32 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Dolly Tamat Sudah

Dolly-Ilustrasi.
Dolly-Ilustrasi.

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Riwayat lokalisasi yang dulu pernah disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar se Asia Tenggara, Dolly, berakhir pada hari ini. Pemerintah resmi mendeklarasikan bahwa lokalisasi yang telah berumur lebih dari 40 tahun tersebut ditutup.

Deklarasi yang menyatakan Dolly hanya tinggal sebagai sejarah dipimpin langsung oleh Menteri Sosial Salim Assegaf Al Jufri. “Secara resmi, mulai besok (hari ini, Red) kawasan Dolly dan Jarak sudah bukan lagi lokalisasi,” kata Sekretaris Daerah Kota Surabaya Hendro Gunawan.

Penutupan pagi ini rencananya dilakukan secara simbolis. Tidak ada rencana untuk datang ke lokalisasi dan memasang segel. Informasi yang dihimpun Jawa Pos menyebutkan bahwa penindakan terhadap Dolly baru dilakukan setelah bulan Puasa. “Jadi, mungkin masih ada satu-dua yang buka secara sembunyi-sembunyi, dan baru resmi tutup pas bulan Puasa. Kalau ada yang balik dan beroperasi setiap lebaran itulah, baru ditindak,” ucap seorang petugas yang ikut menangani kebijakan penutupan Dolly tersebut.

Kendati indikasinya mengarah ke pidana untuk setiap wisma yang masih mokong tetap buka, namun polisi sendiri menyatakan memilih untuk melihat perkembangannya. “Yang jelas, kami fokus pada pengamanan deklarasi,” kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Setija Junianta.

Polisi memang pantas berhati-hati. Karena menjelang penutupan, situasi di Dolly agak memanas. Sejumlah warga dan kelompok yang menentang penutupan terus berjaga-jaga. Apalagi, dari pantauan Jawa Pos ada dua insiden yang membuat suasana juga makin memanas.

Yang pertama adalah insiden seorang preman tak sengaja menabrak seorang PSK di Jarak hingga terjatuh dan tak sadarkan diri. Sempat terjadi keramaian, namun tidak berlangsung begitu lama. Namun, yang kedua yang membuat suasana makin panas.

Kejadiannya berkisar pada pukul 09.00. Seorang pria yang tak dikenal tiba-tiba saja melempar jendela dua wisma, yakni Putri Ayu II dan Sumber Rejeki. Belakangan diketahui bahwa pelaku pelemparan tersebut terindikasi kurang normal kejiwaannya. Ketika ditanya, pria yang kemudian diketahui bernama Nanang ar-Rakhman tersebut menjawab ngawur.

“Saya berusia 200 ribu tahun, dan mendapat mandat dari Tuhan. Makin yakin setelah bertemu dengan para wali dan sunan,” kata Setija, menirukan ucapan tersangka. Kendati terindikasi kurang waras, namun Setija mengatakan bahwa pihaknya masih menelusurinya sebelum mengambil kesimpulan akhir.

 

MAKIN SEPI DALAM 10 TAHUN TERAKHIR

Penutupan Dolly sendiri dilakukan ketika lokalisasi tersebut tengah mengalami penurunan signifikan. Ketika pada masa jayanya antara 1990-an sampai 2005, total jumlah PSK mencapai lebih dari 9.000 orang. Ketika ditutup pada 18 Juni 2014, jumlah PSK tinggal 1.200-an.

Seorang pengelola menyatakan bahwa Dolly kalah bersaing dengan panti pijat dan prostitusi terselebung. Terutama dalam hal service. Di Dolly, pelayanannya seperti terlihat “kejar setoran”. “Karena situasinya memang seperti itu,” ucap pengelola yang namanya tak mau disebutkan tersebut. Karena, dalam 10 tahun terakhir, tarif PSK di Dolly tak banyak bergeser dan tak mengikuti inflasi. Seperti Wisma Barbara. Wisma yang disebut-sebut terbesar dan termahal tersebut membanderol tarif Rp 200 ribu untuk sekali kencan shor time. Tidak berbeda jauh dengan sepuluh tahun yang lalu, yang Rp 150 ribu.

Tarif rata-rata di Dolly antara Rp 80 ribu ” Rp 100 ribu. Persentase pembagian tarif tersebut adalah 40 persen PSK, 50 persen untuk Wisma, dan sisanya untuk jasa para makelar. Dengan tarif yang tak berbeda banyak, namun operasional yang terus meningkat, maka satu-satunya jalan adalah mempercepat layanan. Maka, tak heran, bila seorang primadona bisa mendapat tamu lebih dari 20 orang semalam. Karena, sekali kencan paling banter hanya 20 menit ” 30 menit saja.

“Sekarang sepi. Semalam paling banter hanya sepuluh orang. Padahal mau tutup,” keluh Reni, seorang primadona yang ditemui di Wisma Barbara tadi malam. Perempuan asal Indramayu tersebut mengatakan situasinya berbeda pada dua tahun lalu, saat dirinya kali pertama datang ke Dolly. “Paling sepi 15 orang,” imbuh perempuan dengan tato di tangan tersebut.

Ketika ditanya soal rencana penutupan, Reni tergolong pasrah. Dia memilih untuk pulang, dan belum punya rencana untuk apa uang Rp 3 juta yang sedianya diberikan untuk modal usaha. “Orang tua sudah perjalanan ke sini (Surabaya, Red),” katanya. “Tapi, saya ngakunya kerja di kafe,” ucapnya, buru-buru menambahkan.

Reni juga menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir, pelanggannya terus menurun. Kalau ditutup, Reni mengaku tidak terlalu mempermasalahkan. “Capeknya tidak enak. Karena nunggu tamu saja,” ucapnya. Teman-temannya pun juga banyak yang memilih pulang kampung. Dari yang biasanya sekitar 60-an, Reni mengatakan bahwa tersisa tinggal 30-an saja.

Menurut seorang makelar yang mengaku bernama Toni, kebanyakan pelanggan sekarang berasal dari luar kota. “Yang dari Surabaya sendiri jarang,” katanya. Sejumlah isu dan perkembangan yang ada memang membuat pamor Dolly terus meredup. Mulai dari keberadaan 192 PSK yang mengidap HIV/AIDS dan masih bekerja, semakin variatifnya pelayanan di tempat prostitusi lain (seperti panti pijat), dan terakhir rencana penutupan yang didengungkan sejak tiga tahun lalu membuatnya terus menurun. Bahkan, banyak yang menyebut bahwa Dolly lama-kelamaan nasibnya seperti Kremil. Lama-lama makin sedikit, dan akhirnya mati sendiri.

Deklarasi penutupan ini menutup sejarah panjang lokalisasi yang diperkirakan sudah ada sejak lebih dari 40 tahun. Hingga kemarin, kapan pastinya Dolly berdiri dan bagaimana sejarahnya, masih banyak perdebatan. Namun, yang jelas berdiri pada 1970-an, pasca penggusuran warga stren Kali Jagir oleh Wali Kota Surabaya saat itu R. Soekotjo.

Para warga ini dipindahkan ke sebuah lokasi yang dekat dengan makam Tiongkok Kembang Kuning. Yakni, di kawasan Putat Jaya dan Girilaya. Karena kultur warga stren kali saat itu yang dekat dengan kemiskinan dan dunia “bawah tanah”, maka pelacuran pun tumbuh. Lalu muncullah seorang PSK bernama Dolly. Ada dua versi mengenai PSK yang disebut-sebut masih punya darah keturunan Belanda tersebut. Yang pertama bernama Dolly Van Der Mart, dan yang kedua adalah Dolly Khavit. Apa pun namanya, dia mempunyai visi untuk tak hanya sekedar menjadi PSK. Dia kemudian mengorganisir teman sesama PSK-nya, dan muncullah wisma pertama di kawasan tersebut.

Kawasan tersebut terus berkembang, dan pada 1990-an hingga 2005, disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara dari wilayah dan jumlah PSK. Mengalahkan Phat Pong di Bangkok, Thailand, atau pun kawasan Geylang di Singapura. Pada masa jayanya, Dolly dihuni oleh lebih dari 9.000 PSK, dan hampir 100 ribu orang berkunjung tiap harinya.

Liputan investigatif Jawa Pos pada akhir 2004 menyebutkan bahwa uang berputar di sana mencapai Rp 5 miliar sehari, dan ada sekitar 15 ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai dari sopir taksi, penjual makanan, hingga warga setempat. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut juga jatuh ke aparat. Mulai dari RT/RW, Satpol PP, polisi, hingga tentara.

Penelusuran Jawa Pos kala itu menyebutkan bahwa dari 56 wisma besar di Dolly saja, terkumpul uang kontrol sebesar Rp 7,5 juta per hari. Per bulan mencapai Rp 420 juta. Ini dengan asumsi tamu datang tiap harinya sekitar 1.500 orang. Sebuah perhitungan dengan asumsi jumlah tamu yang moderat.

Sekarang, belum jelas apakah uang tersebut masih mengalir ke aparat. Namun, bantuan untuk kas RT/RW dan kegiatan warga masih mendapat bantuan dari para pengelola wisma di Dolly. Tapi masa kejayaan tersebut tak bertahan lama. Terletak di tengah kota, membawa sejumlah ekses sosial dan kesehatan yang buruk (menjadi tempat awal prevalensi AIDS), Dolly menutup riwayatnya pada hari ini, 18 Juni 2014. (shy/dor/las/yoc/ano)

Dolly-Ilustrasi.
Dolly-Ilustrasi.

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Riwayat lokalisasi yang dulu pernah disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar se Asia Tenggara, Dolly, berakhir pada hari ini. Pemerintah resmi mendeklarasikan bahwa lokalisasi yang telah berumur lebih dari 40 tahun tersebut ditutup.

Deklarasi yang menyatakan Dolly hanya tinggal sebagai sejarah dipimpin langsung oleh Menteri Sosial Salim Assegaf Al Jufri. “Secara resmi, mulai besok (hari ini, Red) kawasan Dolly dan Jarak sudah bukan lagi lokalisasi,” kata Sekretaris Daerah Kota Surabaya Hendro Gunawan.

Penutupan pagi ini rencananya dilakukan secara simbolis. Tidak ada rencana untuk datang ke lokalisasi dan memasang segel. Informasi yang dihimpun Jawa Pos menyebutkan bahwa penindakan terhadap Dolly baru dilakukan setelah bulan Puasa. “Jadi, mungkin masih ada satu-dua yang buka secara sembunyi-sembunyi, dan baru resmi tutup pas bulan Puasa. Kalau ada yang balik dan beroperasi setiap lebaran itulah, baru ditindak,” ucap seorang petugas yang ikut menangani kebijakan penutupan Dolly tersebut.

Kendati indikasinya mengarah ke pidana untuk setiap wisma yang masih mokong tetap buka, namun polisi sendiri menyatakan memilih untuk melihat perkembangannya. “Yang jelas, kami fokus pada pengamanan deklarasi,” kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Setija Junianta.

Polisi memang pantas berhati-hati. Karena menjelang penutupan, situasi di Dolly agak memanas. Sejumlah warga dan kelompok yang menentang penutupan terus berjaga-jaga. Apalagi, dari pantauan Jawa Pos ada dua insiden yang membuat suasana juga makin memanas.

Yang pertama adalah insiden seorang preman tak sengaja menabrak seorang PSK di Jarak hingga terjatuh dan tak sadarkan diri. Sempat terjadi keramaian, namun tidak berlangsung begitu lama. Namun, yang kedua yang membuat suasana makin panas.

Kejadiannya berkisar pada pukul 09.00. Seorang pria yang tak dikenal tiba-tiba saja melempar jendela dua wisma, yakni Putri Ayu II dan Sumber Rejeki. Belakangan diketahui bahwa pelaku pelemparan tersebut terindikasi kurang normal kejiwaannya. Ketika ditanya, pria yang kemudian diketahui bernama Nanang ar-Rakhman tersebut menjawab ngawur.

“Saya berusia 200 ribu tahun, dan mendapat mandat dari Tuhan. Makin yakin setelah bertemu dengan para wali dan sunan,” kata Setija, menirukan ucapan tersangka. Kendati terindikasi kurang waras, namun Setija mengatakan bahwa pihaknya masih menelusurinya sebelum mengambil kesimpulan akhir.

 

MAKIN SEPI DALAM 10 TAHUN TERAKHIR

Penutupan Dolly sendiri dilakukan ketika lokalisasi tersebut tengah mengalami penurunan signifikan. Ketika pada masa jayanya antara 1990-an sampai 2005, total jumlah PSK mencapai lebih dari 9.000 orang. Ketika ditutup pada 18 Juni 2014, jumlah PSK tinggal 1.200-an.

Seorang pengelola menyatakan bahwa Dolly kalah bersaing dengan panti pijat dan prostitusi terselebung. Terutama dalam hal service. Di Dolly, pelayanannya seperti terlihat “kejar setoran”. “Karena situasinya memang seperti itu,” ucap pengelola yang namanya tak mau disebutkan tersebut. Karena, dalam 10 tahun terakhir, tarif PSK di Dolly tak banyak bergeser dan tak mengikuti inflasi. Seperti Wisma Barbara. Wisma yang disebut-sebut terbesar dan termahal tersebut membanderol tarif Rp 200 ribu untuk sekali kencan shor time. Tidak berbeda jauh dengan sepuluh tahun yang lalu, yang Rp 150 ribu.

Tarif rata-rata di Dolly antara Rp 80 ribu ” Rp 100 ribu. Persentase pembagian tarif tersebut adalah 40 persen PSK, 50 persen untuk Wisma, dan sisanya untuk jasa para makelar. Dengan tarif yang tak berbeda banyak, namun operasional yang terus meningkat, maka satu-satunya jalan adalah mempercepat layanan. Maka, tak heran, bila seorang primadona bisa mendapat tamu lebih dari 20 orang semalam. Karena, sekali kencan paling banter hanya 20 menit ” 30 menit saja.

“Sekarang sepi. Semalam paling banter hanya sepuluh orang. Padahal mau tutup,” keluh Reni, seorang primadona yang ditemui di Wisma Barbara tadi malam. Perempuan asal Indramayu tersebut mengatakan situasinya berbeda pada dua tahun lalu, saat dirinya kali pertama datang ke Dolly. “Paling sepi 15 orang,” imbuh perempuan dengan tato di tangan tersebut.

Ketika ditanya soal rencana penutupan, Reni tergolong pasrah. Dia memilih untuk pulang, dan belum punya rencana untuk apa uang Rp 3 juta yang sedianya diberikan untuk modal usaha. “Orang tua sudah perjalanan ke sini (Surabaya, Red),” katanya. “Tapi, saya ngakunya kerja di kafe,” ucapnya, buru-buru menambahkan.

Reni juga menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir, pelanggannya terus menurun. Kalau ditutup, Reni mengaku tidak terlalu mempermasalahkan. “Capeknya tidak enak. Karena nunggu tamu saja,” ucapnya. Teman-temannya pun juga banyak yang memilih pulang kampung. Dari yang biasanya sekitar 60-an, Reni mengatakan bahwa tersisa tinggal 30-an saja.

Menurut seorang makelar yang mengaku bernama Toni, kebanyakan pelanggan sekarang berasal dari luar kota. “Yang dari Surabaya sendiri jarang,” katanya. Sejumlah isu dan perkembangan yang ada memang membuat pamor Dolly terus meredup. Mulai dari keberadaan 192 PSK yang mengidap HIV/AIDS dan masih bekerja, semakin variatifnya pelayanan di tempat prostitusi lain (seperti panti pijat), dan terakhir rencana penutupan yang didengungkan sejak tiga tahun lalu membuatnya terus menurun. Bahkan, banyak yang menyebut bahwa Dolly lama-kelamaan nasibnya seperti Kremil. Lama-lama makin sedikit, dan akhirnya mati sendiri.

Deklarasi penutupan ini menutup sejarah panjang lokalisasi yang diperkirakan sudah ada sejak lebih dari 40 tahun. Hingga kemarin, kapan pastinya Dolly berdiri dan bagaimana sejarahnya, masih banyak perdebatan. Namun, yang jelas berdiri pada 1970-an, pasca penggusuran warga stren Kali Jagir oleh Wali Kota Surabaya saat itu R. Soekotjo.

Para warga ini dipindahkan ke sebuah lokasi yang dekat dengan makam Tiongkok Kembang Kuning. Yakni, di kawasan Putat Jaya dan Girilaya. Karena kultur warga stren kali saat itu yang dekat dengan kemiskinan dan dunia “bawah tanah”, maka pelacuran pun tumbuh. Lalu muncullah seorang PSK bernama Dolly. Ada dua versi mengenai PSK yang disebut-sebut masih punya darah keturunan Belanda tersebut. Yang pertama bernama Dolly Van Der Mart, dan yang kedua adalah Dolly Khavit. Apa pun namanya, dia mempunyai visi untuk tak hanya sekedar menjadi PSK. Dia kemudian mengorganisir teman sesama PSK-nya, dan muncullah wisma pertama di kawasan tersebut.

Kawasan tersebut terus berkembang, dan pada 1990-an hingga 2005, disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara dari wilayah dan jumlah PSK. Mengalahkan Phat Pong di Bangkok, Thailand, atau pun kawasan Geylang di Singapura. Pada masa jayanya, Dolly dihuni oleh lebih dari 9.000 PSK, dan hampir 100 ribu orang berkunjung tiap harinya.

Liputan investigatif Jawa Pos pada akhir 2004 menyebutkan bahwa uang berputar di sana mencapai Rp 5 miliar sehari, dan ada sekitar 15 ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai dari sopir taksi, penjual makanan, hingga warga setempat. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut juga jatuh ke aparat. Mulai dari RT/RW, Satpol PP, polisi, hingga tentara.

Penelusuran Jawa Pos kala itu menyebutkan bahwa dari 56 wisma besar di Dolly saja, terkumpul uang kontrol sebesar Rp 7,5 juta per hari. Per bulan mencapai Rp 420 juta. Ini dengan asumsi tamu datang tiap harinya sekitar 1.500 orang. Sebuah perhitungan dengan asumsi jumlah tamu yang moderat.

Sekarang, belum jelas apakah uang tersebut masih mengalir ke aparat. Namun, bantuan untuk kas RT/RW dan kegiatan warga masih mendapat bantuan dari para pengelola wisma di Dolly. Tapi masa kejayaan tersebut tak bertahan lama. Terletak di tengah kota, membawa sejumlah ekses sosial dan kesehatan yang buruk (menjadi tempat awal prevalensi AIDS), Dolly menutup riwayatnya pada hari ini, 18 Juni 2014. (shy/dor/las/yoc/ano)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/