Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dikenal sebagai dana aspirasi kian melebar dan berbuntut panjang. Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang menolak dana itu disebut pengkhianat. Bahkan, partai tersebut disebut memainkan politik ‘makan tulang kawan’.
JAKARTA, SUMUTPOS.CO-“Kalau sekarang ada fraksi menolak aneh, dia memungkiri rapat paripurna. Saya hanya titip pesan tolong berpolitik elegan di DPR, kalau tidak setuju sampaikan dari awal. Artinya di DPR jangan berpolitik makan tulang kawan,” ungkap Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan.
Taufik pun meminta polemik kebijakan yang nominalnya bombastis mencapai Rp20 miliar itu dihentikan. Dia mengatakan sudah terlambat bila fraksi-fraksi menolak dana aspirasi. Untuk itu dirinya meminta seluruh fraksi di DPR tidak lagi mempermasalahkan. “Semua sesuai dengan proses yang telah disetujui sejak 17 Februari lalu. Masalah jumlah itu masih berproses. Sudah terlalu terlambat apabila menolak,” ungkapnya di Komplek Paremen RI, Senayan, Rabu (17/6).
Taufik yang juga Ketua Tim UP2DP menjelaskan, usulan itu sejak awal sudah disetujui oleh seluruh fraksi yang menjadi dasar agar program ini diproses pada tahapan selanjutnya. “Kami pimpinan dasarnya adalah rekaman narasi paripurna dan notulen paripurna. Saya enggak mau katakan partai per partai,” pungkasnya.
Atas dasar itu, menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu, penolakan fraksi akan menjadi sangat aneh. “Seyogianya seluruh fraksi ingatkan diri sendiri, tidak perlu dipolemikkan. Semua sesuai dengan proses yang telah disetujui sejak 17 Februari lalu,” tegasnya.
Selain itu, ia mengingatkan, bila polemik yang berkembang atas keputusan awal bisa berdampak buruk terhadap DPR. Oleh sebab itu, Taufik meminta, semua fraksi menjaga konsistensi terkait program ini dari awal.
“Kalau itu dimentahkan nanti jadi preseden tidak baik. Rapat paripurnanya telah ditetapkan sebagai pengambilan keputusan tertinggi di DPR kemudian digugat sendiri oleh anggotanya. Kan repot. Marilah kita sama-sama jaga kehatihatian,” terangnya.
Taufik juga memastikan, pimpinan DPR tidak memiliki kepentingan apapun terkait realisasi dana aspirasi. Pimpinan DPR hanya bertugas memfasilitasi sarana dan prasarana UP2DP sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Fraksi NasDem, Patrice Rio Capella menolak dana aspirasi DPR. Sebab, dia menilai pendekatan yang digunakan dalam menentukan jumlah dana aspirasi tidak tepat.
“Kalau kita bicara membangun maka bicara tentang wilayah, seperti Sumatera dan Indonesia Wilayah Timur, lebih membutuhkan ketimbang Jakarta. Jakarta ini punya 23 anggota DPR sedangkan Maluku Utara hanya tiga anggota DPR. Papua yang memiliki 29 kabupaten/kota hanya memiliki sepuluh anggota DPR. Kalau sepuluh dikali Rp20 miliar, hanya mendapatkan Rp200 miliar. Anda tahu berapa (beda harga) material di Jakarta dan di Papua?” cetus Rio.
Anggota DPR dari Dapil Bengkulu I ini menilai hitung-hitungan itu tidak sebanding dan jauh di luar nalar. Rio menegaskan bahwa aspirasi rakyat di luar Jakarta atau Jawa tidak lebih murah aspirasinya. Oleh karenanya, Rio menyatakan tidak sepakat dengan pendekatan yang diajukan. Sebab, pendekatan dengan hitungan per kepala tidak pas dan tidak korelatif dengan angka Rp20 miliar.
“Kan hanya mengikuti logika dengan menghitung kepala orang. Maka kalau Maluku Utara yang kepulauan dan sangat sulit infrastrukturnya hanya dihitung tiga kepala, atau setara dengan Rp60 miliar untuk membangun daerah tersebut, tentu tidak cukup. Tapi kalau Jakarta, UPS (Uninterruptible Power Supply) saja Rp12 triliun, anggota (DPR) sebanyak 23 terus dikali Rp20 miliar, maka di mana keadilannya saudara-saudara sekalian?” tegas Rio melanjutkan.
Meski begitu, Rio mengaku tetap menghormati rekan-rekan anggota DPR lainnya yang memperjuangkan dana aspirasi ini. Namun, dia menyatakan, Fraksi NasDem memiliki sikap sendiri dalam memandang persoalan ini. “Kami akan memperjuangkan perubahan UU MD3, tentu iya. Karena kami menganggap MD3 ini tidak tepat,” katanya.
Di sisi lain, Koordinator advokasi dan investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Apung Widadi mengingatkan Presiden Joko Widodo agar menolak dana aspirasi anggota DPR Rp20 miliar yang akan dimasukkan ke RAPBN 2016. Sebab, dia menilai program itu bisa jadi jebakan untuk pemerintah.
Dikatakan Apung, agar Presiden Jokowi dan DPR tidak terkesan melakukan politik transaksional, serta dianggap ingin mengamankan situasi politik era pemerintahannya, maka dana aspirasi yang dibungkus melalului Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) DPR itu harus ditolak.
“Jangan sampai bentuk transaksional melekat kepada Presiden Jokowi dengan menyetujui dana aspirasi masuk RAPBN 2016. Presiden harus menolak usulan tersebut. Ini menjebak pemerintahan juga, karena jika ada korupsi, DPR bisa cuci tangan,” kata Apung di sela-sela diskusi soal dana aspirasi di Menteng, Jakarta, Minggu (14/6) lalu.
Dijelaskan, dana aspirasi bisa menjadi jebakan bagi pemerintah, karena anggaran akan dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui kementerian-kementerian dan turun ke pemerintah daerah.
Pada kesempatan yang sama, peneliti Indonesia Budget Centre (IBC) Roy Salam juga mengingatkan masyarakat tidak terjebak dengan pola aspirasi yang digembargemborkan DPR.
“Jangan kita terjebak karena problemnya kan apakah DPR itu berfungsi atau tidak (menjalankan dana aspirasi itu). Secara konstitusional DPR itu sudah baik. Tinggal disikronkan saja sistem parlemen dengan sistem politik yang ada,” katanya.
Selain itu, Roy mengingatkan konsekuensi logis dari penggunaan dana ini, yakni hanya akan menjadi bahan pencitraan bagi DPR di dapilnya masing-masing. Sehingga nuansa politis dari program ini lebih kental dibanding pembangunan daerah.(bbs/jpnn/rbb)