Untuk meningkatkan keamanan, BRI sedang mengkaji kemungkinan penerapan teknologi biometric untuk verifikasi dan otentikasi nasabah dalam bertransaksi non tunai. Metodenya menggunakan sidik jari atau retina mata nasabah sehingga sulit dipalsukan. Untuk itu, BRI akan berkoordinasi dengan regulator untuk pengkajian penggunaan teknologi ini. Sebelumnya, pada 2015 lalu teknologi biometric sudah pernah diujicobakan secara terbatas oleh BNI dan perusahaan kartu kredit asal Jepang JCB. Saat itu JCB mengenalkan otentikasi menggunakan pembuluh darah di telapak tangan nasabah.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko menambahkan, penggunaan biometric untuk otentikasi memang lebih mudah. Namun biayanya mahal. BI juga tengah mengkaji keamanan biometric tersebut. “Yang dikaji datanya ada di mana, dikelola siapa, menjaga privacy dan security-nya seperti apa. Investasinya di back end pasti mahal,” katanya. Meski begitu dia menyambut baik jika ada perbankan yang serius menerapkan teknologi tersebut.
Terpisah, peneliti keamanan siber dari CISSREC Ibnu Dwi Cahyo menuturkan, dunia perbankan di Indonesia memang cukup rawan menjadi sasaran aksi skimming (pencurian data). Apalagi, dari data yang diperoleh dari kepolisian Uni Eropa, Indonesia menjadi peringkat ketujuh lokasi favorit para pelaku skimming. Dalam laporan terebut dibedakan antara Indonesia dan Bali. ”Bali menurut Europol (Kepolisian Uni Eropa) menjadi lokasi ketiga tervaforit para pelaku tindak skimming ATM,” ujar dia kepada Jawa Pos, kemarin.
Dia mengungkapkan pada 2015 ada 5.500 kasus skimming ATM di dunia. Sebanyak 1.549 kasus di antaranya terjadi di Indonesia, artinya lebih dari sepertiga kejahatan skimming ada di Indonesia. Salah satu contohnya, pada 2017 dua warga Bulgaria ditangkap di Bali karena melakukan aksi skimming. ”Fakta ini seharusnya mendorong perbankan di tanah air untuk meningkatkan standar keamanan ATM, baik dari operating system, hardware sampai pada pengamanan fisik,” ujar dia.