28.9 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Protes Biaya Naik Kelas, RS Swasta Putus Kerja Sama JKN

Foto: M Idham/Fajar/JPNN Warga antre untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulsel, Kamis (2/1/2014). Pemerintah mulai memberlakukan BPJS bidang kesehatan per tanggal 1 Januari 2014 untuk masyarakat kurang mampu, agar dapat meperoleh perlindungan dari asuransi kesehatan gratis.
Foto: M Idham/Fajar/JPNN
Warga antre untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulsel, Kamis (2/1/2014). Pemerintah mulai memberlakukan BPJS bidang kesehatan per tanggal 1 Januari 2014 untuk masyarakat kurang mampu, agar dapat meperoleh perlindungan dari asuransi kesehatan gratis.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tiga tahun berdiri, perjalanan BPJS Kesehatan masih berliku. Banyak polemik baru yang muncul mewarnai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Paling baru, sejumlah pemerintah daerah (Pemda) menunjukkan keengganannya mengintegrasikan Jamkesda ke program JKN. Bahkan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan telah walk out sejak awal tahun.

Pemerintah Kabupaten Gowa bahkan sudah mengajukan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, resistensi tersebut dinilai bukan tindakan yang tepat karena menghalangi negara mempunyai sistem tangguh untuk menjamin kesehatan warganya.

Belum lagi, soal mundurnya sejumlah rumah sakit (RS) swasta dari kerja sama yang terjalin. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), sejumlah RS swasta bahkan terang-terangan menyatakan stop melayani pasien peserta BPJS kesehatan sebagai bentuk protes terhadap berlakunya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 64/2016.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Untung Suseno menuturkan, pihaknya memahami kegelisahan pemda soal anggaran. Namun menurutnya, pemda justru akan kewalahan bila tak terintegrasi dengan BPJS Kesehatan.

”Memang, mungkin bisa lebih rendah kalau Jamkesda saja. Tapi mereka tidak sadar, itu ada pembiayaan dari pusat juga. Puskesmas kan sudah tertangani dengan kapitasi. Jadi bisa lebih murah. Kalau kita lepas semua, pasti tidak sanggup,” ujar Untung Suseno pada koran ini, kemarin (6/1).

Belum lagi, lanjut dia, kebutuhan rujukan warga yang sakit ke rumah sakit di luar daerah. Tentu itu tidak mudah dan bisa dipastikan jauh lebih mahal.

”Tidak apa-apa kalau mau bikin sendiri. Tapi, yang pasti ada kewajiban terintegrasi. Integrasi ini maksudnya kan satu sistem. Daerah mau biayai warganya ya tidak masalah,” ungkapnya.

Terkait mundurnya beberapa RS swasta, Untung memastikan jumlahnya tidak banyak. Termasuk, soal isu mogok dari sejumlah RS swasta di NTB. ”Sedikit kok. Dari 100 RS, paling hanya 11 RS. Dan mereka itu RS-RS yang hampir 80 persennya menyediakan kelas VIP. Ya kangak boleh memang,” tegasnya.

Kendati begitu, pemerintah tetap mengakomodir tuntutan mereka soal selisih biaya untuk naik kelas VIP pada rawat inap. Kemenkes telah mengadakan rapat bersama Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS Kesehatan untuk membahas permintaan RS agar aturan yang tertera dalam pasal 25 Permenkes 64/2016 itu.

Dari informasi yang diterima Jawa Pos, hasil rapat tersebut memunculkan formasi baru. Yakni, selisih biaya naik ke VIP adalah maksimal 75 persen dari biaya INACBGs di kelas 1. Sayang, Untung masih enggan menanggapi soal skema tersebut.

”Nantilah. Kan belum keluar. Ditunggu saja, ini sudah dalam tahap di KemenkumHAM,” kilahnya.

Foto: M Idham/Fajar/JPNN Warga antre untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulsel, Kamis (2/1/2014). Pemerintah mulai memberlakukan BPJS bidang kesehatan per tanggal 1 Januari 2014 untuk masyarakat kurang mampu, agar dapat meperoleh perlindungan dari asuransi kesehatan gratis.
Foto: M Idham/Fajar/JPNN
Warga antre untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulsel, Kamis (2/1/2014). Pemerintah mulai memberlakukan BPJS bidang kesehatan per tanggal 1 Januari 2014 untuk masyarakat kurang mampu, agar dapat meperoleh perlindungan dari asuransi kesehatan gratis.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tiga tahun berdiri, perjalanan BPJS Kesehatan masih berliku. Banyak polemik baru yang muncul mewarnai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Paling baru, sejumlah pemerintah daerah (Pemda) menunjukkan keengganannya mengintegrasikan Jamkesda ke program JKN. Bahkan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan telah walk out sejak awal tahun.

Pemerintah Kabupaten Gowa bahkan sudah mengajukan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, resistensi tersebut dinilai bukan tindakan yang tepat karena menghalangi negara mempunyai sistem tangguh untuk menjamin kesehatan warganya.

Belum lagi, soal mundurnya sejumlah rumah sakit (RS) swasta dari kerja sama yang terjalin. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), sejumlah RS swasta bahkan terang-terangan menyatakan stop melayani pasien peserta BPJS kesehatan sebagai bentuk protes terhadap berlakunya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 64/2016.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Untung Suseno menuturkan, pihaknya memahami kegelisahan pemda soal anggaran. Namun menurutnya, pemda justru akan kewalahan bila tak terintegrasi dengan BPJS Kesehatan.

”Memang, mungkin bisa lebih rendah kalau Jamkesda saja. Tapi mereka tidak sadar, itu ada pembiayaan dari pusat juga. Puskesmas kan sudah tertangani dengan kapitasi. Jadi bisa lebih murah. Kalau kita lepas semua, pasti tidak sanggup,” ujar Untung Suseno pada koran ini, kemarin (6/1).

Belum lagi, lanjut dia, kebutuhan rujukan warga yang sakit ke rumah sakit di luar daerah. Tentu itu tidak mudah dan bisa dipastikan jauh lebih mahal.

”Tidak apa-apa kalau mau bikin sendiri. Tapi, yang pasti ada kewajiban terintegrasi. Integrasi ini maksudnya kan satu sistem. Daerah mau biayai warganya ya tidak masalah,” ungkapnya.

Terkait mundurnya beberapa RS swasta, Untung memastikan jumlahnya tidak banyak. Termasuk, soal isu mogok dari sejumlah RS swasta di NTB. ”Sedikit kok. Dari 100 RS, paling hanya 11 RS. Dan mereka itu RS-RS yang hampir 80 persennya menyediakan kelas VIP. Ya kangak boleh memang,” tegasnya.

Kendati begitu, pemerintah tetap mengakomodir tuntutan mereka soal selisih biaya untuk naik kelas VIP pada rawat inap. Kemenkes telah mengadakan rapat bersama Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS Kesehatan untuk membahas permintaan RS agar aturan yang tertera dalam pasal 25 Permenkes 64/2016 itu.

Dari informasi yang diterima Jawa Pos, hasil rapat tersebut memunculkan formasi baru. Yakni, selisih biaya naik ke VIP adalah maksimal 75 persen dari biaya INACBGs di kelas 1. Sayang, Untung masih enggan menanggapi soal skema tersebut.

”Nantilah. Kan belum keluar. Ditunggu saja, ini sudah dalam tahap di KemenkumHAM,” kilahnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/