JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Isi RUU yang bias menuju MK adalah terkait mekanisme pemilihan kepala daerah.
Potensi gugatan pada RUU itu disuarakan hakim MK Patrialis Akbar. Kemarin, mantan menteri hukum dan HAM tersebut memberikan nasihatnya terkait mekanisme pemilihan kepala daerah tersebut. Seperti diberitakan, soal mekanisme Pilkada ini memicu kegusaran masyarakat karena mayoritas fraksi di DPR ingin kepala daerah dipilih lewat DPRD, mirip cara yang dipakai saat rezim Orde Baru.”Saya tidak boleh berkomentar atas RUU Pilkada karena berpotensi dibawa (dilakukan uji materi) ke MK. Tetapi kalau mau tahu pilkada demokratis seperti apa, silahkan baca putusan MK terdahulu,” kata Patrialis di sela-sela acara diskusi ‘Gerakan Muhammadiyah dan Konstitusionalisme’ di PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (12/9).
Patrialis mengatakan, putusan MK terdahulu memuat pandangan MK mengenai pilkada yang demokratis. Putusan itu, kata dia, merupakan hasil dari uji materi yang dilakukan mahasiswa Universitas Esa Unggul. “MK sudah pernah membahas secara tuntas tentang masalah pilkada itu, yang dimaksud demokratis yang bagaimana, silahkan dibaca lagi. Putusan MK itu tentang kasus bahwa MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada, yang diajukan mahasiswa Universitas Esa Unggul,” terang Patrialis.
Patrialis tidak menjelaskan secara detail putusan apa yang dimaksud. Namun, berdasarkan penelusuran Jawa Pos (grup Sumut Pos), MK pernah menangani gugatan yang dilayangkan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Esa Unggul, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), beserta dua penggugat perseorangan pada 24 Februari 2014.
Dalam perkara Nomor 97/PUU-XI/2013 itu, para pemohon menyoroti Pasal 236C UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf e UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. “Dari hasil kajian, seminar, dan diskusi yang sudah kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pilkada adalah inkonstitusional,” kata juru bicara FKHK, Ryan Muhammad saat itu.
Dalam putusannya, mahkamah mengabulkan seluruh uji materi terhadap Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.”Menyatakan, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Hamdan Zoelva dalam putusannya. Dengan putusan tersebut, MK secara resmi menghapus kewenangan yang dimilikinya untuk mengadili perselisihan hasil pemilu kepala daerah. Berdasarkan putusan tersebut, mahkamah tak lagi mengadili sengketa pilkada karena dianggap inkonstitusional.
Kendati demikian, Hamdan menjelaskan, selama masa peralihan sebelum undang-undang pengganti dibuat untuk menggantikan perannya dalam mengadili sengketa pilkada, mahkamah akan tetap mengadili sengketa pilkada. Hal tersebut, kata dia, untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. (idr/byu/dyn/owi/kim/jpnn/rbb)