25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Jokowi Tunjuk Kapolri Setengah

Presiden Jokowi secara resmi memberhentikan secara hormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti.
Presiden Jokowi secara resmi memberhentikan secara hormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti.

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo mengikuti langkah pendahulunya Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam menulis sejarah baru tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Jika Gus Dur mengangkat seorang pejabat sementara kapolri, maka Jokowi menunjuk pelaksana tugas. Dua jabatan yang berarti bukan kapolri penuh itu sejatinya tak pernah ada dalam sejarah polri bahkan saat namanya masih Badan Kepolisian Negara (BKBN).

Pun, latar belakang pembentukan jabatan itu mirip. Ketika Gus Dur membentuk pejabat sementara yang dijabat Jenderal Chairudin Ismail pada 2001 silam, terjadi kekisruhan di tubuh Polri. Kala itu, Kapolri dijabat Jenderal Suroyo Bimantoro.

Pada pemilihan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Gus Dur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat. Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Gus Dur mengulangi kekeliruan dengan ‘memecat’ Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chaerudin Ismail tanpa persetujuan parlemen.

Kisruh ini tak lepas dari ketidakcocokan Gus Dur dengan Suroyo Bimantaro yang didasari berbagai masalah. Pada Juni 2001, Gus Dur meminta Bimantoro mengundurkan diri. Namun, Bimantoro menolak.Maka, pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001. Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni, yang berlaku surut 1 Juni 2001. Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan presiden dengan parlemen.

Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri. Masalah Polri ini semakin berlarut-larut. Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Gus Dur mengumumkan penonaktifan Kapolri Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 21 Juli 2001, Gus Dur melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.

Jokowi sedikit berbeda. Penunjukkan pelaksana tugas lebih mengarah untuk menunda pelantikan calon Kapolri yang telah disetujui parlemen, Komjen Budi Gunawan. Budi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan rekening gendut setelah menjadi calon tunggal Kapolri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Masalahnya, sebelum mengambil keputusan mengangkat pelaksana tugas, Jokowi pun dihadapkan pada dilema berat. Posisinya menjadi rawan karena dia harus menghormati KPK sekaligus DPR. Membatalkan Budi sebagai Kapolri berarti tidak menghormati DPR sementara jika tetap melantik, Budi sudah menajdi tersangka.

Maka Jokowi memutuskan tidak membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Jokowi memutuskan hanya menunda pelantikan jenderal bintang tiga yang kini berstatus tersangka KPK tersebut.

Senyum pun Hilang

Presiden menyatakan alasan menunda pelantikan adalah berhubungan dengan proses hukum terhadap calon tunggal kapolri tersebut. Saat menyebut nama Budi Gunawan tersebut, Jokowi sempat mengambil jeda selama sekian detik. “Maka, kami pandang perlu untuk menunda pengangkatan sebagai kapolri. Menunda, bukan membatalkan, ini yang perlu digarisbawahi,” tutur Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (16/1) malam.

Pada kesempatan di awal keputusan terakhir tentang kapolri tersebut, Jokowi mengungkapkan kalau telah menandatangani dua keputusan presiden sekaligus. Satu keppres tentang pemberhentian dengan hormat Jenderal Sutarman sebagai kapolri. Keppres lainnya adalah tentang penugasan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai kapolri.

Berbeda seperti saat mengumumkan penurunan harga BBM siang harinya yang banyak mengumbar senyum, ekspresi Jokowi tampak tegang ketika menyampaikan keputusan tentang kapolri tersebut. Selain Sutarman dan Badrodin, Wapres Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjianto ikut menyertai.

Meski tidak ikut tampil ketika penyampaian keputusan, Budi Gunawan sebenarnya hadir juga di Istana Merdeka ketika itu. Dia termasuk yang terlihat meninggalkan lokasi sesaat setelah acara selesai. Pagi harinya, Budi Gunawan juga sempat mampir ke komplek istana kepresidenan menemui Jokowi. Dia datang sesaat setelah Sutarman keluar. Seperti halnya saat malam hari, dia berusaha menghindari pertanyaan media dan buru-buru masuk ke mobilnya.

Di tempat yang sama dengan penyampaian keputusan penyerahan tugas dan wewenang kepada wakapolri oleh presiden, Sutarman menyampaikan rasa terimakasihnya kepada seluruh masyarakat Indonesia atas dukungan selama menjabat. Sambil tersenyum, dia juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh jajaran polri. “Terima kasih, sehingga kita (seluruh jajaran polri) mampu mengamankan Indonesia,” tutur Sutarman.

Menko Polhukam Tedjo Edhy meyakinkan kalau proses pemberhentian dengan hormat Sutarman sebagai kapolri dan penugasan terhadap Badrodin, tidak akan mempengaruhi soliditas polri. Dia menyatakan, lewat sejumlah rangkaian pertemuan, Sutarman telah menunjukkan kebesaran hatinya. “Pak Tarman menghargai presiden, presiden juga telah mengambil jalan terbaik,” kata Tedjo.

Tedjo juga menegaskan kalau penugasan terhadap Badrodin melaksanakan tugas dan wewenang sebagai kapolri, bukan berstatus sebagai pelaksana tugas. Dia mengibaratkan, posisi wakapolri hanya seperti ketika kapolri berhalangan, semisal sedang ke luar negeri. “Sampai kapan, ya sampai nanti ada pelantikan,” katanya.

Dia juga tidak bisa memastikan sampai di titik mana proses di KPK bisa menghentikan penundaan pelantikan Budi Gunawan. Dia hanya menyatakan kalau semuanya bergantung proses di KPK. “Tidak selalu sampai di pengadilan, kalau tidak terbukti, tapi kita lihat lah,” imbuhnya.

Sebagaimana diketahui, Sutarman belum memasuki masa pensiun. Jenderal bintang empat mantan ajudan Presiden Gus Dur itu baru memasuki purna tugas pada Oktober 2015 nanti. “Nggak ada masalah, tadi saya kumpulkan Pak Tarman, Pak Badrodin, dan Pak Budi, clear semua, nggak ada masalah,” tegas Tedjo lagi. (bbs/jpnn/rbb)

Presiden Jokowi secara resmi memberhentikan secara hormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti.
Presiden Jokowi secara resmi memberhentikan secara hormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti.

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Presiden Joko Widodo mengikuti langkah pendahulunya Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam menulis sejarah baru tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Jika Gus Dur mengangkat seorang pejabat sementara kapolri, maka Jokowi menunjuk pelaksana tugas. Dua jabatan yang berarti bukan kapolri penuh itu sejatinya tak pernah ada dalam sejarah polri bahkan saat namanya masih Badan Kepolisian Negara (BKBN).

Pun, latar belakang pembentukan jabatan itu mirip. Ketika Gus Dur membentuk pejabat sementara yang dijabat Jenderal Chairudin Ismail pada 2001 silam, terjadi kekisruhan di tubuh Polri. Kala itu, Kapolri dijabat Jenderal Suroyo Bimantoro.

Pada pemilihan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Gus Dur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat. Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Gus Dur mengulangi kekeliruan dengan ‘memecat’ Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chaerudin Ismail tanpa persetujuan parlemen.

Kisruh ini tak lepas dari ketidakcocokan Gus Dur dengan Suroyo Bimantaro yang didasari berbagai masalah. Pada Juni 2001, Gus Dur meminta Bimantoro mengundurkan diri. Namun, Bimantoro menolak.Maka, pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001. Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni, yang berlaku surut 1 Juni 2001. Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan presiden dengan parlemen.

Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri. Masalah Polri ini semakin berlarut-larut. Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Gus Dur mengumumkan penonaktifan Kapolri Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 21 Juli 2001, Gus Dur melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.

Jokowi sedikit berbeda. Penunjukkan pelaksana tugas lebih mengarah untuk menunda pelantikan calon Kapolri yang telah disetujui parlemen, Komjen Budi Gunawan. Budi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan rekening gendut setelah menjadi calon tunggal Kapolri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Masalahnya, sebelum mengambil keputusan mengangkat pelaksana tugas, Jokowi pun dihadapkan pada dilema berat. Posisinya menjadi rawan karena dia harus menghormati KPK sekaligus DPR. Membatalkan Budi sebagai Kapolri berarti tidak menghormati DPR sementara jika tetap melantik, Budi sudah menajdi tersangka.

Maka Jokowi memutuskan tidak membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Jokowi memutuskan hanya menunda pelantikan jenderal bintang tiga yang kini berstatus tersangka KPK tersebut.

Senyum pun Hilang

Presiden menyatakan alasan menunda pelantikan adalah berhubungan dengan proses hukum terhadap calon tunggal kapolri tersebut. Saat menyebut nama Budi Gunawan tersebut, Jokowi sempat mengambil jeda selama sekian detik. “Maka, kami pandang perlu untuk menunda pengangkatan sebagai kapolri. Menunda, bukan membatalkan, ini yang perlu digarisbawahi,” tutur Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (16/1) malam.

Pada kesempatan di awal keputusan terakhir tentang kapolri tersebut, Jokowi mengungkapkan kalau telah menandatangani dua keputusan presiden sekaligus. Satu keppres tentang pemberhentian dengan hormat Jenderal Sutarman sebagai kapolri. Keppres lainnya adalah tentang penugasan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai kapolri.

Berbeda seperti saat mengumumkan penurunan harga BBM siang harinya yang banyak mengumbar senyum, ekspresi Jokowi tampak tegang ketika menyampaikan keputusan tentang kapolri tersebut. Selain Sutarman dan Badrodin, Wapres Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjianto ikut menyertai.

Meski tidak ikut tampil ketika penyampaian keputusan, Budi Gunawan sebenarnya hadir juga di Istana Merdeka ketika itu. Dia termasuk yang terlihat meninggalkan lokasi sesaat setelah acara selesai. Pagi harinya, Budi Gunawan juga sempat mampir ke komplek istana kepresidenan menemui Jokowi. Dia datang sesaat setelah Sutarman keluar. Seperti halnya saat malam hari, dia berusaha menghindari pertanyaan media dan buru-buru masuk ke mobilnya.

Di tempat yang sama dengan penyampaian keputusan penyerahan tugas dan wewenang kepada wakapolri oleh presiden, Sutarman menyampaikan rasa terimakasihnya kepada seluruh masyarakat Indonesia atas dukungan selama menjabat. Sambil tersenyum, dia juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh jajaran polri. “Terima kasih, sehingga kita (seluruh jajaran polri) mampu mengamankan Indonesia,” tutur Sutarman.

Menko Polhukam Tedjo Edhy meyakinkan kalau proses pemberhentian dengan hormat Sutarman sebagai kapolri dan penugasan terhadap Badrodin, tidak akan mempengaruhi soliditas polri. Dia menyatakan, lewat sejumlah rangkaian pertemuan, Sutarman telah menunjukkan kebesaran hatinya. “Pak Tarman menghargai presiden, presiden juga telah mengambil jalan terbaik,” kata Tedjo.

Tedjo juga menegaskan kalau penugasan terhadap Badrodin melaksanakan tugas dan wewenang sebagai kapolri, bukan berstatus sebagai pelaksana tugas. Dia mengibaratkan, posisi wakapolri hanya seperti ketika kapolri berhalangan, semisal sedang ke luar negeri. “Sampai kapan, ya sampai nanti ada pelantikan,” katanya.

Dia juga tidak bisa memastikan sampai di titik mana proses di KPK bisa menghentikan penundaan pelantikan Budi Gunawan. Dia hanya menyatakan kalau semuanya bergantung proses di KPK. “Tidak selalu sampai di pengadilan, kalau tidak terbukti, tapi kita lihat lah,” imbuhnya.

Sebagaimana diketahui, Sutarman belum memasuki masa pensiun. Jenderal bintang empat mantan ajudan Presiden Gus Dur itu baru memasuki purna tugas pada Oktober 2015 nanti. “Nggak ada masalah, tadi saya kumpulkan Pak Tarman, Pak Badrodin, dan Pak Budi, clear semua, nggak ada masalah,” tegas Tedjo lagi. (bbs/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/