30 C
Medan
Friday, June 21, 2024

Empat Kali Lipat

Islam di Amerika Serikat setelah 10 Tahun Tragedi 9/11

Suka atau tidak suka, umat Islam di AS terkena getah tragedi 11 September (9/11/2001). Muslim Amerika Serikat yang diperkirakan 7-8 juta harus menanggung beban itu. Seperti apa keadaan mereka setelah 10 tahun tragedi 9/11 berlalu?

Laporan: Suhendro Boroma
Boston, Amerika Serikat
“BERGANTUNG pada cara kita melihat,” kata Syamsi Ali, Imam Masjid Al-Hikmah, masjid masyarakat Indonesia di 44-01 31st Avenu, Astoria, New York. Hanya beberapa jam setelah pesawat American Airlines Flight 11 yang dibajak teroris meruntuhkan tower 1 World Trade Center (WTC) dan United Airlines Flight 175 menabrak tower 2 WTC pada pagi 11 September 2011, Syamsi Ali menjadi orang Islam pertama yang tampil di publik Amerika.

Pemimpin umat Islam Indonesia di kota tersibuk di Amerika itu mau tidak mau harus menjadi “juru bicara” muslim Amerika, bahkan dunia sesaat setelah tragedi yang merenggut hampir 3.000 jiwa itu. Dalam posisi itu, imam Syamsi menjelaskan dengan terang benderang bahwa teroris adalah musuh Islam. “Tidak ada terorisme dalam Islam, dan aksi teror merupakan musuh Islam, musuh bersama semua umat beragama,” katanya.

Imam Syamsi boleh dikatakan tokoh muslim terkemuka di New York. Bukan hanya pada saat tragedi 9/11. Hingga kini dia menjadi imam Masjid Al-Hikmah, masjid yang diresmikan pada 17 Agustus 1997. Masjid ini berdiri, antara lain
atas bantuan Yayasan Muslim Amal Bhakti Pancasila pimpinan mantan Presiden Soeharto almarhum. Selain itu, Syamsi dipercaya umat muslim New York menjadi imam Masjid Islamic Center, masjid terbesar di kota tersibuk di dunia ini. Komunitas muslim Afro-Amerika juga menunjuk Syamsi sebagai imam Masjid Jamaica Muslim Center, New York.

Saat genting pada 9 September 2001, Syamsi dinilai paling layak mewakili umat muslim. Para pejabat tinggi Amerika Serikat juga memilih Syamsi sebagai tokoh yang paling pas menjelaskan kepada publik soal Islam dan perang melawan terorisme yang dikumandangkan mantan Presiden George W. Bush setelah gedung kembar WTC runtuh, dan pesawat United Airlines Flight 93 jatuh di Shankville, Pennsylpania, setelah menabrak gedung Pentagon di Arlington, Virginia. Peran dan “fatwa” Syamsi menjelaskan Islam sebagai agama yang memusuhi terorisme dan aksi-aksi teror. Bagi pemerintah Amerika Serikat, posisi dan “fatwa” Syamsi menjelaskan kepada dunia Islam, Amerika tidak berperang melawan umat muslim, melainkan terorisme, musuh bersama umat manusia, yang juga musuh umat Islam.

Karena itu, hingga kini Syamsi menjadi “juru bicara” umat Islam di Amerika. Menjelang peringatan tragedi 9/11, dia paling sibuk. Termasuk melayani wawancara media terkemuka dari berbagai penjuru dunia. Sabtu malam (10/9), televisi Al-Jazirah melakukan wawancara khusus dengan tokoh asli asal Indonesia ini terkait dengan 10 tahun peringatan tragedi 9/11.

“Alhamdulillah,” katanya.

“Kalau kita lihat sepintas dan jangka pendek, keadaan umat Islam di Amerika setelah 10 tahun tragedi 9/11 sepertinya memburuk,” ujarnya.

Namun, hal itu tidak fundamental. Juga tidak mewakili pandangan masyarakat Amerika yang sesungguhnya terhadap umat Islam. “Islam fobia dan sentimen anti-Islam di Amerika akhir-akhir ini dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar agama. Terutama faktor politik berkaitan dengan Pemilu 2012,” katanya.

Tapi, secara substansial keadaan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan era sebelum tragedi 9/11. Masyarakat Amerika makin terbuka kepada umat Islam dan ajaran Islam. Mereka dengan kesadaran sendiri ingin memahami Islam secara mendalam. “Pasca tragedi 9/11, orang yang masuk Islam meningkat empat kali lipat daripada sebelum tragedi 9/11,” katanya.

Mereka yang memeluk Islam, sebelum tragedi 9/11 umumnya warga keturunan Afro-America. “Pascatragedi 9/11, umumnya warga Amerika keturunan Amerika Latin,” tambahnya.

Seperti di mana-mana, umat Islam berkelompok dalam banyak ragam aliran dan organisasi. “Setelah tragedi 9/11, umat Islam di Amerika makin solid, meningkat rasa persaudaraan dan ikatan silaturahmi,” katanya. Organisasi-organisasi Islam tetap berkembang seperti sebelumnya, tetapi semua “terpanggil” memperkuat Islamic Society North America. “Kita juga punya dialog yang terlembagakan dengan Presiden Barak Obama, atau pemerintah Amerika.”
Walau Islam fobia dan sentimen anti-Islam sering dikait-kaitkan dengan motif politik, belakangan di beberapa kota tokoh Islam setempat terpilih sebagai wali kota. Begitu juga anggota kongres, apalagi anggota DPR setingkat kota atau negara bagian. “Semua ini menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat Amerika terhadap umat Islam makin terbuka dan kian membaik,” jelasnya.

Tidak mudah mencapai keadaan itu. Tragedi 9/11, mau tidak mau, suka tidak suka, memosisikan umat Islam sebagai pihak yang tertuduh. “Tidak usah beradu argumentasi atau alasan apa pun. 3.000 orang tak berdosa tewas dalam serangan teroris di WTC,” kata Muhammad Ali Salam, pria keturunan Panama, tokoh Islam di Boston. “Tapi, keadaan itu kita jadikan momentum untuk menjelaskan ajaran Islam yang sesungguhnya,” kata Rosita Karniy, wanita asal Ketapang, Kalbar, yang menetap di AS sejak 1984.

Begitulah yang dilakukan umat Islam Amerika setelah tragedi 9/11. Masjid-masjid menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan, juga dialog antaragama dan antariman. Kegiatan yang rutin dilakukan setiap minggu di hampir setiap masjid itu dirasa tak cukup. “Kami banyak menggelar bazar, bakti sosial, memberikan bantuan kepada siapa saja yang sedang tertimpa masalah atau musibah tanpa memandang latar belakang agama,” tutur Rosita. “Sekalipun keadaan sulit, malah sering dihina dan dicela, kita terus berusaha berbuat baik kepada semua orang.”

Rosita berkisah, hingga delapan minggu setelah tragedi 9/11, Masjid Wayland di Boston, terpaksa dijaga polisi. “Sudah banyak batu dan kayu di sekeliling masjid. Polisi mengetahui bakal ada serangan terhadap masjid. Mereka menjaganya hingga 8 minggu,” kenangnya.

Jamaah Masjid Wayland yang umumnya kaum profesional (dosen, dokter, insinyur, penerbang, dll) itu menjauhi dari perasaan terluka. “Sepanjang 8 minggu itu kami melaksanakan open house. Mengundang makan minum siapa saja, sambil melakukan dialog antaragama dan antariman. Kami jelaskan baik-baik bahwa Islam itu bukan teroris, melainkan cinta damai dan rahmat bagi seluruh alam semesta,” kata Rosita. Bersamaan dengan open house itu, umat muslim di seluruh penjuru kota mengumpulkan donasi untuk berbagai kegiatan kemanusiaan.

“Alhamdulillah , sekarang kami (umat Islam) di Boston dan Massachusset pada umunya lebih baik,” kata ibu lima anak bersuamikan warga Amerika keturunan Irlandia ini.

Pesan cinta dan rahmat itu pula yang diniatkan sebagai dasar bagi warga muslim di Malcom X Boulevard membangun Masjid Islamic Society of Boston Cultural Center (ISBCC). Dari puluhan masjid yang tersebar di Boston, inilah satu-satunya masjid yang punya kubah, menara, dan diizinkan mengumandangkan azan lewat pengeras suara, kecuali waktu subuh.

Masjid ini mulai dibangun pada 2004, tiga tahun setelah tragedi 9/11. “Apa pun yang kami sampaikan, selalu saja Islam dikaitkan dengan teroris dan terorisme. Anda tahu salah satu pesawat yang dibajak teroris meruntuhkan gedung WTC itu take off dari Bandara Boston,” kata Muhammad Ali Salaam, tokoh Islam di Boston yang ikut memprakarsai pembangunan Masjid ISBCC.

Stigmatisasi itu membuat pembangunan masjid tidak mudah. Banyak yang menolak.

Warga muslim Boston semula tak punya rencana membangun masjid di halaman seluas 1 hektare itu. Merupakan salah satu kawasan kumuh dan karena itu pemerintah kota Boston menggusurnya. Direncanakan dibangun pasar modern, supermarket, dan jalan utama di Boston. “Tapi, warga di sini menolak terus, akhirnya pembangunan batal,” kisah Ali Salaam.

Beberapa warga muslim Boston bersepakat membeli tanah itu dengan harga USD 175.000 sekitar Rp1,57 miliar. “Pada 2004 mulai dibangun, dan protes bermunculan,” katanya.

Pemerintah Boston akhirnya mempertemukan warga muslim dan pemrotes. Warga sekitar tetap menjadikan terorisme sebagai alasan utama penolakan pembangunan masjid itu. Salah seorang menemukan sebuah buku Islam Fundamentalis yang dijual warga muslim di sekitar area pembangunan masjid. “Buku itu dijadikan penguat kekhawatiran masjid itu bakal jadi pusat gerakan fundamentalisme Islam,” ungkap Ali Salaam.

Wali Kota Boston Menino Launches yang memfasilitasi pertemuan itu menampik kekhawatiran tersebut. “Di rumah saya ada banyak buku komunisme. Apakah saya lalu menjadi seorang komunis,” katanya. “Saya tidak menampik atau membantah semua argumentasi penolakan pembangunan masjid. Saya jelaskan ajaran Islam yang sesungguhnya seperti apa,” urai Ali Salaam yang mewakili warga muslim Boston pada dialog itu.

Seorang warga Amerika bergama nonmuslim yang pernah bekerja dan tinggal di Timur Tengah membenarkan penjelasan Ali Salaam. “Wali kota akhirnya menyetujui dan mendukung pembangunan masjid ini.”

Tapi, itu belum cukup. Pihak yang menolak meminta imam masjid dari ‘utusan mereka’. “Saya tampil lagi berdialog dan bernegosiasi dengan kelompok Yahudi yang meminta imam masjid adalah lulusan Al-Azhar yang mereka usulkan. Akhirnya terjadi kesepakatan dan kami yang menentukan siapa imam masjid,” katanya.

Saat ini, masjid di seberang kantor polisi Boston itu berdiri megah empat lantai, dengan lantai karpet tebal. Bagian kanan untuk sekolah TK hingga perguruan tinggi, bagian kiri untuk ibadah. Masjid itu bisa menampung 2.264 jamaah, menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan Islam di Boston. Area itu juga dilengkapi restoran dan minimarket.
“Setiap pergantian kepala polisi atau anggota polisi di seberang jalan itu, wali kota Boston memberikan penugasan khusus bagi mereka untuk belajar tentang Islam di masjid ini. Selain terjadi pemahaman tentang Islam yang cinta damai dan rahmat bagi alam semesta, kami jauh merasa aman dan nyaman,” katanya. (lk/jpnn)

Islam di Amerika Serikat setelah 10 Tahun Tragedi 9/11

Suka atau tidak suka, umat Islam di AS terkena getah tragedi 11 September (9/11/2001). Muslim Amerika Serikat yang diperkirakan 7-8 juta harus menanggung beban itu. Seperti apa keadaan mereka setelah 10 tahun tragedi 9/11 berlalu?

Laporan: Suhendro Boroma
Boston, Amerika Serikat
“BERGANTUNG pada cara kita melihat,” kata Syamsi Ali, Imam Masjid Al-Hikmah, masjid masyarakat Indonesia di 44-01 31st Avenu, Astoria, New York. Hanya beberapa jam setelah pesawat American Airlines Flight 11 yang dibajak teroris meruntuhkan tower 1 World Trade Center (WTC) dan United Airlines Flight 175 menabrak tower 2 WTC pada pagi 11 September 2011, Syamsi Ali menjadi orang Islam pertama yang tampil di publik Amerika.

Pemimpin umat Islam Indonesia di kota tersibuk di Amerika itu mau tidak mau harus menjadi “juru bicara” muslim Amerika, bahkan dunia sesaat setelah tragedi yang merenggut hampir 3.000 jiwa itu. Dalam posisi itu, imam Syamsi menjelaskan dengan terang benderang bahwa teroris adalah musuh Islam. “Tidak ada terorisme dalam Islam, dan aksi teror merupakan musuh Islam, musuh bersama semua umat beragama,” katanya.

Imam Syamsi boleh dikatakan tokoh muslim terkemuka di New York. Bukan hanya pada saat tragedi 9/11. Hingga kini dia menjadi imam Masjid Al-Hikmah, masjid yang diresmikan pada 17 Agustus 1997. Masjid ini berdiri, antara lain
atas bantuan Yayasan Muslim Amal Bhakti Pancasila pimpinan mantan Presiden Soeharto almarhum. Selain itu, Syamsi dipercaya umat muslim New York menjadi imam Masjid Islamic Center, masjid terbesar di kota tersibuk di dunia ini. Komunitas muslim Afro-Amerika juga menunjuk Syamsi sebagai imam Masjid Jamaica Muslim Center, New York.

Saat genting pada 9 September 2001, Syamsi dinilai paling layak mewakili umat muslim. Para pejabat tinggi Amerika Serikat juga memilih Syamsi sebagai tokoh yang paling pas menjelaskan kepada publik soal Islam dan perang melawan terorisme yang dikumandangkan mantan Presiden George W. Bush setelah gedung kembar WTC runtuh, dan pesawat United Airlines Flight 93 jatuh di Shankville, Pennsylpania, setelah menabrak gedung Pentagon di Arlington, Virginia. Peran dan “fatwa” Syamsi menjelaskan Islam sebagai agama yang memusuhi terorisme dan aksi-aksi teror. Bagi pemerintah Amerika Serikat, posisi dan “fatwa” Syamsi menjelaskan kepada dunia Islam, Amerika tidak berperang melawan umat muslim, melainkan terorisme, musuh bersama umat manusia, yang juga musuh umat Islam.

Karena itu, hingga kini Syamsi menjadi “juru bicara” umat Islam di Amerika. Menjelang peringatan tragedi 9/11, dia paling sibuk. Termasuk melayani wawancara media terkemuka dari berbagai penjuru dunia. Sabtu malam (10/9), televisi Al-Jazirah melakukan wawancara khusus dengan tokoh asli asal Indonesia ini terkait dengan 10 tahun peringatan tragedi 9/11.

“Alhamdulillah,” katanya.

“Kalau kita lihat sepintas dan jangka pendek, keadaan umat Islam di Amerika setelah 10 tahun tragedi 9/11 sepertinya memburuk,” ujarnya.

Namun, hal itu tidak fundamental. Juga tidak mewakili pandangan masyarakat Amerika yang sesungguhnya terhadap umat Islam. “Islam fobia dan sentimen anti-Islam di Amerika akhir-akhir ini dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar agama. Terutama faktor politik berkaitan dengan Pemilu 2012,” katanya.

Tapi, secara substansial keadaan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan era sebelum tragedi 9/11. Masyarakat Amerika makin terbuka kepada umat Islam dan ajaran Islam. Mereka dengan kesadaran sendiri ingin memahami Islam secara mendalam. “Pasca tragedi 9/11, orang yang masuk Islam meningkat empat kali lipat daripada sebelum tragedi 9/11,” katanya.

Mereka yang memeluk Islam, sebelum tragedi 9/11 umumnya warga keturunan Afro-America. “Pascatragedi 9/11, umumnya warga Amerika keturunan Amerika Latin,” tambahnya.

Seperti di mana-mana, umat Islam berkelompok dalam banyak ragam aliran dan organisasi. “Setelah tragedi 9/11, umat Islam di Amerika makin solid, meningkat rasa persaudaraan dan ikatan silaturahmi,” katanya. Organisasi-organisasi Islam tetap berkembang seperti sebelumnya, tetapi semua “terpanggil” memperkuat Islamic Society North America. “Kita juga punya dialog yang terlembagakan dengan Presiden Barak Obama, atau pemerintah Amerika.”
Walau Islam fobia dan sentimen anti-Islam sering dikait-kaitkan dengan motif politik, belakangan di beberapa kota tokoh Islam setempat terpilih sebagai wali kota. Begitu juga anggota kongres, apalagi anggota DPR setingkat kota atau negara bagian. “Semua ini menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat Amerika terhadap umat Islam makin terbuka dan kian membaik,” jelasnya.

Tidak mudah mencapai keadaan itu. Tragedi 9/11, mau tidak mau, suka tidak suka, memosisikan umat Islam sebagai pihak yang tertuduh. “Tidak usah beradu argumentasi atau alasan apa pun. 3.000 orang tak berdosa tewas dalam serangan teroris di WTC,” kata Muhammad Ali Salam, pria keturunan Panama, tokoh Islam di Boston. “Tapi, keadaan itu kita jadikan momentum untuk menjelaskan ajaran Islam yang sesungguhnya,” kata Rosita Karniy, wanita asal Ketapang, Kalbar, yang menetap di AS sejak 1984.

Begitulah yang dilakukan umat Islam Amerika setelah tragedi 9/11. Masjid-masjid menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan, juga dialog antaragama dan antariman. Kegiatan yang rutin dilakukan setiap minggu di hampir setiap masjid itu dirasa tak cukup. “Kami banyak menggelar bazar, bakti sosial, memberikan bantuan kepada siapa saja yang sedang tertimpa masalah atau musibah tanpa memandang latar belakang agama,” tutur Rosita. “Sekalipun keadaan sulit, malah sering dihina dan dicela, kita terus berusaha berbuat baik kepada semua orang.”

Rosita berkisah, hingga delapan minggu setelah tragedi 9/11, Masjid Wayland di Boston, terpaksa dijaga polisi. “Sudah banyak batu dan kayu di sekeliling masjid. Polisi mengetahui bakal ada serangan terhadap masjid. Mereka menjaganya hingga 8 minggu,” kenangnya.

Jamaah Masjid Wayland yang umumnya kaum profesional (dosen, dokter, insinyur, penerbang, dll) itu menjauhi dari perasaan terluka. “Sepanjang 8 minggu itu kami melaksanakan open house. Mengundang makan minum siapa saja, sambil melakukan dialog antaragama dan antariman. Kami jelaskan baik-baik bahwa Islam itu bukan teroris, melainkan cinta damai dan rahmat bagi seluruh alam semesta,” kata Rosita. Bersamaan dengan open house itu, umat muslim di seluruh penjuru kota mengumpulkan donasi untuk berbagai kegiatan kemanusiaan.

“Alhamdulillah , sekarang kami (umat Islam) di Boston dan Massachusset pada umunya lebih baik,” kata ibu lima anak bersuamikan warga Amerika keturunan Irlandia ini.

Pesan cinta dan rahmat itu pula yang diniatkan sebagai dasar bagi warga muslim di Malcom X Boulevard membangun Masjid Islamic Society of Boston Cultural Center (ISBCC). Dari puluhan masjid yang tersebar di Boston, inilah satu-satunya masjid yang punya kubah, menara, dan diizinkan mengumandangkan azan lewat pengeras suara, kecuali waktu subuh.

Masjid ini mulai dibangun pada 2004, tiga tahun setelah tragedi 9/11. “Apa pun yang kami sampaikan, selalu saja Islam dikaitkan dengan teroris dan terorisme. Anda tahu salah satu pesawat yang dibajak teroris meruntuhkan gedung WTC itu take off dari Bandara Boston,” kata Muhammad Ali Salaam, tokoh Islam di Boston yang ikut memprakarsai pembangunan Masjid ISBCC.

Stigmatisasi itu membuat pembangunan masjid tidak mudah. Banyak yang menolak.

Warga muslim Boston semula tak punya rencana membangun masjid di halaman seluas 1 hektare itu. Merupakan salah satu kawasan kumuh dan karena itu pemerintah kota Boston menggusurnya. Direncanakan dibangun pasar modern, supermarket, dan jalan utama di Boston. “Tapi, warga di sini menolak terus, akhirnya pembangunan batal,” kisah Ali Salaam.

Beberapa warga muslim Boston bersepakat membeli tanah itu dengan harga USD 175.000 sekitar Rp1,57 miliar. “Pada 2004 mulai dibangun, dan protes bermunculan,” katanya.

Pemerintah Boston akhirnya mempertemukan warga muslim dan pemrotes. Warga sekitar tetap menjadikan terorisme sebagai alasan utama penolakan pembangunan masjid itu. Salah seorang menemukan sebuah buku Islam Fundamentalis yang dijual warga muslim di sekitar area pembangunan masjid. “Buku itu dijadikan penguat kekhawatiran masjid itu bakal jadi pusat gerakan fundamentalisme Islam,” ungkap Ali Salaam.

Wali Kota Boston Menino Launches yang memfasilitasi pertemuan itu menampik kekhawatiran tersebut. “Di rumah saya ada banyak buku komunisme. Apakah saya lalu menjadi seorang komunis,” katanya. “Saya tidak menampik atau membantah semua argumentasi penolakan pembangunan masjid. Saya jelaskan ajaran Islam yang sesungguhnya seperti apa,” urai Ali Salaam yang mewakili warga muslim Boston pada dialog itu.

Seorang warga Amerika bergama nonmuslim yang pernah bekerja dan tinggal di Timur Tengah membenarkan penjelasan Ali Salaam. “Wali kota akhirnya menyetujui dan mendukung pembangunan masjid ini.”

Tapi, itu belum cukup. Pihak yang menolak meminta imam masjid dari ‘utusan mereka’. “Saya tampil lagi berdialog dan bernegosiasi dengan kelompok Yahudi yang meminta imam masjid adalah lulusan Al-Azhar yang mereka usulkan. Akhirnya terjadi kesepakatan dan kami yang menentukan siapa imam masjid,” katanya.

Saat ini, masjid di seberang kantor polisi Boston itu berdiri megah empat lantai, dengan lantai karpet tebal. Bagian kanan untuk sekolah TK hingga perguruan tinggi, bagian kiri untuk ibadah. Masjid itu bisa menampung 2.264 jamaah, menjadi pusat kebudayaan dan pendidikan Islam di Boston. Area itu juga dilengkapi restoran dan minimarket.
“Setiap pergantian kepala polisi atau anggota polisi di seberang jalan itu, wali kota Boston memberikan penugasan khusus bagi mereka untuk belajar tentang Islam di masjid ini. Selain terjadi pemahaman tentang Islam yang cinta damai dan rahmat bagi alam semesta, kami jauh merasa aman dan nyaman,” katanya. (lk/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/