26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tok! Indonesia Punya UU Kesehatan Baru, Mandatory Spending Dihapus

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang (UU) dalam rapat paripurna di komplek parlemen, Senayan, Jakarta kemarin (11/7). Dewan mempersilahkan masyarakat mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika tidak puas dengan pengesahan tersebut.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, rapat pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU berjalan baik dan lancar. Namun, ada satu fraksi yang setuju dengan catatan, yaitu Partai Nasdem, dan dua fraksi yang menolak pengesahan, Partai Demokrat dan PKS. “Enam fraksi setuju disahkannya RUU Kesehatan ini,” terangnya saat konferensi pers usai rapat paripurna kemarin.

Setelah disahkan di DPR, UU Kesehatan akan diundangkan oleh pemerintah. Puan meminta pemerintah yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menuntaskan UU tersebut dan segera dilakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Dengan sosialisasi yang masif, kata Puan, masyarakat akan mengetahui manfaat UU Kesehatan. Menurutnya, tujuan disahkannya RUU Kesehatan adalah membuat sektor kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik dan lebih terbuka.

Pengunjuk rasa dari tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Mereka menuntut DPR untuk menunda pembahasan RUU Kesehatan dalam Omnibus Law saat Sidang Paripurna DPR karena dianggap akan merugikan tenaga kesehatan. FOTO:MIFTAHUL HYAT/JAWA POS

Selain itu, kata Puan, melalui UU itu, akan ada sinergitas antara APBN dan APBD terkait dengan masalah anggaran di pusat dan daerah. “Dan sinergitas untuk mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia dan hal-hal lainnya,” jelasnya.

Dia berharap, pengesahan UU Kesehatan bukan hanya bermanfaat bagi sektor kesehatan, tapi juga masyarakat Indonesia secara luas. “Citra Indonesia di dunia internasional juga akan semakin baik,” terang Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) itu.

Terkait sejumlah pihak yang menolak pengesahan RUU Kesehatan, Puan menegaskan bahwa sejak awal DPR dan pemerintah memberikan ruang seluas-seluasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan masukannya. Jadi, pembahasannya dilakukan sangat terbuka.

Jika masih ada masyarakat yang belum puas dan merasa hak konstitusionalnya belum terakomodir, mereka bisa menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Sebab, setelah disahkan di DPR, UU itu menjadi tanggung jawab pemerintah.

Setelah nanti diundangkan oleh pemerintah, selanjutnya pemerintah akan mengeluarkan peratura pemerintah (PP), sebagai aturan turunan dari UU. “Jadi, tugas DPR sudah selesai. Sekarang ada di pemerintah,” papar mantan Menko PMK itu.

Namun, jika masih ada yang menolak, mereka bisa mengajukan JR atau uji materi ke MK. “Masih ada MK yang kemudian bisa menjadi salah suatu tempat untuk bisa menampung aspirasi dan masukan secara konstitusional,” tandasnya.

Terpisah Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa UU anyar ini dapat mereformasi di bidang pelayanan kesehatan. Dia berharap kekurangan dokter bisa segera dipenuhi dengan lebih cepat. Termasuk kekurangan dokter spesialis. “Bagus. Saya kira arahnya ke sana,” katanya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa setelah pandemi, Indonesia membutuhkan transformasi kesehatan. Pandemi juga telah menguji sistem kesehatan nasional. “Pandemi membuka mata banyak yang harus diperbaiki di bidang kesehatan itu sebabnya transformasi kesehatan amat diperlukan,” katanya.

Budi membeberkan berbagai masalah kesehatan. Misalnya 300 ribu masyarakat meninggal karena stroke setiap tahunnya. Lalu ada 6.000 bayi meninghal karena gangguan jantung. Belum lagi 5 juta balita masih tengkes. Budi menegaskan bahwa rakyat membutuhkan layanan kesehatan yang lebih baik.

“Menuju generasi emas pada 2045, kita harus bekerja keras karena tidak bisa dicapai tanpa manusia indonesia yang sehat,” katanya. Dia mengungkapkan negara bertanggungjawab atas fasilitas kesehatan yang layak.

Budi menyatakan bahwa UU Kesehatan yang baru memiliki semangat mencegah penyakit. Sehingga layanan primer mengedepankan promotif dan prefentif. “Untuk kahanan kesehatan, pemerintah sediakan jaringan laboratorium di seluruh pelosok,” katanya.

Sebagai wakil dari pemerintah, dia menyatakan ada beberapa hal yang disepakati dengan DPR. Terkait pemenuhan infrastruktur, SDM, sarana prasarana, teknologi kesehatan, dan penguatan kefarmasian.

Budi menyatakan tak ingin lagi tergantung dengan industri farmasi luar negeri. “Penggunaan bahan baku untuk produk dalam negeri dan insentif bagi anak negeri yang mengembangkan dan produksi dalam negeri,” ujarnya.

Lebih lanjut Budi mengatakan, ada 11 UU sektor kesehatan lama telah disesuaikan dengan dinamika perubahan zaman. “Pemerintah sepakat dengan DPR terkait pokok pembahasan berbagai upaya peningkatan kesehatan Indonesia dalam 20 bab dan 450 pasal dalam RUU Kesehatan,” ujarnya.

Budi mernyatakan pemerintah telah melaksanakan 115 kali kegiatan pelibatan partisipasi publik, 1200 organisasi pemangku kepentingan diundang dan ada 72 ribu peserta. Pemerintah juga menerima 6.011 masukan secara lisan dan tulisan melalui portal Partisipasi Sehat

Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Sundoyo menyatakan setelah ini akan menyusun aturan turunan UU Kesehatan anyar. Ada 107 peraturan pelaksanaan yang harus dikerjakan pihak eksekutif. “Ada peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri kesehatan,” kata Sundoyo.

Sejau ini penyusunan PP dan Perpres dilakukan oleh kementerian terkait,. Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan oleh Panitia Antar-Kementerian (PAK) dan dilakukan harmonisasi bersama unsur terkait.

“Semua akan diakselerasi, karena peraturan pelaksanaan itu bagian dari pengaturan yang baru dalam rangka mendukung sistem kesehatan masyarakat,” ungkapnya. Sundoyo mengatakan aturan ini tidak buru-buru tapi harus segera selesai.

Kemenkes akan Susun Rencana Induk Kesehatan

Spending mandatory atau belanja negara yang sudah diatur oleh undang-undang di bidang kesehatan resmi dihapus. Ini seiring dengan disahkan RUU Kesehatan pada Sidang Paripurna kemarin (11/7).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut meminta masyarakat tidak khawatir karena Kemenkes akan menyusun rencana induk kesehatan Indonesia untuk menyusun program kesehatan yang kini tanpa mandatory spending.

Pada undang-undang sebelumnya diamanahkan mandatory spending untuk kesehatan adalah 5 persen dari APBN dan 10 persen pada APBD. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) melihat bahwa penghapusan mandatory spending ini merupakan masalah dalam UU Kesehatan anyar. CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan ada 58 dari 514 kabupaten/kota yang proporsi anggaran kesehatannya dibawah 10 persen pada 2021.”Realita di lapangan memprihatinkan,” kata Diah.

Menurutnya prioritas pembangunan daerah sulit terlaksana karena daerah merasa keterbatasan anggaran. Hilangnya, menurutnya, mandatory spending ini membuat tidak ada komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah.

Diah sebelumnya menyatakan bahwa bagi pemerintah daerah mandatory spending ini mengharuskan sektor kesehatan menjadi prioritas dalam pembangunan daerah. Hal ini diperlukan agar haj untuk kesehatan masyarakat terpenuhi.

Menurutnya mandatory spending tidak perlu dihapus. Namun secara paralel pemerintah pusat meningkatkan supervisi, memperbaiki indikator capaian pembangunan kesehatan, menambah indikator performa untuk dana transfer pusat, serta menguatkan koordinasi dengan daerah untuk meningkatkan kualitas perencanaan realisasi anggaran. “Penghapusan mandatory spending berisiko peningkatan pengeluaran individu untuk mengakses layanan kesehatan,” katanya.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Pranadipa. Mahesa mengatakan, bila draft UU Kesehatan yang disahkan sama dengan draft RUU yang sebelumnya beredar maka hilangnya anggaran kesehatan akan berdampak nyata bagi masyarakat. Menurutnya, masyarakat akan mengalami ketidakpastian pelayanan kesehatan akibat mandatory spending yang dihilangkan.

Dia menjelaskan, mandatory spending ini merupakan jaminan agar pemerintah daerah (pemda) mengalokasikan APBD untuk kesehatan masyarakatnya. Jika ini dihilangkan, bisa saja pemda berdalih tak punya anggaran untuk universal health coverage (UHC) di daerahnya. Apalagi, saat terjadi pergantian pimpinan di daerah.

“Kalau tidak dialokasikan, bisa jadi pemda berganti pemerintahan lalu dia bilang gak ada anggarannya. UHC yang tadinya 100 persen jadi berkurang. Sehingga jaminan atas kesehatan rakyat jadi tidak pasti,” ungkapnya.

Belum lagi bicara tentang program kesehatan lain. Misal, 9 program kesehatan Presiden Joko Widodo, di mana pengentasan stunting menjadi salah satu fokusnya. Mahesa menilai, saat tak ada anggaran maka akan sulit diselesaikan. “Lalu, menyediakan dokter di puskesmas juga perlu anggaran,” katanya.

Dari data yang dihimpun pihaknya, sampai saat ini masih ada puskesmas di daerah tidak memiliki dokter. Karenanya, ada kekhawatiran pemda tak bisa memenuhi kebutuhan dokter di faskes-faskes milik pemerintah. “Belum lagi ketika ada pengembahangan fasilitas, perlu ada ruang operasi misalnya. Dari mana anggarannya? Apakah kemudian skemanya diserahkan pada swasta?” sambung Mahesa.

Jika skema ini benar diberlakukan, Mahesa khawatir layanan kesehatan akan berubah menjadi kapitalis. Karena, dana bukan lagi dari pemerintah tapi swasta. Di mana, swasta pasti berhitung untung rugi. “Kalau dana dari swasta tentu ada kepentingan bisnis di situ, padahal tanggung jawab negara terhadap kesehatan. Jangan jadikan kesehatan sebagai bisnis bagi negara,” tegasnya.

Selain itu, hingga kini masih banyak pekerjaan rumah terkait layanan kesehatan yang belum tuntas. Dengan ketidakpastian ini, bukan jaminan penyelesaian masalah kesehatan yang diberikan justru bisa jadi memunculkan masalah-masalah baru.

Karenanya, ia bersama dengan organisasi profesi akan melakukan langkah hukum. Pengajuan judicial review (JR) jadi jalan pertama yang akan mereka tempuh usai UU Kesehatan disahkan.

Mengingat, banyak persoalan prosedural yang dilanggar. Salah satunya, meaningful participation yang tidak dilakukan sesuai UU 13/2022. Dari tiga keterlibatan, yakni hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan, hanya satu yang dipenuhi.

Selama ini, lanjut dia, masyarakat dan OP hanya diajak rapat dengar pendapat hanya untuk ditanya bagaimana pandangannya terkait RUU Kesehatan. Setelah itu, tak ada keterangan mengenai apakah pandangan tersebut digunakan atau bahkan ditolak. “Kalau pun ditolak, kita tidak dapat penjelasannya. Karenanya, ini secara prosedur sudah menyalahi undang-undang. Tentu itu menyalahi konstitusi,” pungkasnya.

Menkes Budi seusai Sidang Paripurna menyatakan telah mempelajari berbagai sistem mandatory spending di sektor kesehatan. Menurutnya dari berbagai negara diketahui bahwa mandatory spending ini tidak mempengaruhi derajat kesehatannya. “Kita seharusnya fokus bukan ke spending tapi fokus ke outcome,” katanya.

Selama jadi menteri, Budi mengaku mempelajari bahwa anggaran dipakai untuk hal yang tidak jelas. Sehingga untuk mengatasi masalah ini melalui pendekatan program. Artinya program apa yang akan dilakukan dan yang dihasilkan apa, itulah yang akan didanai. “Sebenarnya uang kota kasih. Yang penting hasilnya,” katanya.

Program yang dibuat tidak bisa serampangan. Kementerian Kesehatan akan menyusun rencana induk kesehatan. Rencana ini akan disepakati oleh pemerintah dan DPR. Program yang telah disetujui menurut Budi akan diberikan pendanaan. (jpg/ila)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang (UU) dalam rapat paripurna di komplek parlemen, Senayan, Jakarta kemarin (11/7). Dewan mempersilahkan masyarakat mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika tidak puas dengan pengesahan tersebut.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, rapat pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU berjalan baik dan lancar. Namun, ada satu fraksi yang setuju dengan catatan, yaitu Partai Nasdem, dan dua fraksi yang menolak pengesahan, Partai Demokrat dan PKS. “Enam fraksi setuju disahkannya RUU Kesehatan ini,” terangnya saat konferensi pers usai rapat paripurna kemarin.

Setelah disahkan di DPR, UU Kesehatan akan diundangkan oleh pemerintah. Puan meminta pemerintah yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menuntaskan UU tersebut dan segera dilakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Dengan sosialisasi yang masif, kata Puan, masyarakat akan mengetahui manfaat UU Kesehatan. Menurutnya, tujuan disahkannya RUU Kesehatan adalah membuat sektor kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik dan lebih terbuka.

Pengunjuk rasa dari tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Mereka menuntut DPR untuk menunda pembahasan RUU Kesehatan dalam Omnibus Law saat Sidang Paripurna DPR karena dianggap akan merugikan tenaga kesehatan. FOTO:MIFTAHUL HYAT/JAWA POS

Selain itu, kata Puan, melalui UU itu, akan ada sinergitas antara APBN dan APBD terkait dengan masalah anggaran di pusat dan daerah. “Dan sinergitas untuk mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia dan hal-hal lainnya,” jelasnya.

Dia berharap, pengesahan UU Kesehatan bukan hanya bermanfaat bagi sektor kesehatan, tapi juga masyarakat Indonesia secara luas. “Citra Indonesia di dunia internasional juga akan semakin baik,” terang Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) itu.

Terkait sejumlah pihak yang menolak pengesahan RUU Kesehatan, Puan menegaskan bahwa sejak awal DPR dan pemerintah memberikan ruang seluas-seluasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan masukannya. Jadi, pembahasannya dilakukan sangat terbuka.

Jika masih ada masyarakat yang belum puas dan merasa hak konstitusionalnya belum terakomodir, mereka bisa menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Sebab, setelah disahkan di DPR, UU itu menjadi tanggung jawab pemerintah.

Setelah nanti diundangkan oleh pemerintah, selanjutnya pemerintah akan mengeluarkan peratura pemerintah (PP), sebagai aturan turunan dari UU. “Jadi, tugas DPR sudah selesai. Sekarang ada di pemerintah,” papar mantan Menko PMK itu.

Namun, jika masih ada yang menolak, mereka bisa mengajukan JR atau uji materi ke MK. “Masih ada MK yang kemudian bisa menjadi salah suatu tempat untuk bisa menampung aspirasi dan masukan secara konstitusional,” tandasnya.

Terpisah Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa UU anyar ini dapat mereformasi di bidang pelayanan kesehatan. Dia berharap kekurangan dokter bisa segera dipenuhi dengan lebih cepat. Termasuk kekurangan dokter spesialis. “Bagus. Saya kira arahnya ke sana,” katanya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa setelah pandemi, Indonesia membutuhkan transformasi kesehatan. Pandemi juga telah menguji sistem kesehatan nasional. “Pandemi membuka mata banyak yang harus diperbaiki di bidang kesehatan itu sebabnya transformasi kesehatan amat diperlukan,” katanya.

Budi membeberkan berbagai masalah kesehatan. Misalnya 300 ribu masyarakat meninggal karena stroke setiap tahunnya. Lalu ada 6.000 bayi meninghal karena gangguan jantung. Belum lagi 5 juta balita masih tengkes. Budi menegaskan bahwa rakyat membutuhkan layanan kesehatan yang lebih baik.

“Menuju generasi emas pada 2045, kita harus bekerja keras karena tidak bisa dicapai tanpa manusia indonesia yang sehat,” katanya. Dia mengungkapkan negara bertanggungjawab atas fasilitas kesehatan yang layak.

Budi menyatakan bahwa UU Kesehatan yang baru memiliki semangat mencegah penyakit. Sehingga layanan primer mengedepankan promotif dan prefentif. “Untuk kahanan kesehatan, pemerintah sediakan jaringan laboratorium di seluruh pelosok,” katanya.

Sebagai wakil dari pemerintah, dia menyatakan ada beberapa hal yang disepakati dengan DPR. Terkait pemenuhan infrastruktur, SDM, sarana prasarana, teknologi kesehatan, dan penguatan kefarmasian.

Budi menyatakan tak ingin lagi tergantung dengan industri farmasi luar negeri. “Penggunaan bahan baku untuk produk dalam negeri dan insentif bagi anak negeri yang mengembangkan dan produksi dalam negeri,” ujarnya.

Lebih lanjut Budi mengatakan, ada 11 UU sektor kesehatan lama telah disesuaikan dengan dinamika perubahan zaman. “Pemerintah sepakat dengan DPR terkait pokok pembahasan berbagai upaya peningkatan kesehatan Indonesia dalam 20 bab dan 450 pasal dalam RUU Kesehatan,” ujarnya.

Budi mernyatakan pemerintah telah melaksanakan 115 kali kegiatan pelibatan partisipasi publik, 1200 organisasi pemangku kepentingan diundang dan ada 72 ribu peserta. Pemerintah juga menerima 6.011 masukan secara lisan dan tulisan melalui portal Partisipasi Sehat

Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Sundoyo menyatakan setelah ini akan menyusun aturan turunan UU Kesehatan anyar. Ada 107 peraturan pelaksanaan yang harus dikerjakan pihak eksekutif. “Ada peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri kesehatan,” kata Sundoyo.

Sejau ini penyusunan PP dan Perpres dilakukan oleh kementerian terkait,. Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan oleh Panitia Antar-Kementerian (PAK) dan dilakukan harmonisasi bersama unsur terkait.

“Semua akan diakselerasi, karena peraturan pelaksanaan itu bagian dari pengaturan yang baru dalam rangka mendukung sistem kesehatan masyarakat,” ungkapnya. Sundoyo mengatakan aturan ini tidak buru-buru tapi harus segera selesai.

Kemenkes akan Susun Rencana Induk Kesehatan

Spending mandatory atau belanja negara yang sudah diatur oleh undang-undang di bidang kesehatan resmi dihapus. Ini seiring dengan disahkan RUU Kesehatan pada Sidang Paripurna kemarin (11/7).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut meminta masyarakat tidak khawatir karena Kemenkes akan menyusun rencana induk kesehatan Indonesia untuk menyusun program kesehatan yang kini tanpa mandatory spending.

Pada undang-undang sebelumnya diamanahkan mandatory spending untuk kesehatan adalah 5 persen dari APBN dan 10 persen pada APBD. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) melihat bahwa penghapusan mandatory spending ini merupakan masalah dalam UU Kesehatan anyar. CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan ada 58 dari 514 kabupaten/kota yang proporsi anggaran kesehatannya dibawah 10 persen pada 2021.”Realita di lapangan memprihatinkan,” kata Diah.

Menurutnya prioritas pembangunan daerah sulit terlaksana karena daerah merasa keterbatasan anggaran. Hilangnya, menurutnya, mandatory spending ini membuat tidak ada komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah.

Diah sebelumnya menyatakan bahwa bagi pemerintah daerah mandatory spending ini mengharuskan sektor kesehatan menjadi prioritas dalam pembangunan daerah. Hal ini diperlukan agar haj untuk kesehatan masyarakat terpenuhi.

Menurutnya mandatory spending tidak perlu dihapus. Namun secara paralel pemerintah pusat meningkatkan supervisi, memperbaiki indikator capaian pembangunan kesehatan, menambah indikator performa untuk dana transfer pusat, serta menguatkan koordinasi dengan daerah untuk meningkatkan kualitas perencanaan realisasi anggaran. “Penghapusan mandatory spending berisiko peningkatan pengeluaran individu untuk mengakses layanan kesehatan,” katanya.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Pranadipa. Mahesa mengatakan, bila draft UU Kesehatan yang disahkan sama dengan draft RUU yang sebelumnya beredar maka hilangnya anggaran kesehatan akan berdampak nyata bagi masyarakat. Menurutnya, masyarakat akan mengalami ketidakpastian pelayanan kesehatan akibat mandatory spending yang dihilangkan.

Dia menjelaskan, mandatory spending ini merupakan jaminan agar pemerintah daerah (pemda) mengalokasikan APBD untuk kesehatan masyarakatnya. Jika ini dihilangkan, bisa saja pemda berdalih tak punya anggaran untuk universal health coverage (UHC) di daerahnya. Apalagi, saat terjadi pergantian pimpinan di daerah.

“Kalau tidak dialokasikan, bisa jadi pemda berganti pemerintahan lalu dia bilang gak ada anggarannya. UHC yang tadinya 100 persen jadi berkurang. Sehingga jaminan atas kesehatan rakyat jadi tidak pasti,” ungkapnya.

Belum lagi bicara tentang program kesehatan lain. Misal, 9 program kesehatan Presiden Joko Widodo, di mana pengentasan stunting menjadi salah satu fokusnya. Mahesa menilai, saat tak ada anggaran maka akan sulit diselesaikan. “Lalu, menyediakan dokter di puskesmas juga perlu anggaran,” katanya.

Dari data yang dihimpun pihaknya, sampai saat ini masih ada puskesmas di daerah tidak memiliki dokter. Karenanya, ada kekhawatiran pemda tak bisa memenuhi kebutuhan dokter di faskes-faskes milik pemerintah. “Belum lagi ketika ada pengembahangan fasilitas, perlu ada ruang operasi misalnya. Dari mana anggarannya? Apakah kemudian skemanya diserahkan pada swasta?” sambung Mahesa.

Jika skema ini benar diberlakukan, Mahesa khawatir layanan kesehatan akan berubah menjadi kapitalis. Karena, dana bukan lagi dari pemerintah tapi swasta. Di mana, swasta pasti berhitung untung rugi. “Kalau dana dari swasta tentu ada kepentingan bisnis di situ, padahal tanggung jawab negara terhadap kesehatan. Jangan jadikan kesehatan sebagai bisnis bagi negara,” tegasnya.

Selain itu, hingga kini masih banyak pekerjaan rumah terkait layanan kesehatan yang belum tuntas. Dengan ketidakpastian ini, bukan jaminan penyelesaian masalah kesehatan yang diberikan justru bisa jadi memunculkan masalah-masalah baru.

Karenanya, ia bersama dengan organisasi profesi akan melakukan langkah hukum. Pengajuan judicial review (JR) jadi jalan pertama yang akan mereka tempuh usai UU Kesehatan disahkan.

Mengingat, banyak persoalan prosedural yang dilanggar. Salah satunya, meaningful participation yang tidak dilakukan sesuai UU 13/2022. Dari tiga keterlibatan, yakni hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan, hanya satu yang dipenuhi.

Selama ini, lanjut dia, masyarakat dan OP hanya diajak rapat dengar pendapat hanya untuk ditanya bagaimana pandangannya terkait RUU Kesehatan. Setelah itu, tak ada keterangan mengenai apakah pandangan tersebut digunakan atau bahkan ditolak. “Kalau pun ditolak, kita tidak dapat penjelasannya. Karenanya, ini secara prosedur sudah menyalahi undang-undang. Tentu itu menyalahi konstitusi,” pungkasnya.

Menkes Budi seusai Sidang Paripurna menyatakan telah mempelajari berbagai sistem mandatory spending di sektor kesehatan. Menurutnya dari berbagai negara diketahui bahwa mandatory spending ini tidak mempengaruhi derajat kesehatannya. “Kita seharusnya fokus bukan ke spending tapi fokus ke outcome,” katanya.

Selama jadi menteri, Budi mengaku mempelajari bahwa anggaran dipakai untuk hal yang tidak jelas. Sehingga untuk mengatasi masalah ini melalui pendekatan program. Artinya program apa yang akan dilakukan dan yang dihasilkan apa, itulah yang akan didanai. “Sebenarnya uang kota kasih. Yang penting hasilnya,” katanya.

Program yang dibuat tidak bisa serampangan. Kementerian Kesehatan akan menyusun rencana induk kesehatan. Rencana ini akan disepakati oleh pemerintah dan DPR. Program yang telah disetujui menurut Budi akan diberikan pendanaan. (jpg/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/