31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Pilkada DPRD Panen Penolakan

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penolakan rencana pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, tidak hanya datang dari para kepala daerah. Di berbagai media sosial, rencana pilkada memalui DPRD panen penolakan. Tidak itu saja, rakyat yang tergabung dalam lembaga masyarakat sipil juga ramai-ramai menyatakan sikap menolak hal tersebut.

Sebut saja Koalisi Pemantau Pemilu (KP2) dan Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Alasannya, pemilihan di DPRD tak sesuai semangat reformasi. Bahkan disebut kemunduran demokrasi. “Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tak sinkron dengan desain sistem otonomi daerah yang sekarang sedang kita laksanakan,” ujar seorang pengusung KP2, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (14/9).

Menurut Jeirry, KP2 menilai jika tak lagi dipilih secara langsung, kepala daerah tak lagi bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, tapi kepada segelintir elit politik di DPRD yang belum tentu dapat merupakan wakil rakyat yang sesungguhnya.

Sebab selama ini lebih banyak anggota DPRD berprilaku sebagai ‘wakil rakyat’ yang formal karena ‘terpaksa’, harus dipilih oleh rakyat dalam Pemilu, tapi bukan wakil rakyat yang sesungguhnya.

“Dalam konteks itu, alasan-alasan yang sering dikemukakan terlihat hanya untuk melegitimasi hasrat politik berkuasa dan mengingkari aspirasi rakyat,” katanya.

KP2 menolak pilkada lewat DPRD, karena pemilihan secara langsung sudah mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, yang memiliki komitmen sungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat.

“Pilkada tak langsung sarat dengan kepentingan kekuasaan atau jabatan. Sangat jelas terlihat elit partai ingin menguasai jabatan kepala daerah tanpa melalui mekanisme langsung oleh rakyat,” katanya.

Alasan lain, rakyat saat ini menurut Jeirry, umumnya senang dengan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebab melalui itu, rakyat dapat dengan sebenarnya menjalankan kedaulatan mereka dengan cara terlibat secara langsung menentukan siapa kepala daerah yang layak memimpin daerah mereka.

“Karena itu KP2 menolak RUU Pilkada yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Karena sebuah kemunduran yang nyata dan menyalahi desain otonomi daerah. Selain itu Pilkada melalui DPRD hanya akan melanggengkan kekuasaan lokal, sebab hanya diisi elite-elite parpol yang tercerabut dari rakyatnya,” kata Jeirry.

KP2 antara lain didukung oleh M. Afifuddin dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jojo Rohi dari Komite Independepn Pemantau Pemilh (KIPP Indonesia), Yusfitriadi dari Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP), Toto Sugiarto dari Soegeng Sarjadi Syndicte (SSS), pemerhati pemilu Ahsanul Minan, Roy Salam dari Indonesia Budget Center (IBC), Masyikuruddin Hafidz (JPPR) dan Sunanto (JPPR).

Di tempat terpisah, Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), juga menyuarakan penolakan pilkada dikembalikan lewat DPRD.

Alasannya, memilih pemimpin adalah hak konstitusional rakyat yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara. Jika RUU Pilkada merenggut hal tersebut, berarti negara telah merampas dan merusak prinsip daulat rakyat sesungguhnya.

“Rakyat harus menentukan sendiri pemimpinnya. Itulah hakikat dari demokrasi substansial. Mekanisme pemilihan langsung (presiden/wakil presiden, kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota legislatif) merupakan esensi partisipasi politik karena memberikan ruang yang luas bagi lahirnya pemimpin-pemimpin baru pilihan rakyat,” ujar Deputy Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz di Jakarta, Minggu (14/9).

Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi Kawal RUU Pilkada kata Masykurudin, juga menuntut DPR dan Pemerintah harus membuka lagi semua data dan perjalanan pemilihan kepala daerah secara langsung, yang terbukti 90 persen pilkada langsung berjalan damai.

Data-data perlu dibuka karena dapat memerlihatkan secara nyata kalau proses pilkada langsung mendekatkan rakyat dengan calon pemimpinnya melalui penyelenggaraan tahapan pemilu yang bebas, jujur, dan adil.

“Proses pilkada secara langsung lebih menjamin terpenuhinya layanan publik dan pembangunan di daerah yang berbasis pada pemahaman mengenai kebutuhan dan aspirasi warga daerah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu partisipasi, akuntabilitas, dan demokrasi,” katanya.

Jika yang dikhawatirkan adalah persoalan biaya penyelenggaraan, maka Koalisi Kawal RUU Pilkada menilai pilkada lebih efisien dilakukan dengan cara serentak. Apalagi kebijakan tersebut telah disahkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi.

“Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa praktik politik uang (jual beli suara) merupakan produk dari perilaku kebanyakan elite yang hendak menjadi pemimpin tetapi tidak berakar di masyarakat, bukan semata bersumber dari keinginan masyarakat,” katanya.

Koalisi Kawal RUU Pilkada juga menilai proses pilkada langsung membuat rakyat bisa menagih janji-janji pemimpinnya sehingga pemimpin akan lebih akuntabel dalam menjalankan pemerintahan. Pilkada langsung sejatinya adalah esensi demokrasi.

“Karena itu mengembalikan pilkada kepada DPRD berarti kemunduran partisipasi politik rakyat dan demokrasi substansial. Jangan sampai kepentingan kekuasaan politik jangka pendek sekelompok orang, mengorbankan hak politik rakyat,” katanya.

Lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada yaitu, Perludem, ICW, TI Indonesia, IBC, FITRA, Correct, JPPR, KIPP Jakarta, PSHK, Puskapol FISIP UI, Pattiro, Yappika, Populi Center, KPPOD, Kopel, IPC, Rumah Kebangsaan, Our Voice, Satjitpto Rahahardjo Institute, Aceh STF, FIK Ornop, SUAK, Mata Aceh, Yasmib, dan MCRI.

Kemudian Dewan Guru Besar FE Unhas, GLK Aceh, MCW Jatim, BEM PUSaKO FH Universitas Andalas, BEM FH Undip, PERMAHI Semarang, Dewa Orga Semarang dan Komunitas Payung Semarang.(gir/tom)

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penolakan rencana pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, tidak hanya datang dari para kepala daerah. Di berbagai media sosial, rencana pilkada memalui DPRD panen penolakan. Tidak itu saja, rakyat yang tergabung dalam lembaga masyarakat sipil juga ramai-ramai menyatakan sikap menolak hal tersebut.

Sebut saja Koalisi Pemantau Pemilu (KP2) dan Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Alasannya, pemilihan di DPRD tak sesuai semangat reformasi. Bahkan disebut kemunduran demokrasi. “Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tak sinkron dengan desain sistem otonomi daerah yang sekarang sedang kita laksanakan,” ujar seorang pengusung KP2, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (14/9).

Menurut Jeirry, KP2 menilai jika tak lagi dipilih secara langsung, kepala daerah tak lagi bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, tapi kepada segelintir elit politik di DPRD yang belum tentu dapat merupakan wakil rakyat yang sesungguhnya.

Sebab selama ini lebih banyak anggota DPRD berprilaku sebagai ‘wakil rakyat’ yang formal karena ‘terpaksa’, harus dipilih oleh rakyat dalam Pemilu, tapi bukan wakil rakyat yang sesungguhnya.

“Dalam konteks itu, alasan-alasan yang sering dikemukakan terlihat hanya untuk melegitimasi hasrat politik berkuasa dan mengingkari aspirasi rakyat,” katanya.

KP2 menolak pilkada lewat DPRD, karena pemilihan secara langsung sudah mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik, yang memiliki komitmen sungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat.

“Pilkada tak langsung sarat dengan kepentingan kekuasaan atau jabatan. Sangat jelas terlihat elit partai ingin menguasai jabatan kepala daerah tanpa melalui mekanisme langsung oleh rakyat,” katanya.

Alasan lain, rakyat saat ini menurut Jeirry, umumnya senang dengan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebab melalui itu, rakyat dapat dengan sebenarnya menjalankan kedaulatan mereka dengan cara terlibat secara langsung menentukan siapa kepala daerah yang layak memimpin daerah mereka.

“Karena itu KP2 menolak RUU Pilkada yang mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Karena sebuah kemunduran yang nyata dan menyalahi desain otonomi daerah. Selain itu Pilkada melalui DPRD hanya akan melanggengkan kekuasaan lokal, sebab hanya diisi elite-elite parpol yang tercerabut dari rakyatnya,” kata Jeirry.

KP2 antara lain didukung oleh M. Afifuddin dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jojo Rohi dari Komite Independepn Pemantau Pemilh (KIPP Indonesia), Yusfitriadi dari Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu (GSRPP), Toto Sugiarto dari Soegeng Sarjadi Syndicte (SSS), pemerhati pemilu Ahsanul Minan, Roy Salam dari Indonesia Budget Center (IBC), Masyikuruddin Hafidz (JPPR) dan Sunanto (JPPR).

Di tempat terpisah, Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), juga menyuarakan penolakan pilkada dikembalikan lewat DPRD.

Alasannya, memilih pemimpin adalah hak konstitusional rakyat yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara. Jika RUU Pilkada merenggut hal tersebut, berarti negara telah merampas dan merusak prinsip daulat rakyat sesungguhnya.

“Rakyat harus menentukan sendiri pemimpinnya. Itulah hakikat dari demokrasi substansial. Mekanisme pemilihan langsung (presiden/wakil presiden, kepala daerah/wakil kepala daerah, anggota legislatif) merupakan esensi partisipasi politik karena memberikan ruang yang luas bagi lahirnya pemimpin-pemimpin baru pilihan rakyat,” ujar Deputy Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz di Jakarta, Minggu (14/9).

Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi Kawal RUU Pilkada kata Masykurudin, juga menuntut DPR dan Pemerintah harus membuka lagi semua data dan perjalanan pemilihan kepala daerah secara langsung, yang terbukti 90 persen pilkada langsung berjalan damai.

Data-data perlu dibuka karena dapat memerlihatkan secara nyata kalau proses pilkada langsung mendekatkan rakyat dengan calon pemimpinnya melalui penyelenggaraan tahapan pemilu yang bebas, jujur, dan adil.

“Proses pilkada secara langsung lebih menjamin terpenuhinya layanan publik dan pembangunan di daerah yang berbasis pada pemahaman mengenai kebutuhan dan aspirasi warga daerah. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu partisipasi, akuntabilitas, dan demokrasi,” katanya.

Jika yang dikhawatirkan adalah persoalan biaya penyelenggaraan, maka Koalisi Kawal RUU Pilkada menilai pilkada lebih efisien dilakukan dengan cara serentak. Apalagi kebijakan tersebut telah disahkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi.

“Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa praktik politik uang (jual beli suara) merupakan produk dari perilaku kebanyakan elite yang hendak menjadi pemimpin tetapi tidak berakar di masyarakat, bukan semata bersumber dari keinginan masyarakat,” katanya.

Koalisi Kawal RUU Pilkada juga menilai proses pilkada langsung membuat rakyat bisa menagih janji-janji pemimpinnya sehingga pemimpin akan lebih akuntabel dalam menjalankan pemerintahan. Pilkada langsung sejatinya adalah esensi demokrasi.

“Karena itu mengembalikan pilkada kepada DPRD berarti kemunduran partisipasi politik rakyat dan demokrasi substansial. Jangan sampai kepentingan kekuasaan politik jangka pendek sekelompok orang, mengorbankan hak politik rakyat,” katanya.

Lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada yaitu, Perludem, ICW, TI Indonesia, IBC, FITRA, Correct, JPPR, KIPP Jakarta, PSHK, Puskapol FISIP UI, Pattiro, Yappika, Populi Center, KPPOD, Kopel, IPC, Rumah Kebangsaan, Our Voice, Satjitpto Rahahardjo Institute, Aceh STF, FIK Ornop, SUAK, Mata Aceh, Yasmib, dan MCRI.

Kemudian Dewan Guru Besar FE Unhas, GLK Aceh, MCW Jatim, BEM PUSaKO FH Universitas Andalas, BEM FH Undip, PERMAHI Semarang, Dewa Orga Semarang dan Komunitas Payung Semarang.(gir/tom)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/