30.6 C
Medan
Monday, May 20, 2024

JK Pernah Gertak Bos NAA-Inalum

JAKARTA-Jusuf Kalla (JK), sewaktu masih menjabat wakil presiden, pernah menggertak pimpinan NAA (Nippon Asahan Alumminium), pemegang mayoritas saham PT Inalum. JK menceritakan pertemuannya dengan bos NAA di Jepang saat hadir sebagai keynote speech pembicara seminar yang digelar Indonesian Resources Studies (IRES) pada 27 Januari 2011.

Direktur Eksekutif IRES Marwan Batubara memberikan transkrip rekaman pernyataan JK di seminar tersebut kepada Sumut Pos, kemarin (17/3).

JK cerita, dalam pertemuan itu, bos NAA menganggap Inalum adalah bentuk persahabatan RI-Jepang. Tapi, pernyataan itu disambut gertakan JK.

”Perusahaan Inalum rugi terus selama 30 tahun. Saya di Tokyo berbicara dengan Chairman mereka di Jepang. ’Oh, Sir ini lambang persahabatan Indonesia dan Jepang’, kata orang Jepang. Saya bilang persahabatan apa? Kalau rugi terus selama 30 tahun dimana sahabatnya?

Anda untung kita rugi. Sahabat macam apa? No! Expired ya expired, saya bilang begitu. Akhirnya kita putuskan tidak ada negoisasi-negoisasi. Dalam kontraknya disebutkan, tahun 2013 selesai, dan tidak usah diteruskan lagi,” demikian kata JK di seminar itu.

Marwan mengatakan, setelah ada pernyataan JK seperti itu, laporan keuangan Inalum yang selama 30 tahun selalu disebutkan merugi, lantas berubah menjadi sudah untung.
Menurut Marwan, dari perubahan laporan keuangan Inalum itu semakin kuat keyakinan yang selama ini berkembang bahwa selama puluhan tahun Inalum telah memanipulasi laporan keuangannya. Karenanya, sudah tidak lagi praktek kebohongan itu dilanjutkan, alias kontrak harus diputus 2013.

Sama dengan sikap anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar, Marwan yang mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga berpendapat, proses negosiasi antara tim bentukan pemerintah RI dengan NAA, sudah tak menarik dibicarakan.  Lantaran 2013 sudah semakin dekat, saat ini mestinya sudah digodok rumusan pengelolaan Inalum pasca 2013.

Misal bagaimana agar produk Inalum dipasok untuk kebutuhan dalam negeri dulu, jika sudah ada sisa, baru diekspor. Juga bagaimana membangun industri hilirnya, sehingga Inalum tidak hanya menghasilkan batangan aluminium saja. Termasuk, bagaimana bisa menjamin pasokan alumina sebagai bahan dasar pembuatan alumunium. “Kan bisa kita ambil bauksit yang dari Antam,” terangnya.

Sebelumnya, Nasril Bahar mengatakan, produksi bauksit dalam negeri bakal melimpah, menyusul beroperasinya anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, yakni Indonesia Chemical Alumina (ICA), di  Tayan, Kalimatan Barat. Bauksit merupakan bahan pembuatan alumina, yang menjadi bahan dasar alumunium. “Alumina kita cukup,” ujarnya.

Marwan mengatakan, yang tak kalah mendesak untuk segera dibahas adalah keterlibatan pemda di Sumut dalam pengelolaan Inalum pasca 2013. Menurutnya, lantaran pemda tak punya keahlian dan pengalaman, bisa saja misalnya cukup dengan ditempatkan di dewan komisaris. “Yang penting pemda mendapatkan keuntungan. Putra daerah juga harus mendapatkan pekerjaan di Inalum. Atau pemda bisa mendapat saham 15 persen atau 20 persen, seperti sudah saya usulkan,” terangnya.

Untuk saham mayoritas, lanjutnya, harus tetap dikuasasi pemerintah/negara. Dia menolak keras jika saham mayoritas diberikan ke PT Antam. Alasannya, perusahaan plat merah itu sudah go publik, dimana 35 persen sahamnya dimiliki asing. Namun, lanjutnya, lantaran sudah punya keahlian, Antam tetap harus diberi saham, tapi misalnya 10 persen saja.

Seperti diketahui, masa berlakunya masa berlaku Build, Operate and Transfer (BOT) Inalum akan berakhir 2013. Tiga tahun sebelum kontrak habis, sesuai perjanjian, kedua pihak harus bernegosiasi apakah kontrak berlanjut atau diputus. Meski pemerintah sudah menegaskan tidak akan memperpanjang kontrak NAA, namun proses nego tetap harus dilakukan, dengan acuan proposal yang diajukan pihak NAA.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, perbankan plat merah siap mengambil alih saham NAA, yang besarnya 58,9 persen. Dana yang dibutuhkan sekitar 720 juta dolar AS.
Dijelaskan, ada dua opsi pengelolaan Inalum, yakni menjadikannya sebagai BUMN baru atau menjadi anak perusahaan BUMN.

Mustafa juga mengatakan, sejumlah BUMN akan dilibatkan mengelola Inalum ke depan, yakni PT Perusahaan Pengelola Aset, PT Danareksa Sekuritas, PT Bahana Securities, dan PT Aneka Tambang (Antam). (sam)

JAKARTA-Jusuf Kalla (JK), sewaktu masih menjabat wakil presiden, pernah menggertak pimpinan NAA (Nippon Asahan Alumminium), pemegang mayoritas saham PT Inalum. JK menceritakan pertemuannya dengan bos NAA di Jepang saat hadir sebagai keynote speech pembicara seminar yang digelar Indonesian Resources Studies (IRES) pada 27 Januari 2011.

Direktur Eksekutif IRES Marwan Batubara memberikan transkrip rekaman pernyataan JK di seminar tersebut kepada Sumut Pos, kemarin (17/3).

JK cerita, dalam pertemuan itu, bos NAA menganggap Inalum adalah bentuk persahabatan RI-Jepang. Tapi, pernyataan itu disambut gertakan JK.

”Perusahaan Inalum rugi terus selama 30 tahun. Saya di Tokyo berbicara dengan Chairman mereka di Jepang. ’Oh, Sir ini lambang persahabatan Indonesia dan Jepang’, kata orang Jepang. Saya bilang persahabatan apa? Kalau rugi terus selama 30 tahun dimana sahabatnya?

Anda untung kita rugi. Sahabat macam apa? No! Expired ya expired, saya bilang begitu. Akhirnya kita putuskan tidak ada negoisasi-negoisasi. Dalam kontraknya disebutkan, tahun 2013 selesai, dan tidak usah diteruskan lagi,” demikian kata JK di seminar itu.

Marwan mengatakan, setelah ada pernyataan JK seperti itu, laporan keuangan Inalum yang selama 30 tahun selalu disebutkan merugi, lantas berubah menjadi sudah untung.
Menurut Marwan, dari perubahan laporan keuangan Inalum itu semakin kuat keyakinan yang selama ini berkembang bahwa selama puluhan tahun Inalum telah memanipulasi laporan keuangannya. Karenanya, sudah tidak lagi praktek kebohongan itu dilanjutkan, alias kontrak harus diputus 2013.

Sama dengan sikap anggota Komisi VI DPR Nasril Bahar, Marwan yang mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga berpendapat, proses negosiasi antara tim bentukan pemerintah RI dengan NAA, sudah tak menarik dibicarakan.  Lantaran 2013 sudah semakin dekat, saat ini mestinya sudah digodok rumusan pengelolaan Inalum pasca 2013.

Misal bagaimana agar produk Inalum dipasok untuk kebutuhan dalam negeri dulu, jika sudah ada sisa, baru diekspor. Juga bagaimana membangun industri hilirnya, sehingga Inalum tidak hanya menghasilkan batangan aluminium saja. Termasuk, bagaimana bisa menjamin pasokan alumina sebagai bahan dasar pembuatan alumunium. “Kan bisa kita ambil bauksit yang dari Antam,” terangnya.

Sebelumnya, Nasril Bahar mengatakan, produksi bauksit dalam negeri bakal melimpah, menyusul beroperasinya anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, yakni Indonesia Chemical Alumina (ICA), di  Tayan, Kalimatan Barat. Bauksit merupakan bahan pembuatan alumina, yang menjadi bahan dasar alumunium. “Alumina kita cukup,” ujarnya.

Marwan mengatakan, yang tak kalah mendesak untuk segera dibahas adalah keterlibatan pemda di Sumut dalam pengelolaan Inalum pasca 2013. Menurutnya, lantaran pemda tak punya keahlian dan pengalaman, bisa saja misalnya cukup dengan ditempatkan di dewan komisaris. “Yang penting pemda mendapatkan keuntungan. Putra daerah juga harus mendapatkan pekerjaan di Inalum. Atau pemda bisa mendapat saham 15 persen atau 20 persen, seperti sudah saya usulkan,” terangnya.

Untuk saham mayoritas, lanjutnya, harus tetap dikuasasi pemerintah/negara. Dia menolak keras jika saham mayoritas diberikan ke PT Antam. Alasannya, perusahaan plat merah itu sudah go publik, dimana 35 persen sahamnya dimiliki asing. Namun, lanjutnya, lantaran sudah punya keahlian, Antam tetap harus diberi saham, tapi misalnya 10 persen saja.

Seperti diketahui, masa berlakunya masa berlaku Build, Operate and Transfer (BOT) Inalum akan berakhir 2013. Tiga tahun sebelum kontrak habis, sesuai perjanjian, kedua pihak harus bernegosiasi apakah kontrak berlanjut atau diputus. Meski pemerintah sudah menegaskan tidak akan memperpanjang kontrak NAA, namun proses nego tetap harus dilakukan, dengan acuan proposal yang diajukan pihak NAA.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, perbankan plat merah siap mengambil alih saham NAA, yang besarnya 58,9 persen. Dana yang dibutuhkan sekitar 720 juta dolar AS.
Dijelaskan, ada dua opsi pengelolaan Inalum, yakni menjadikannya sebagai BUMN baru atau menjadi anak perusahaan BUMN.

Mustafa juga mengatakan, sejumlah BUMN akan dilibatkan mengelola Inalum ke depan, yakni PT Perusahaan Pengelola Aset, PT Danareksa Sekuritas, PT Bahana Securities, dan PT Aneka Tambang (Antam). (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/