh lebih baik daripada orang awam, pendaki amatiran seperti para wartawan.

Setelah mendaki Gunung Salak Dua selama tiga jam, ternyata kami baru sampai puncak Gunung Salak Empat. Masih dua jam lagi untuk sampai di puncak Gunung Salak Tiga. Belum sampai ke puncak Gunung Salak Dua, apalagi satu. Jadi, pasti masih berjam-jam lagi sampainya. Tidak sekitar tiga jam perjalanan seperti dituturkan warga.

Medan yang kami lalui sangat curam. Jalur pendakian hanya selebar badan, kiri kanan jurang yang tertutup perdu. Kalau bergeser sedikit saja dari jalur pendakian, kami tidak tahu itu masih tanah atau sudah jurang. Untung kemarin tidak hujan. Kalau hujan, pasti minta ampun licinnya.
Selepas dari puncak Gunung Salak Tiga menuju Gunung Salak Dua ternyata tidak ada jalur pendakian. Saya dan teman-teman terpaksa membuka jalur baru. Karena tidak membawa senjata tajam, kami terpaksa menggunakan tas kamera untuk menyibak ilalang dan ranting-ranting pohon. Kabut yang mulai turun mengakibatkan jarak pandang jadi terbatas, sementara posisi kami berada di bibir jurang.

Saat itu, pendakian kami sudah lumayan tinggi. Tapi tanggung. Kami sudah di ketinggian 1.940 meter dari permukaan laut. Informasi yang kami terima, posisi pesawat Sukhoi di ketinggian 2.086 meter. Kalau kami turun, jarak terlalu jauh; tapi kalau mau naik lagi, kami tidak membawa perbekalan dan persiapan yang cukup.

Menjelang Magrib, air minum dan makanan kecil yang kami bawa sudah habis. Tidak ada sumber air yang ditemui di sepanjang perjalanan. Jalur menuju puncak Salak Dua memang terkenal tanpa sumber air. Karena itu, jalur tersebut kerap digunakan para pecinta alam untuk melakukan latihan bertahan hidup di hutan (jungle survival), bukan untuk pendakian menuju puncak (summit attack).

Pendakian menuju puncak Gunung Salak yang lazim digunakan para pendaki umumnya melalui jalur Cidahu menuju puncak Gunung Salak Satu. Selain lebih landai, di jalur tersebut juga banyak terdapat sumber air, bahkan air terjun kecil.

Sementara itu, tebing yang curam, elevasi 85 derajat, membuat tidak ada jalur pendakian dari Gunung Salak Dua menuju dinding tebing timur Gunung Salak Satu yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi.

Akhirnya, hari benar-benar gelap, tidak ada yang membawa senter. Untuk  menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami mau tidak mau menginap di punggung Gunung Salak Dua. Kabut tebal dan hawa dingin khas puncak gunung sangat menyiksa kami. Apalagi tidak ada yang membawa jaket gunung, tenda, maupun sleeping bag. Air minum dan makanan juga sudah habis sejak sore.

Mau bagaimana lagi, kami harus bertahan dengan kondisi apa adanya hingga esok paginya (kemarin). Kaki menjuntai ke jurang, punggung menempel di tebing. Hanya ada celah kecil memanjang selebar setengah meter yang kami gunakan untuk base camp. Setengah meter dipakai empat orang. Empat orang lagi membuat base camp di tempat yang sedikit lebih tinggi.

Jumat pagi, sekitar pukul 06.00, hawa dingin mulai berkurang. Kabut tebal yang semalam menutupi pegunungan juga berangsur menghilang. Tebing timur-utara Gunung Salak Satu yang menjadi tempat jatuhnya pesawat samar-samar terlihat dari tebing Gunung Salak Dua yang menjadi flying base camp kami.

Sebenarnya, keberadaan kami hanya terpisah jurang selebar sekitar 300 meter dari tebing TKP (tempat kejadian perkara). Namun, kedalaman jurang yang memisahkan Gunung Salak Dua dan Salak Satu diperkirakan 750 meter. Kemiringan kedua tebing mencapai 85 derajat, hampir tegak lurus. Karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mendekati crash area tanpa peralatan rappelling, kami memutuskan naik ke  tempat yang lebih tinggi untuk mengambil gambar.

Dari tempat yang lebih tinggi itulah, kami bisa melihat dengan jelas pesawat buatan Rusia yang hancur berkeping-keping setelah menerjang tebing Gunung Salak Satu. Tidak terlihat lagi bagian moncong dan badan pesawat. Hanya sedikit bagian ekor yang tersisa. Dari jauh tidak tampak tanda-tanda kehidupan, baik korban maupun tim penyelamat yang sudah sampai di lokasi.

Danang dari Basarnas yang menyertai kami memberikan pilihan. Bila hendak membuka jalur dengan memutari punggung bukit berbentuk U itu, diperkirakan butuh waktu satu-dua hari. Sementara, potong kompas dengan menuruni jurang tanpa tali mustahil dilakukan karena berupa tebing tegak lurus.
“Dengan pertimbangan logistik sudah benar-benar habis, lebih baik kita balik-kanan. Kalau memaksakan diri, bisa jadi justru kita yang dievakuasi tim SAR, bukan pesawatnya,” kata Danang.
Sekitar pukul 08.00 WIB, kami mulai perjalanan turun menuju Posko Pasir Pogor, tepatnya di Balai Embrio Ternak milik Kementerian Pertanian di Cipelang, Bogor. Lalu, sekitar pukul 12.30, kami mencapai Posko Cipelang.
Dalam perjalanan pulang tersebut, kami sempat bertemu Tim Charlie yang  beranggota sekitar 225 anggota TNI, Polri, Basarnas, PMI, dan pecinta alam yang naik melalui jalur pendakian Kampung Pasir Manggis di Cipelang. Melalui jalur tersebut, mereka diperkirakan bisa mencapai lokasi selama empat-lima jam. Mudah-mudahan pendakian mereka tidak seperti yang kami alami sebelumnya. (*/noe/c1/ari)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/