Jika Harga Naik, SBY Siap Tanggung Jawab
JAKARTA- Pemerintah resmi melakukan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meneken Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu.
Perpres tersebut merupakan pengganti dari Perpres No. 55/2005 yang sudah diubah dengan Perpres Nomor 9 Tahun 2006. Dalam perpres yang baru itu, pemerintah menetapkan harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk setiap liter, yaitu minyak tanah Rp2.500, bensin RON 88 Rp4.500, dan minyak solar Rp4.500. Harga-harga tersebut sudah termasuk PPN, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen.
Selain itu, dalam perpres itu juga disebutkan, penggunaan jenis BBM tertentu secara bertahap dilakukan pembatasan. Tahapan pembatasan akan diatur Menteri ESDM berdasarkan rakor yang dipimpin Menko Perekonomian.
SBY mengatakan, langkah itu bagian dari program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). “Proses konversi akan kita percepat dengan persiapan segalanya agar implementasinya lebih cepat dan lebih bagus, misalnya pepres sudah saya tandatangani,” tutur SBY saat berdialog dengan wartawan di Istana Negara, tadi malam.
Dia mengakui, kenaikan harga BBM memang menjadi salah satu yang tengah dimatangkan. Yakni dengan berkonsultasi dengan DPR terkait rencana pengurangan subsidi dan menaikkan harga.
“Apakah ada kenaikan atau tidak akan diputuskan, dan saya akan tanggungjawab kalau itu harus dilakukan,” tegasnya.(fal/jpnn)
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, terbitnya perpres itu terkait dengan UU APBN yang juga menyebutkan tentang pembatasan. “Makanya diperlukan perpres, memberikan kewenangan kepada menteri ESDM untuk mengatur pembatasan,” katanya.
Dia menjelaskan, inti dari perpres tersebut adalah pengaturan dan penerapan pembatasan secara bertahap. Namun belum waktu kapan pembatasan itu akan diterapkan. “Belum ada time table-nya. Presiden tidak mengatur waktu,” katanya. Saat ini, menteri ESDM tengah membahas opsi-opsi yang ada dengan komisi VII DPR. (fal/jpnn)