26 C
Medan
Tuesday, December 31, 2024
spot_img

Modus Rugikan Pasien BPJS: RS Saling Oper Rujukan

Hasil Survei tersebut selaras dengan temuan Masyarakat Peduli BPJS ketika mendampingi pasien. “Banyak rumah sakit menolak pasien BPJS karena ruangan penuh,” ucap Hery. Dia mengakui alasan tersebut masuk akal. Sebab, jumlah fasilitas kesehatan dengan pengguna BPJS tidak sebanding. Gapnya terlalu jauh. Tapi, menurut dia ruangan penuh tidak bisa jadi alasan ketika pasien datang dalam kondisi darurat. “Rumah sakit harus melayani,” imbuhnya.

Menurut Hery, pasien yang butuh penanganan medis darurat harus diterima di rumah sakit mana pun. Termasuk yang tidak bekerja sama dengan BPJS. “Ketika mereka dapat izin. Itu satu paket dengan kewajiban membantu pasien,” jelasnya. Namun begitu, kondisi di lapangan tidak demikian. Banyak pasien BPJS dibuat sengsara. Konsep dan program pemerintah yang dituangkan lewat BPJS pun lebih sering memunculkan suara miring.

Bagaimana tidak? Ketika sakit kemudian tidak punya biaya, peserta BPJS merasa kartu yang mereka pegang bisa jadi penolong. Tapi, realitas kerap kali tidak seperti harapan mereka. Bukannya jadi penolong, kartu itu malah membuat mereka semakin repot. “Konsep BPJS bagus. Tapi, aktual di lapangan beda. Jauh panggang dari api,” terang Hery. Kasus Debora, kata dia, hanya satu dari banyak kasus yang terjadi di tanah air.

Itu tidak akan terjadi bila pemerintah, BPJS, dan rumah sakit satu visi. Lantaran belum demikian, akibatnya luar biasa menyiksa peserta BPJS. “Yang jadi korban masyarakat, rakyat,” tegas Hery. Ketika ditanya mana yang lebih baik antara rumah sakit swasta dengan pemerintah ketika melayani pasien BPJS? Tegas dia menjawab sama saja. “Jangankan rumah sakit swasta, rumah sakit pemerintah juga begitu (belum maksimal pelayananya),” ungkap dia.

Yang membuat Hery tidak habis pikir, seringkali pasien BPJS mendapat pelayanan baik ketika sudah melapor kepada lembaga advokasi atau pendamping serupa Masyarakat Peduli BPJS dan BPJS Watch. Sebab, laporan yang mereka terima langsung diteruskan kepada direksi BPJS. “Kadang kalau pasien BPJS nggak laporan ke kami. Ya udah itu, nggak ada yang ngurus,” sesalnya. Apalagi jika pasien dan keluarga pasien tidak mengerti ketentuan menggunakan BPJS. Jangankan mendapat hak, dilayani pun mereka belum tentu.

Lantaran sudah menjadi masalah yang berulang, Hery beharap besar segera ada perubahan. Edukasi terhadap pasien BPJS dilakukan dengan baik. Layanan rumah sakit terus didorong agar tidak ada lagi pasien BPJS yang bernasib seperti Debora. Kehilangan nyawa karena tidak punya biaya. Itu jelas amat menyakitkan bagi masyarakat. Khususnya para peserta BPJS yang selalu menggantungkan urusan biaya kepada kartu tersebut setiap kali sakit, berobat, dan butuh obat. (syn/jpg/adz)

Hasil Survei tersebut selaras dengan temuan Masyarakat Peduli BPJS ketika mendampingi pasien. “Banyak rumah sakit menolak pasien BPJS karena ruangan penuh,” ucap Hery. Dia mengakui alasan tersebut masuk akal. Sebab, jumlah fasilitas kesehatan dengan pengguna BPJS tidak sebanding. Gapnya terlalu jauh. Tapi, menurut dia ruangan penuh tidak bisa jadi alasan ketika pasien datang dalam kondisi darurat. “Rumah sakit harus melayani,” imbuhnya.

Menurut Hery, pasien yang butuh penanganan medis darurat harus diterima di rumah sakit mana pun. Termasuk yang tidak bekerja sama dengan BPJS. “Ketika mereka dapat izin. Itu satu paket dengan kewajiban membantu pasien,” jelasnya. Namun begitu, kondisi di lapangan tidak demikian. Banyak pasien BPJS dibuat sengsara. Konsep dan program pemerintah yang dituangkan lewat BPJS pun lebih sering memunculkan suara miring.

Bagaimana tidak? Ketika sakit kemudian tidak punya biaya, peserta BPJS merasa kartu yang mereka pegang bisa jadi penolong. Tapi, realitas kerap kali tidak seperti harapan mereka. Bukannya jadi penolong, kartu itu malah membuat mereka semakin repot. “Konsep BPJS bagus. Tapi, aktual di lapangan beda. Jauh panggang dari api,” terang Hery. Kasus Debora, kata dia, hanya satu dari banyak kasus yang terjadi di tanah air.

Itu tidak akan terjadi bila pemerintah, BPJS, dan rumah sakit satu visi. Lantaran belum demikian, akibatnya luar biasa menyiksa peserta BPJS. “Yang jadi korban masyarakat, rakyat,” tegas Hery. Ketika ditanya mana yang lebih baik antara rumah sakit swasta dengan pemerintah ketika melayani pasien BPJS? Tegas dia menjawab sama saja. “Jangankan rumah sakit swasta, rumah sakit pemerintah juga begitu (belum maksimal pelayananya),” ungkap dia.

Yang membuat Hery tidak habis pikir, seringkali pasien BPJS mendapat pelayanan baik ketika sudah melapor kepada lembaga advokasi atau pendamping serupa Masyarakat Peduli BPJS dan BPJS Watch. Sebab, laporan yang mereka terima langsung diteruskan kepada direksi BPJS. “Kadang kalau pasien BPJS nggak laporan ke kami. Ya udah itu, nggak ada yang ngurus,” sesalnya. Apalagi jika pasien dan keluarga pasien tidak mengerti ketentuan menggunakan BPJS. Jangankan mendapat hak, dilayani pun mereka belum tentu.

Lantaran sudah menjadi masalah yang berulang, Hery beharap besar segera ada perubahan. Edukasi terhadap pasien BPJS dilakukan dengan baik. Layanan rumah sakit terus didorong agar tidak ada lagi pasien BPJS yang bernasib seperti Debora. Kehilangan nyawa karena tidak punya biaya. Itu jelas amat menyakitkan bagi masyarakat. Khususnya para peserta BPJS yang selalu menggantungkan urusan biaya kepada kartu tersebut setiap kali sakit, berobat, dan butuh obat. (syn/jpg/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/