26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Menikah di KUA Tidak Manusiawi

 

Buku Nikah
Buku Nikah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Aksi mogok mencatat nikah di luar kantor oleh petugas pencatat nikah KUA (kantor urusan agama) terus menuai sorotan. Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali di depan anggota Komisi VIII (bidang keagamaan) DPR mengaku akan berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencari solusinya.

Urusan mogok petugas KUA itu menjadi bahan utama dalam rapat kerja Kemenag dan Komisi VIII DPR kemarin. Menteri yang akrab disapa SDA itu mengatakan, imbas dari aksi mogok petugas KUA maka pencatatan nikah harus dilakukan di kantor.

“Pernikahan itu kegiatan sakral. Tidak manusiawi menikahkan di KUA,” katanya. SDA meminta masyarakat untuk melihat kondisi riil KUA. Dia menuturkan jika dalam satu hari ada empat kali pencatatan nikah dan satu pasangan nikah membawa seratus undangan, KUA bakal penuh. Selain itu masih banyak kantor KUA yang ngontrak di rumah penduduk, karena banyaknya pemekaran kecamatan.

Tidak hanya itu, umumnya KUA berada di pusat kecamatan. Sedangkan untuk daerah-daerah tertentu, banyak masyarakat yang bermukim jauh dari pusat kecamatan. SDA mengatakan penghentian aktivitas pencatatan nikah ini harus dicarikan solusinya. Untuk itu dia akan menghadap kepada Kejagung dan KPK untuk mencari solusi mogok itu.

Terkait dengan pemberian gratifikasi kepada petugas pencatat nikah, SDA mengatakan secara aturan hukum memang tidak boleh meskipun banyak yang menyebut kearifan lokal. Dalam ketentuan yang berlaku, kearifan lokal tetap kalah dengan aturan hukum formal.

Solusi yang paling dekat menurut SDA adalah mengalokasikan anggaran khusus bagi pencatat nikah yang menikahkan pasangan di luar kantor dan jam kerja. “Anggaran itu harus ada, untuk laundry jas penghulu saja sudah Rp 100 ribu,” paparnya, lantas tertawa.

Tetapi sampai usulan Kemenag untuk diadakan anggaran khusus pencatatan nikah belum disahkan. Dia mengatakan Kemenag itu hanya mengusulkan, sedangkan yang menetapkan ada di Kementerian Keuangan (Kemenkes). Anggaran itu sampai saat ini belum disahkan karena ada yang berpendapat; negara kok membiayai orang menikah. “Padahal yang dibiayai itu pencatatan nikahnya,” papar dia.

Anggota Komisi VIII DPR Raihan Iskandar mengatakan, aksi mogok ini dipicu dari pernyataan Irjen Kemenag M. Jasin. Dia mengatakan di sejumlah media massa Jasin menyebutkan gratifikasi pencatatan nikah mencapai Rp 1,2 triliun. Angka itu didapat dari jumlah kegiatan pernikahan yang mencapai 2,5 kali/tahun dikalikan rata-rata pungutan sebesar Rp 500 ribu/pencatatan nikah. “Awalnya Irjen yang memantik api, sekarang harus memadamkannya,” kata dia.

Dia menuturkan Kemenag harus bisa mencermati perbedaan antara gratifikasi, hadiah, shadaqah, dan pungutan liar. Raihan mendukung keputusan aksi mogok masal para penghulu itu, karena pemerintah melakukan pendekatan hitam-putih terhadap pemberian dari pasangan mempelai.

Raihan menyatakan ada petugas KUA yang harus melalui perjalanan darat hingga 140 KM untuk sampai ke rumah penduduk. “Bahkan ada juga yang sampai naik kuda semalaman,” tandasnya. Raihan mengatakan citra dan posisi mulia para penghulu harus bisa dijaga. Dia mendukung jika Kemenag akhirnya bersedia mencari jalan tengah bersama Kejagung, KPK, bahkan Polri. (wan/jpnn)

 

Buku Nikah
Buku Nikah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Aksi mogok mencatat nikah di luar kantor oleh petugas pencatat nikah KUA (kantor urusan agama) terus menuai sorotan. Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali di depan anggota Komisi VIII (bidang keagamaan) DPR mengaku akan berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencari solusinya.

Urusan mogok petugas KUA itu menjadi bahan utama dalam rapat kerja Kemenag dan Komisi VIII DPR kemarin. Menteri yang akrab disapa SDA itu mengatakan, imbas dari aksi mogok petugas KUA maka pencatatan nikah harus dilakukan di kantor.

“Pernikahan itu kegiatan sakral. Tidak manusiawi menikahkan di KUA,” katanya. SDA meminta masyarakat untuk melihat kondisi riil KUA. Dia menuturkan jika dalam satu hari ada empat kali pencatatan nikah dan satu pasangan nikah membawa seratus undangan, KUA bakal penuh. Selain itu masih banyak kantor KUA yang ngontrak di rumah penduduk, karena banyaknya pemekaran kecamatan.

Tidak hanya itu, umumnya KUA berada di pusat kecamatan. Sedangkan untuk daerah-daerah tertentu, banyak masyarakat yang bermukim jauh dari pusat kecamatan. SDA mengatakan penghentian aktivitas pencatatan nikah ini harus dicarikan solusinya. Untuk itu dia akan menghadap kepada Kejagung dan KPK untuk mencari solusi mogok itu.

Terkait dengan pemberian gratifikasi kepada petugas pencatat nikah, SDA mengatakan secara aturan hukum memang tidak boleh meskipun banyak yang menyebut kearifan lokal. Dalam ketentuan yang berlaku, kearifan lokal tetap kalah dengan aturan hukum formal.

Solusi yang paling dekat menurut SDA adalah mengalokasikan anggaran khusus bagi pencatat nikah yang menikahkan pasangan di luar kantor dan jam kerja. “Anggaran itu harus ada, untuk laundry jas penghulu saja sudah Rp 100 ribu,” paparnya, lantas tertawa.

Tetapi sampai usulan Kemenag untuk diadakan anggaran khusus pencatatan nikah belum disahkan. Dia mengatakan Kemenag itu hanya mengusulkan, sedangkan yang menetapkan ada di Kementerian Keuangan (Kemenkes). Anggaran itu sampai saat ini belum disahkan karena ada yang berpendapat; negara kok membiayai orang menikah. “Padahal yang dibiayai itu pencatatan nikahnya,” papar dia.

Anggota Komisi VIII DPR Raihan Iskandar mengatakan, aksi mogok ini dipicu dari pernyataan Irjen Kemenag M. Jasin. Dia mengatakan di sejumlah media massa Jasin menyebutkan gratifikasi pencatatan nikah mencapai Rp 1,2 triliun. Angka itu didapat dari jumlah kegiatan pernikahan yang mencapai 2,5 kali/tahun dikalikan rata-rata pungutan sebesar Rp 500 ribu/pencatatan nikah. “Awalnya Irjen yang memantik api, sekarang harus memadamkannya,” kata dia.

Dia menuturkan Kemenag harus bisa mencermati perbedaan antara gratifikasi, hadiah, shadaqah, dan pungutan liar. Raihan mendukung keputusan aksi mogok masal para penghulu itu, karena pemerintah melakukan pendekatan hitam-putih terhadap pemberian dari pasangan mempelai.

Raihan menyatakan ada petugas KUA yang harus melalui perjalanan darat hingga 140 KM untuk sampai ke rumah penduduk. “Bahkan ada juga yang sampai naik kuda semalaman,” tandasnya. Raihan mengatakan citra dan posisi mulia para penghulu harus bisa dijaga. Dia mendukung jika Kemenag akhirnya bersedia mencari jalan tengah bersama Kejagung, KPK, bahkan Polri. (wan/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/